Mongabay.co.id

Habitat Tergerus, Gajah di Sumsel Hidup dalam Konsesi dan Kebun Warga

Gajah Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah

 

 

 

 

Haryanto, hanya perlu lima langkah untuk menyeberangi Sungai Simpangheran. Sepatu boot hijau melangkah mantap di atas tiga batang kayu yang terpasang bersisian sebagai jembatan.

“Ini sudah masuk wilayah perusahaan,” kata Haryanto sesampainya di seberang.

Sungai Simpangheran, sejatinya pemisah antara konsesi hutan tanaman industri PT OKI, yang memasok bahan baku kertas dan bubur kertas PT Asia Pulp and Paper (APP), anak usaha Sinar Mas, dengan puluhan desa transmigrasi di Kecamatan Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Kini, sungai yang memisahkan Desa Jadi Mulya dengan PT OKI ini nyaris tinggal nama. Sungai alami penyempitan, dan pendangkalan.

Di bagian sungai yang diseberangi Haryanto, jarak antara dasar sungai dengan kayu yang dipakai sebagai jembatan tak sampai satu meter. Kondisi ini memudahkan siapapun melintas. Manusia ataupun satwa, seperti gajah dengan mudah menyeberang ke Desa Jadi Mulya.

Pada 2018, Haryanto masih ingat jelas bagaimana gajah-gajah ‘menyeberang’ dari konsesi masuk ke desa dan memanen padi di ladangnya kala itu. Kebetulan, rumah dan lahan Haryanto di ujung desa, berbatasan langsung dengan konsesi.

Titik penyeberangan gajah 200 meter arah timur laut dari jembatan yang tadi dilewati Haryanto. Meskipun tidak ada jembatan, bagian Sungai Simpangheran ini sudah alami pendangkalan dan penyempitan sampai daun-daun pohon nipah liar di sisi konsesi bisa melintang ke sisi desa.

Sangat mudah melihat gajah keluar dari tempat Haryanto. “Dari situ, gajah masuk ke desa, ke lahan saya terlebih dahulu,” kata Haryanto.

 

Baca juga: Gajah di Riau dalam Rimba Konsesi

Kanal Limbah dan area konsesi PT Bumi Andalas Permai, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Saat itu, ada serombongan gajah sekitar 20 bergerak menuju lahan masyarakat buat mencari pakan. Biasa mereka makan padi yang sudah menguning, sawit muda sampai pisang warga.

Sebenarnya, di penyeberangan itu ada kebun sawit PT Selatan Agro Makmur Lestari, usia tua hingga tak menarik bagi satwa bernama latin Elephas maximus sumatranus ini. Rombongan gajah memilih sawit warga yang berusia muda dan mudah terjangkau hidung panjang mereka.

Desa Banyu Biru, 20 kilometer dari Desa Jadi Mulya juga alami hal serupa. Di desa ini gajah sering menyeberang dan memakan tanaman masyarakat.

Suryadi, Kepala Seksi Pemerintahan Desa Banyu Biru mengatakan, satwa bertubuh tambun ini kerap masuk mencari makan di kebun-kebun warga.

Padahal, terdapat kanal lebih lebar dan dalam ketimbang Sungai Simpangheran. Kanal ini, katanya, sukar dilewati warga karena tidak ada jembatan penghubung antara konsesi PT Bumi Andalas Permai (BAP) dengan Desa Banyu Biru.

Lebar kanal lebih lima meter. Dasar tidak terlihat karena terisi air gambut berwarna gelap.

Warga Desa Banyu Biru menyebut kanal ini dengan kanal limbah. “Itu saluran pembuangan limbah,” kata Herman, mantan Kepala Desa Banyu Biru. Limbah yang dimaksud berasal dari BAP.

Beberapa titik kanal limbah keluarkan bau zat kimia menyengat. Warga selalu buru-buru kalau melintas di samping kanal limbah karena tak tahan dengan bau menusuk.

Meskipun demikian, kanal bau dan lebar ini tidak menghalangi kawanan gajah yang sehari-hari berada di konsesi BAP menyeberang ke lahan warga. Gajah-gajah ini datang ke lahan warga untuk mencari makan.

Ada juga gajah liar terpisah dari rombongan dan meresahkan masyarakat. Babinsa jadi korban.

 

 

 

Rumah gajah jadi konsesi

Sejatinya, pesisir timur Sumatera Selatan merupakan habitat gajah Sumatera. Kalau menilik sejarah, kawanan satwa liar dilindungi ini sempat digiring dari sana masuk ke Taman Nasional Way Kambas, Lampung pada 1982.

Ujang Wisnu Barata, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Sumatera Selatan, mengatakan, operasi ini untuk mempersiapkan lahan transmigrasi tetapi beberapa rombongan gajah justru mentok di pesisir timur yang waktu itu belum ada izin.

“Gajah jadi ngumpul di sini,” katanya.

Setidaknya, kata Ujang, lebih 60 gajah di kawasan yang kini konsesi perusahaan pemasok Sinar Mas itu.

Suryadi yang pernah ikut survei BKSDA menyatakan, populasi gajah di Air sugihan diperkirakan lebih 90.

BKSDA Sumsel, katanya, belum pernah menerima laporan kematian gajah liar dalam konsesi. Dia klaim daya dukung gajah masih relatif baik di Bumi Sriwijaya.

Dengan banyak gajah melintas dari konsesi ke lahan warga, katanya, karena perubahan lanskap kawasan. Kalau dulu, tempat gajah ini berkumpul masih bisa memenuhi pakan, sekarang cenderung mencari ke ladang masyarakat. Pakan di dalam mungkin menipis atau bahkan tak ada.

Hasil analisis Yayasan Auriga Nusantara menyebut dari 4,6 juta hektar habitat gajah di Sumatera, 2 juta hektar di konsesi perusahaan, baik hutan tanaman industri, hak pengusahaan hutan (HPH), tambang dan perkebunan sawit.

Dari 2007-2020, ada 1,3 juta hektar habitat hilang. Mayoritas di area 118 perusahaan pemegang izin.

Supintri Yohar, Direktur Kehutanan Auriga Nusantara, mengatakan, temuan kerusakan habitat gajah di konsesi BMH jadi satu contoh kecil. Setidaknya, ada 150 perusahaan pemegang konsesi di Sumatera yang merambah habitat atau rumah gajah ini.

Jadi, bukan hanya habitat hilang, populasi gajah di Sumatera pun menurun. Pada 1985, kata Supintri, ada 44 kantong gajah dengan populasi 4.800.

Pada 2021, berubah menjadi hanya 22 kantong dan paling banyak ada 1.359 gajah.

Okupasi konsesi ke habitat satwa ini tidak hanya dialami oleh gajah. Satwa prioritas lain seperti harimau Sumatera, orangutan dan badak Sumatera pun merasakan nasib sama. Masing-masing mengalami perambahan habitat sampai 2,9 juta hektar, 392.000 hektar dan 131.000 hektar.

 

Baca juga: Datuk Malang di Balai Raja

 

Bagaimana tanggung jawab perusahaan? Ujang bilang, sebenarnya perusahaan memiliki kewajiban memastikan satwa liar di kawasan mereka tetap lestari dengan memastikan 30% lahan sebagai area konservasi. “Tiap HTI pasti ada itu,” katanya.

Di lapangan, tim kolaborasi menemukan kondisi habitat memprihatinkan, salah satu di PT Bumi Mekar Hijau (BMH), juga perusahaan pemasok APP.

Area bernilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) atau merupakan kawasan yang disebut Ujang harus teralokasi untuk mendukung konservasi. Sayangnya, HCV di perusahaan yang berada di pesisir timur Sumsel ini justru terputus oleh jalan selebar 30-40 meter.

Plang bertuliskan Kawasan Pelestarian Hutan Nutfah milik PT BMH seluas 444,80 hektar di Sungai Penyabungan’. Ada jalan besar membuat koridor satwa terganggu dan cenderung putus.

Muhammad Sukri, tokoh Desa Jerambah Rengas, mengatakan, populasi gajah di kawasan ini menurun. Dia perkirakan, hanya sekitar 7-9 gajah saat ini. Padahal, setidaknya ada 30 gajah kerap terlihat oleh warga pencari ikan di desa itu pada 1980-an, sebelum perusahaan masuk.

Temuan kerusakan HCV ini disoroti Walhi Sumatera Selatan. Muhammad Hairul Sobri, Direktur Walhi Sumsel menyebut perusahaan katakan tidak bertanggung jawab menjamin pergerakan satwa.

Hal itu, katanya, tidak sejalan dengan Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Juga Peraturan Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8/2016 tentang Penentuan Koridor Kehidupan Liar sebagai Ekosistem Esensial.

Kedua peraturan ini, katanya, menuntut perusahaan menjamin keamanan koridor satwa yang menghubungkan antar kawasan konservasi. “Keberadaan jalan itu bisa memicu konflik manusia dengan satwa,” katanya.

Hari Agusti, Kepala Bagian Konservasi dan Restorasi BMH, menyebut, penetapan HCV tidak sembarangan. Mereka sudah menggandeng lembaga independen untuk kajian identifikasi area yang cocok jadi HCV.

Dalam keterangan tertulis, dia menyebut kalau BMH gunakan kawasan lindung sebagai koridor bagi perlintasan gajah. Koridor-koridor ini dibuat terkoneksi dengan kawasan hutan pada konsesi di sekitar area perusahaan mereka.

Wiratno, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ditemui membenarkan alih fungsi kawasan ini sebagai penyebab penurunan habitat satwa liar. Dengan alih fungsi yang luas, satwa pun makin terancam.

“Iya, betul, saya sudah koordinasi dengan dirjen lain untuk ada kewajiban pemegang konsesi terkait masalah ini,” katanya.

 

 

 

Setiap pemegang konsesi, katanya, harus berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah untuk menjaga satwa di dalam kawasan mereka. Setiap satwa liar dilindungi, katanya, adalah aset negara.

Meskipun begitu, kata Wiratno, belum ada mekanisme atau perhitungan yang bisa menjerat perusahaan yang lalai menjaga aset negara ini. Bahkan, belum pernah ada sanksi terhadap perusahaan kalau ada kematian satwa liar di area mereka.

“Selama ini, belum ada [sanksi]. Media bisa investigasi kalau ada dan beri tahu ke kami.”

 

 

ungai Simpangheran yang mengalami penyempitan, tempat gajah menyeberang di Desa Jadi Mulya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Habitat gajah tergerus, mereka hidup di antara konsesi perusahaan dan kebun warga. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

 

Habitat gajah Sumatera terus tergerus, seperti yang terjadi di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Gajah-gajah ini hidup di antara konsesi perusahaan dan kebun warga. Foto: Janaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version