Mongabay.co.id

Nyamplung, Sumber Energi Nabati yang Dikembangkan di Gambut Sumatera Selatan

Biji nyamplung setelah dikeringkan. Foto : Farida Indriastuti/Mongabay Indonesia

 

 

Lahan gambut yang dikelola Haji Nungcik itu pernah terbakar pada 1997. Tahun 2015, lahan seluas tiga hektar tersebut kembali terbakar, meski telah dikelola dengan menanam padi sonor atau padi semai.

Sistem tanam padi dengan satu kali panen setahun ini merupakan satu-satunya usaha produksi yang dilakukan di area gambut tersebut.

Nungcik adalah warga asli Desa Peringgi Talang Nangka, Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, yang menjadi saksi rawa rambut kerap terbakar ketika musim kemarau.

Usai panen, petani cenderung membersihkan lahan dengan cara membakar, saat air gambut mengering. Selain karena ketiadaan alat produksi memadai, pilihan itu untuk menekan biaya. Mengingat, hasil panen hanya satu kali setahun.

Untuk satu hektar lahan, biasanya menghasilkan 3-4 ton beras. Namun, produksi ini menjadi tidak dikarenakan faktor cuaca. Produksi padi, biasanya dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga dan sebagian dijual.

Selain padi sonor, masyarakat mengoptimalkan tanaman purun untuk dijadikan tikar dan kerajinan lain. Tikar purun dijual dengan harga pasaran Rp60.000 per lembar.

“Dari lahan gambut kami menanam padi dan mengambil purun. Hanya itu nilai yang bisa dioptimalkan,” jelas Nungcik, ditemui pertengahan Desember 2021.

Baca: Tanaman Jarak dan Kandasnya Program Kemandirian Energi Sumatera Selatan

 

Biji nyamplung yang telah dikeringkan. Biji nyamplung ini bisa diolah sebagai bahan bakar nabati sebagai pengganti BBM. Foto: Farida Indriastuti/Mongabay Indonesia

 

Diakui Nungcik, dia dan beberapa warga kerap bingung untuk mengoptimalkan gambut. Butuh perlakuan khusus menjaga keasaman air. Nungcik akhirnya terlibat dalam sebuah program penelitian Universitas Sriwijaya (Unsri) bersama lembaga CIFOR.

Penelitian ini mengenalkan ragam tanaman kayu, seperti belangeran (Shorea balangeran), jelutung (Dyera lowii), bintaro (Cerbera manghas), meranti rawa (Shorea pauciflora), perepat (Combretocarpus rotundatus), dan medang maras (Blumeodendron kurzii).

Untuk jenis nyamplung, dia mengatakan baru mengetahuinya. Tanaman yang dikenal dengan banyak manfaat tersebut juga disebut juga sebagai sumber energi nabati.

“Nyamplung pernah diceritakan ditanam di Pulau Jawa dan Kalimantan. Di Sumatera Selatan, baru di desa saya,” akunya.

Baca: Nasib Petani Sawit Mandiri Sumatera Selatan dalam Himpitan Kebijakan BBN

 

Nungcik menunjukkan lahan gambut miliknya seluas 3 hektar. Foto: Suara.com/Tasmalinda

 

Selain menanam nyamplung, Nungcik juga mengembangkan kolam ikan di lahannya. Jenisnya lele dan juga ikan yang cocok di gambut seperti tembakang, betok, dan gabus.

“Untuk kolam ikan, saya pernah coba gurame, namun tidak maksimal. Butuh pengelolaan kadar asam air, akhirnya budidayakan ikan yang memang biasa ditangkap (bekarang),” katanya.

Sebelum memulai membuka kolam ikan, memang dibutuhkan perlakuan seperti menambahkan senyawa kapur agar air gambut tidak terlalu asam.

“Saya akhirnya banyak mengetahui berbagai perlakuan pada lahan gambut, terutama gambut dalam. Misalnya, mengkondisikan gundukan sebagai lokasi tanam dan ketinggian untuk nyamplung, serta tanaman lainnya,” ujarnya.

Sumantri, pegiat dari komunitas gambut yang turut membantu Nungcik, mengatakan lahan ini merupakan satu-satunya percontohan di Desa Peringgi Talang Nangka. Dari lokasi ini, masyarakat makin tertarik bagaimana gambut bisa dimaksimalkan.

“Nantinya, bakal ada pengembangan nyamplung dengan mangga dan ada juga nyamplung untuk produksi madu,” ujarnya.

Baca: Sekam Padi, Bahan Bakar Pengering Gabah yang Mudah Dicari

 

Nyamplung yang bijinya dapat dijadikan minyak nyamplung ditanam juga di lahan gambut milik Nungcik, selain padi sonor. Foto: Suara.com/Tasmalinda

 

Optimalkan lahan gambut

Pengenalan nyamplung memang tergolong baru untuk lahan gambut (peatland). Umumnya, tanaman hutan ini berada di tanah mineral atau lahan-lahan pesisir pantai sebagai penahan angin.

“Tujuan awalnya adalah mengoptimalkan gambut yang kerap terbakar,” ujar Peneliti CIFOR, Yustina Artati, dihubungi Selasa (21/12/2021).

Mulanya pengenalan tanaman ini sebagai upaya restorasi gambut, guna meningkatkan produktivitas lahan yang terdegradasi. Sekaligus, sebagai usaha preventif terjadinya kebakaran hutan dan lahan atau karhutla.

“Nyamplung benar-benar komoditas baru yang dikenalkan di masyarakat Sumsel, dan baru diujicobakan di lahan gambut. Selama ini, di gambut hanya dikenal tanaman musiman seperti padi dan buah, sementara nyamplung berupa tanaman kayu atau kehutanan,” terangnya.

Di Kalimantan, nyamplung sudah dicoba di gambut. Plot penelitian tanaman bioenergi ini berada di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Di lokasi ini, ada juga kemiri sunan, kaliandra, dan gamal. Selain Pulang Pisang, nyamplung juga ditanam di Kalampangan, Palangkaraya.

Dari hasil penanaman sejak 2016, nyamplung mampu hidup di lahan gambut di Kalimantan. Kemampuannya (survival rate) mencapai 90 persen. “Dari uji coba ini, nyamplung bisa dikatakan tumbuh baik di lahan gambut,” ujarnya.

Untuk di Desa Perigi Talang Nangka, Pangkalan Lampam, Sumatera Selatan ini, biji nyamplung berasal dari Dompu, Nusa Tenggara Barat. Benihnya berbeda dibandingkan nyamplung yang sudah lebih dulu ditanam di Kalimantan. Selain nyamplung, yang ditanam awal 2018, ditanam juga delapan varietas tanaman hutan lainnya.

“Penelitian ini ingin mengetahui jenis tanaman yang sesuai untuk pemulihan lahan gambut, sehingga dicoba beberapa varietas tanaman. Pastinya, lahan gambut beda, karena unsur nutrisinya rendah. Butuh waktu lebih tiga tahun untuk nyamplung berbunga dan berbuah, berdasarkan pengalaman di Kalimantan,” imbuhnya.

Selain berpotensi untuk restorasi gambut, nyamplung juga menjadi sumber energi nabati yang sudah diproses menjadi biofuel. Nyamplung dikembangkan di Sumatera Selatan, setelah tanaman jarak.

Baca juga: Dana Alokasi Sawit Masih Berpihak pada Biodiesel, Bagaimana Kondisi Petani?

 

Tanaman nyamplung memang baru dikenal oleh masyarakat di Sumatera Selatan. Tanaman ini memiliki banyak manfaat dan membuat lahan gabut kritis kembali produktif. Foto: Suara.com/Tasmalinda

 

Peneliti Ahli Utama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Budi Leksono mengatakan, nyamplung di Sumatera Selatan tengah diujicobakan di lahan gambut. Selain memperbaiki kerusakan lahan, jenis ini juga digunakan sebagai bahan bakar nabati selain sawit.

Bahan bakar nabati nyamplung sangat berpotensi di seluruh Indonesia. Kelebihan nyamplung di antaranya adalah produksi buah yang banyak, berbuah sepanjang tahun, potensi minyak tinggi antara 30 hingga 74 persen, serta limbahnya bisa didaur ulang.

“Di Sumatera Selatan, nyamplung ditanam di lahan-lahan gambut yang pernah terbakar dan terdegradasi, yang harus dipulihkan. Tanaman jarak dan nyamplung, sama-sama sumber energi nabati, dan nyamplung tengah dicoba di lahan gambut kritis sekaligus untuk mengetahui manfaat lainnya,” paparnya.

 

*Tasmalindajurnalis Suara.com [Sumatera Selatan]. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan

 

 

Exit mobile version