Mongabay.co.id

Catatan Awal 2022: Kembalikan Makna Keadilan Agraria dalam Tafsir Rakyat

Elisabeth Ringit (ditandai) dalam aksi warga Kinipan menolak PT SML di wilayah Hutan Adat Laman Kinipan pada Sabtu, 19 Januari 2019 Doc. Save Our Borneo

 

 

 

Pada satu masa, pasca paceklik panjang dan setelah perjuangan berliku beragam kelompok gerakan agraria nasional, reforma agraria kembali dalam pangkuan kebijakan nasional. Ia jadi isu strategis nasional dalam Nawacita 2015-2020. Harapan sempat membumbung tinggi. Sayangnya, pil pahit harus ditelan kembali.

Selain mandat dasar perombakan struktural ketimpangan agraria tak kunjung datang, makna dasar reforma agraria justru jadi dominan dalam program legalisasi aset berbentuk sertifikasi tanah.

Kalau hanya mau jalankan program ini, mestinya tidak perlu “reforma agraria”karena sudah jadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari Kementerian ATR/BPN. Puncak duka dan rasa pahit itu makin terasa ketika lahir Undang–undang Cipta Kerja No. 11/2020. Tak dijumpai aroma keadilan sosial dan dimensi pro kerakyatan dalam tujuan utamanya. Sebaliknya, justru memberi karpet merah, memanjakan dan melayani korporasi alias investor skala besar nasional maupun trans nasional.

Tak heran kalau banyak yang menyerukan sejak kehadiran UU Cipta Kerja dengan ucapan: “Welcome to Republik Investasi.”

Bank tanah hendak dipaksa terwujud jadi instrumen handal untuk liberalisasi dan komoditifikasi tanah demi tujuan-tujuan pembangunan. Makna “fungsi sosial” tanah sebagai ruh UU Pokok Agraria/1960, terkhianati. Lengkaplah pembajakan itu.

Setelah “tanah dihidupkan” jadi aset ekonomi dengan “sertifikasi,” upaya konsentrasi penyediaan tanah untuk pembangunan ditampung dalam wadah bank tanah. Makin jelas tujuan reforma agraria, yang seharusnya “peasant led agrarian reform” (reforma agraria yang dipandu rakyat) berjiwa keadilan sosial dan kedaulatan agraria, dibajak, berubah jadi “market led agrarian reform” (reforma agraria yang dipandu pasar) berwatak kapitalistik-neoliberal.

Bank tanah dan kebijakan pro investasi skala besar melalui karpet merah UU Cipta Kerja itu makin menegaskan watak asli dari rezim berkuasa yaitu: populis-authoriterian-– neoliberal. Populis karena selalu memakai gincu atau gimmick politik dengan narasi kerakyatan. Sebut saja, simbol pakaian adat nusantara kerap dipakai dalam acara formal kenegaraan. Sebaliknya, masyarakat adat–pemilik sah dari pakaian adat itu—terabaikan hak dasar, ruang hidup mereka pun rusak.

 

Konflik agraria. Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Makna otoriterian dalam kasus kelahiran UU Cipta Kerja—dalam arti luas sebagai aturan fundamental membentuk suatu struktur berhukum baru yang berbeda dengan hukum lama—namun proses lahir dengan cara “petak umpet.” Tanpa hormat pada prinsip trasparansi dan partisipasi subtantif. Bahkan, prosesnya, sengaja memilih menutup telinga dari gelombang protes gerakan sosial secara nasional.

Singkatnya, proses pembentukan UU Cipta Kerja sengaja mengabaikan aspirasi publik dan isi melemahkan kontrol publik terhadap pelaksanaan pembangunan. Makna neoliberal dalam konteks kelahiran UU Cipta Kerja terlihat jelas karena mengandung ‘janin’ neoliberalisme. Isi UU Cipta Kerja melekat misi deregulasi, perluasan peranan swasta, liberalisasi perdagangan dan industri, memberikan kemudahan bagi perusahaan besar, mengakibatkan kesusahan ruang hidup bagi masyarakat, dan kehancuran bagi lingkungan atas nama pembangunan (new-developmentalism) (Arizona, 2021).

Kondisi ini, menyebabkan Mahkamah Konstitusi memenangkan sebagaian gugatan dari Koalisi Masyarakat Sipil dan menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Mahkamah Konstitusi menyatakan, tidak benar mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas. Termasuk, menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan UU Cipta Kerja.

Kemenangan ini jadi bara yang terus dinyalakan gerakan rakyat untuk menunjukkan cacat bawaan UU Cipta Kerja yang mengingkari mandat konstitusional.

 

Gurita oligarki

Kemudian, perlu jadi pertanyaan adalah, mengapa warisan model kebijakan ekonomi-politik kapitalis-neoliberal ekstraktif dan ekploitatif atas sumber-sumber agraria masih dipakai dari masa ke masa? Setidaknya, ada lima faktor pelestari. Pertama, endapan konsekuensi (recidual consequencies) rezim “pertumbuhan dan ekonomi liberal” dari sejak puncak di era Orde baru hingga sekarang belum terputus.

Mari lihat dengan seksama di sekitar tokoh atau elite partai politik besar nasional pasca reformasi 1998 hingga sekarang. Adakah aktor utama yang (sama sekali) baru? Tidak. Mayoritas wajah lama. Salah harap kalau rakyat menghendaki angin perubahan mendasar dan bersifat struktural kalau aktor utama pada hakekatnya anti perubahan dan pendukung status quo.

 

Lahan ulayat masyarakat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

Merujuk Yuki Fukuoka dan Luky Djani, pada artikel mereka yang terbit dalam South East Asia Research 2016 berjudul Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation of Postclientelist Initiatives?’ setelah Orde Baru tumbang, kelompok masyarakat tercerai-berai tidak beraturan. Akibatnya, pemegang kekuasaan masih tak bisa jauh-jauh dari oligarki rezim terdahulu.

Kedua, gurita oligarki makin kokoh. Sesudah Soeharto jatuh, kekuatan-kekuatan pemodal yang dikenal dengan “oligarki” mampu menyesuaikan diri pada struktur politik Indonesia baru yang lebih demokratis di era reformasi. Dampaknya, oligarki mempunyai peran sangat menentukan dalam perpolitikan dan penentu demokrasi Indonesia hingga kini (Vedi Hadiz, 2017). Oleh banyak media mereka ini disebut kaum “elite satu persen.”

Dari empat jenis oligarki, –oligarki panglima, oligarki penguasa kolektif, oligarki sultanistik, dan oligarki sipil (JA. Winter, 2011)– nampaknya lebih tepat dari realitas di Indonesia, mengarah pada oligarki penguasa kolektif.

Kaum “elite satu persen” penguasa kolektif adalah kombinasi kuasa negara (eksekutif), legislatif, yudikatif dengan korporasi dan seringkali mendapat dukungan militer.

Mayoritas dari “elite satu persen” berstatus “politisi cum pengusaha atau pebisnis” dengan gurita kekayaan mencengkram lintas bidang dan sektor. Ia memonopoli kekayaan sumberdaya alam, sumber pangan, properti, jasa, mal, hotel, hiburan, hingga media.

Kondisi ini, mempertegas hasil riset lanjutan dari Jeffrey A. Winters, Direktur Buffet Institute of Global Affairs, berjudul “Oligarchy and Democracy in Indonesia” (2013), yang menyatakan, sejak awal rezim penguasa ini adalah produk oligarki.

Ketiga, kokohnya praktik state chaptered (penyanderaan negara). Konsekuensi dari kuatnya oligarki penguasa kolektif ekonomi-politik nasional itu melahirkan penyandaraan negara oleh kekuatan di luar negara (beyond state). Ia secara struktural mampu mengontrol dan mengarahkan ragam regulasi dan kebijakan pembangunan nasional “selaras” dengan ‘pesanan’ mereka. Ongkos politik pilkada yang super mahal jadikan banyak calon kepala daerah dan politisi takluk dalam jebakan “ijon politik” dan harus menghamba dengan bayar utang dengan mengorbankan sumberdaya alam. Khusus, rezim industri pertambangan, perkebunan dan kehutanan (KPK-GNPSDA, 2017).

Keempat, gelombang baru reorganisasi ruang kapital global: produksi, konsumsi dan distribusi anti keadilan sosial-ekologis. Ekspansi geografis ini adalah ciri imperialisme kapitalis di era neoliberal bekerja. Imperialisme kapitalis lahir dari suatu relasi dialektis antara logika kekuasaan teritorial dan logika kekuasaan kapitalistik (Harvey, 2012).

Pertanyaannya, menurut Harvey, bukan pada bagaimana globalisasi berdampak pada geografi, melainkan bagaimana proses geografis spesifik dari produksi dan rekonfigurasi ruang untuk menciptakan kondisi baru bagi perkembangan kapitalisme kontemporer.

“Spatial/spatio-temporal-fix” adalah situasi atau kondisi overakumulasi dengan ditandai surplus capital (dalam bentuk uang, komoditi atau kapasitas produksi). Juga, surplus kekuatan tenaga kerja yang mengiringi hingga memaksa kapitalis untuk ekspansi geografis dan reorganisasi spasial dengan jalan investasi di sektor proyek-proyek jangka panjang yang perlu berpuluh-puluh tahun agar nilai investasi kembali bersikulasi lewat aktivitas produksi yang sedang mereka dukung pendanaan (jaringan transportasi, komunikasi, pendidikan dan riset).”

Dalam kasus Indonesia, proyek koridor ekonomi yang melahirkan mega infrastruktur dapat menjadi contoh aktual. Kelima, lemah dan un-visibilitas alternatif paradigma pembangunan non ekstraktif dan ekploitatif atas sumber-sumber agraria. Hal ini jadi autokritik serius bagi gerakan rakyat, bahwa penyeragaman paradigma pembagunan kapitalis-neoliberal sejak Perang Dunia II di negara-negara berkembang belum kuat tertandingi dengan paradigma dan narasi tanding yang setara. Hingga, bisa hadir jadi alternatif pembangunan. Andre Gorz (1972) mengajak dunia untuk tidak terlalu agresif mengejar pertumbuhan ekonomi, atau lebih dikenal dengan konsep degrowth. Spirit mencari alternatif pembangunan keadaban dengan menggali ‘tenaga dalam’ berbasis sejarah kenusantaraan yang meminjam semangat degrowth. Lonceng pun penting ditabuh lebih keras.

 

Tafsir kerakyatan = tafsir konstitusional

Moh. Hatta melalui perumusan Pasal 33 UUD 1945 menegaskan sebagai sendi utama politik (demokrasi) ekonomi dan politik sosial sejak Indonesia merdeka. Selaras dengan itu, Bung Karno dalam Pidato 1 Juni 1945 menyatakan, demokrasi yang dikehendaki adalah permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Bunyi ketentuan Pasal 33 UUD 1945, hasil amandemen 2002, pertama, perekonomian disusun sebagai sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ketiga, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasainNegara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Keempat, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisisensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Kelima, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam UU.

 

Koalisi Masyarakat Bengkulu menolak adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa, 8 September 2020. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Dalam amandemen UUD 1945 tahun 2002, Pasal 33, ayat 1, 2 dan 3, tidak berubah, sebagaimana dalam naskah teks asli. Pasal 33 UUD 1945, ayat 4 dan 5 terjadi amandemen. Masuk kata: “efisiensi berkeadilan.” Kata “efisiensi” dalam perekonomian berorientasi pada maximum gain (dalam badan usaha ekonomi) dan maximum satisfaction (dalam transaksi ekonomi orang-seorang). Hal ini meneguhkan pandangan neoliberalisme ekonomi dan membuka jalan ke arah kapitalisme dalam Pasal 33 UUD 1945.

Dalam naskah atau teks asli UUD 1945, Pasal 33 Bab XIV berjudul kesejahteraan sosial, mengalami perubahan judul setelah amandemen 2002 jadi perekonomian Indonesia dan kesejahteraan sosial. Maka, kesejahteraan sosial turun pangkat, ditempatkan sebagai derivat dari perekonomian. Berarti posisi rakyat dan kemakmuran rakyat yang sentral-substansial tereduksi jadi marginal-residual.

Pengutamaan kepentingan rakyat yang memberi ciri sosialisme Indonesia pada Pasal 33 UUD 1945 jadi tersubordinasi dan terdistorsi. Hal ini mesti dikoreksi dan kembali ke khitah awal sebelum amandemen.

 

Apa tawaran agenda bersama?

Sebagai refleksi awal tahun, penting memulai dari hal kongkrit. Pertama, menuntut presiden dan DPR mencabut UU Cipta Kerja karena dianggap inkonstitusional formil, meski bersyarat. Ia sebagai langkah awal untuk perbaikan sebagaimana dikehendaki putusan Mahkamah Konstitusi.

Mekanisme hukum bisa merujuk rekomendasi dari Tim Fakultas Hukum UGM (2021). UU Cipta Kerja ini sumber biang kerok praktik kebijakan ekstraktif-eksploitatif dalam mempertajam jurang ketimpangan struktural agraria atas sumber-sumber agraria nasional. Juga pencipta kriminalisasi, marjinalisasi-eksklusi rakyat dari ruang hidup mereka.

Kedua, menuntut “tanggung jawab” pemangku otoritas kebijakan, kaum intelektual, akademisi memutus dan koreksi mendasar atas paradigma kebijakan pembangunan yang masih melayani elite korporasi-oligarki. Juga mengkhianati konstitusi demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan membuka front di banyak tempat, termasuk kampus-kampus. Ketiga, mengeraskan bunyi ‘loceng tanda bahaya’ terkait pembajakan agenda-agenda kerakyatan dan pengkhianatan konstitusional, terbukti dengan masih mempertahankan UU Cipta Kerja yang berwatak kapitalis-neoliberal dan menggadaikan cita-cita konstitusioanal kedaulatan bangsa. Dalam gerakan ini kaum Millenial dan Gen Z, penting menjadi ujung tombak. 

Keempat: memastikan “simetri informasi” atau keadilan informasi terjaga. Di tengah era disruptif dan jumawanya kelompok BuzzerRP memastikan “people well informed” adalah perjuangan penting. Ia sinergis dengan upaya terus-menerus menjaga ruang publik yang waras dan menghargai akal sehat sebagai bagian dari pendidikan kritis rakyat. Ia mesti diperluas hingga ke basis rakyat.

Kelima, orkrestasi ulang gerakan rakyat (baru?) yang lebih sistematis dan kuat sebagai kekuatan penyeimbang kuasa negara. Ketiadaan kekuatan penyeimbang yang kuat jadikan negara makin dominan dan sewenang-wenang. Untuk itu, perlu orkrestasi gerakan rakyat yang mampu menghadang dan koreksi kebijakan nasional tak pro rakyat baik ‘hulu, tengah dan hilir.”

Strategi advokasi atau pengorganisasian simpul-simpul “massa kritis” di hulu, misal, advokasi tata ruang, merumuskan konsep tading dan membuka alternatif kekuatan blok politik. Juga, koalisi gerakan baru antara rakyat, buruh, akademisi-intelektual, budayawan, gerakan masyarakat sipil, media, agamawan dan basis-basis gerakan rakyat lain layak dilakukan.

Keenam, menggali ulang legacy simpul kekuatan peradaban nusantara sebelum masa keruntuhan, sebagai negara-negara Selatan yang pernah setara (bahkan menguasai) negara-negara Utara (Ananta Toer, 2013). Untuk membangun ulang jati diri-nilai luhur bangsa dan kemajuan peradaban negara-bangsa (nation-state) ini tanpa berkiblat dan takluk penuh pada serba “barat atau negara lain.” Khususnya, membangun ulang kesadaran sebagai negara tropis yang bersifat agro-maritim.

Dalam banyak studi sejarah memperllihatkan, era kejayaan kerajaan nusantara sebelum abad XV, memliki penanda penting yang jadi “ruh” peradaban zaman itu, yakni kombinasi tiga kekekuatan. Yakni, tradisi-budaya, rasionalitas-kosmopolitanisme dan spiritualitas.

Saatnya, negeri tropis kaya gemah ripah loh jinawi bangun dari lelap tidur dan mimpi. Jangan sampai negeri ini berubah jadi gemah ripah oligarki. Selamat tahun baru 2022!

 

 

*Penulis: Eko Cahyono adalah peneliti-pegiat Papua Study Center (PSC) dan Sajogyo Institute (Sains). Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

 

******

Foto utama: Hutan adat Laman Kinipan yang tergerus jadi kebun sawit. Konflik antara warga Kinipan dan perusahaan sawit pun berlanjut. Foto: SOB

Exit mobile version