Mongabay.co.id

DPRD Riau Bentuk Pansus Konflik Lahan, Berikut Catatan Organisasi Lingkungan

Ilustrasi. Shutterstock.com

Workers were seen collecting palm oil at PTPN VIII Palm Oil Plantation & Factory Kertajaya, Malimping, West Java, Indonesia. 28/03/2010

 

 

 

 

Kasus konflik lahan atau masalah agraria banyak masuk ke DPRD Riau. Dewan Riau pun membentuk panitia khusus untuk penyelesaian konflik lahan masyarakat dan perusahaan. Mereka sudah dua bulan lebih bekerja.

Sejak terbentuk awal November lalu, Ketua Pansus Marwan Yohanis bilang, Januari 2022, ini masuk tahap pemanggilan sejumlah organisasi perangkat daerah. Masa kerja pansus empat bulan lagi.

Para pelapor telah dipanggil satu per satu sampai akhir Desember tahun lalu, tak semua memenuhi kriteria yang akan ditindaklanjuti. Ada 34 laporan masuk, mengerucut jadi 15. Pertimbangannya, rentang waktu konflik cukup panjang; belum pernah ada pembahasan; dampak sosial cukup luas serta belum ditangani pihak lain.

“Ada juga sudah masuk pengadilan dan difasilitasi dinas. Kalau proses cukup bagus, tidak perlu lagi dibahas. Tinggal dipantau dan diminta progres supaya tidak tumpang tindih,” kata Marwan, 3 Januari lalu, via telepon.

Pansus, katanya, menganalisa terlebih dahulu laporan berdasarkan hukum formal maupun aturan adat. Konflik-konflik lahan yang masuk ada sektor kehutanan dan perkebunan sawit dengan korban kelompok masyarakat adat, tani maupun koperasi. Penyebabnya, penyerobotan lahan, pemutusan akses jalan hingga penanaman di luar izin.

Marwan bilang, ada masyarakat menganggap areal itu bukan hak guna usaha (HGU) perusahaan tetapi tetap digarap.

Dari temuan sementara itu, pansus juga panggil perusahaan terkait. Perusahaan-perusahaan itu tidak jauh beda dengan temuan Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan DPRD Riau, pada 2015.

Dia belum mau menyebut nama-nama perusahaan karena masih dalam proses. Dia akan umumkan setelah pansus selesai bekerja. “Rata-rata kalau sudah menyangkut korporasi yang menguasai lahan luas pasti ada konflik. Cuma konflik ini kita carikan lagi solusinya. Kita sudah rumuskan kehendak dari para pelapor atau harapan masyarakat.”

Setidaknya, beberapa konflik lahan yang mencuat sebelum terbentuk pansus, antara lain PT Dutapalma Nusantara dengan Masyarakat Adat Siberakun di Kecamatan Benai, Kuantan Tengah dan Kuantan Hilir Seberang, Kuantan Singingi. Perusahaan grup Darmex Agro, itu berulangkali memutus akses masyarakat.

 

Baca juga: Buruh Sawit Koperasi Makmur di Kampar Menanti Kejelasan Upah

Masyarakat Desa Coto Aman, Kampar, aksi di depan Kantor Gubernur Riau, karena lahan mereka disebut masuk dalam konsesi perusahaan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Aksi sepihak itu sempat menghentikan aktitivitas masyarakat mencari nafkah, seperti menyadap karet, cari rumput dan beternak. Sebagian masyarakat terpaksa mencari jalur lain dengan jarak tempuh makin jauh. Selain menambah waktu, pilihan itu juga menguras bensin dua kali lipat dari biasa.

“Saya ndak nyebut itu ya. Harus dibahas dulu secara internal. Kalau dah selesai saya umumkan. Jangan dianggap pula oleh kawan-kawan pansus pandai sendiri.”

Selain Dutapalma, laporan terbaru yang masuk ke DPRD Riau kasus Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) dengan PT Perkebunan Nusantara V. Sejumlah anggota petani dan pengurus koperasi mendatangi gedung perwakilan rakyat daerah, itu 21 Oktober tahun lalu. Wakil Ketua DPRD Syafaruddin Poti menyambut langsung di ruangan medium.

Konflik kemitraan perkebunan sawit di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, sangat kompleks dan berlangsung sejak kerjasama pada 2003. Mulai soal penyusutan lahan, kebun gagal, kejelasan utang-piutang, gaji pekerja tersendat sampai beberapa persoalan hukum menimpa sejumlah petani termasuk ketua koperasi.

Manan mengaku tak hapal satu per satu para pelapor. Yang jelas, katanya, seluruh pelapor dipanggil untuk identifikasi masalah.

 

Harus transparan dan memihak masyarakat

Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari menyarankan, pansus bekerja transparan setiap tahap penyelesaian masalah sampai menetapkan rekomendasi. Dengan begitu masyarakat mengetahui kerja-kerja mereka. Juga menghindari stigma masuk angin terhadap kinerja anggota DPRD dalam mengawasi pemerintah daerah.

Pansus, katanya, juga harus berpihak pada masyarakat karena tujuan penyelesaian konflik guna memenuhi tuntutan dan hak korban. Pansus akan dianggap aneh, bila berpihak ke perusahaan.

Selain penyelesaian melalui DPRD, Okto usulkan, pemerintah daerah bentuk badan khusus. Fungsinya, mendata konflik, mencarikan solusi dan mengawal sampai penyelesaian.

“Konflik lahan di Riau itu luas dan banyak. Kurang optimal kalau hanya dibahas DPRD. Apalagi, pansus hanya merekomendasikan. Eksekusinya tetap pemerintah,” katanya.

Menurut dia, solusi penyelesaian konflik lahan masyarakat dengan perusahaan bisa melalui pengakuan masyarakat hukum adat. Namun, katanya, beberapa aturan berkaitan dengan itu belum pemerintah daerah siapkan.

Dia contohkan, Perda 10/2015 tentang tanah ulayat. Gubernur dan DPRD tak kunjung memperbaiki setelah Mahkamah Agung membatalkan dua pasal. Perda 14/2018 tentang pedoman pengakuan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan lingkungan hidup, belum juga sepenuhnya berjalan. Gubernur Riau tak kunjung menerbitkan Pergub Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.

 

Baca juga: Konflik Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja vs PTPN V Tak Kunjung Usai

Warga di Riau yang bermasalah lahan dengan perusahaan sawit, PT Duta Palma. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Okto bilang, jalan lain penyelesaian konflik lahan atau konflik agraria lewat percepatan realisasi perhutanan sosial dan tanah obyek reforma agraria (Tora) yang tergolong rendah di Riau. “Itu bagian dari solusi konflik. Lagi-lagi masalahnya di pemerintah provinsi dan kabupaten.”

Meskipun begitu Okto mengapresiasi ada pansus. Okto pun meminta pansus tidak sekedar memposisikan diri sebagai pengawas dan berhenti pada rekomendasi. Pansus, katanya, mesti bisa menuntut penegakan hukum bila menemukan tindak pidana dalam konflik itu. Dengan gunakan relasi politik, misal, memanggil gubernur bila hasil kerja mereka tak digubris.

Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, juga apresiasi pembentukan pansus ini. Meskipun begitu, katanya, kerja mereka jangan hanya berhenti pada rekomendasi. Pansus harus terus mendorong pemerintah daerah hingga pusat menjalankan butir-butir rekomendasi. Pansus, katanya, jangan sampai melahirkan kebijakan yang kontradiksi dengan hasil temuan.

Boy berkaca dari pengalaman pansus yang pernah ada. Misal, pansus monitoring dan evaluasi perizinan DPRD Riau pada 2015. Ratusan perusahaan yang ditemukan berkebun dalam kawasan hutan dan di luar izin justru dilegalisasi pansus dalam rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Riau. Padahal, katanya, sebagian anggota DPRD dalam dua Pansus itu sama.

Pernah juga ada rapat gabungan Komisi I dan II DPRD Indragiri Hilir tentang evaluasi perizinan perusahaan perkebunan yang dikeluarkan Bupati Indra Mukhlis Adnan, beberapa minggu sebelum jabatan berakhir. Salah satu, PT Setia Agrindo Lestari (SAL) yang berkonflik dengan masyarakat Desa Pungkat, Kecamatan Gaung. Temuan pansus bagus, tetapi sebatas rekomendasi.

“Apa guna temuan seperti itu kalau tidak dorong penyelesaian konflik atau melahirkan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup? Kalau ada niat baik menyelesaikan konflik di Riau, hasil pansus jangan sampai jadi dokumen,” katanya.

Boy juga mendorong pansus membuka 33 laporan konflik yang diterima DPRD Riau, mengedepankan nilai kepastian, adil dan manfaat. Selanjutnya, terus mengawal rekomendasi, memaksa evaluasi perizinan perusahaan berkonflik, bahkan tegas mendorong gubernur mengganti kepala dinas yang tidak menjalankan rekomendasi pansus.

Bila pemerintah tetap tidak efektif jalankan rekomendasi pansus, katanya, DPRD bisa mengunci atau menetapkan anggaran yang sejalan dengan hasil keputusan pansus untuk penyelesaian konflik.

Soal peran gubernur, Boy senada dengan Okto. Seharusnya, Gubernur Riau ambil bagian dalam penyelesaian konflik, dengan mengefektifkan Gugus Tugas Reforma Agaria (GTRA) atau Kelompok Kerja Perhutanan Sosial.

“Sebenarnya tanpa ada aduan atau laporan, DPRD bisa memastikan gubernur melaksanakan kewajiban sesuai perintah perda dan peraturan lain.”

 

*****

Foto utama: Perkebunan sawit, salah satu sektor yang banyak menimbulkan konflik lahan atau konflik agraria di Riau. Foto: Shutlerstock

Exit mobile version