Mongabay.co.id

KKP Tenggelamkan Dugong Terdampar Mati di Sinjai

 

Warga kampung Passahakue, Desa Passimarannu, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, digegerkan dengan temuan dugong di tengah hutan mangrove, pada Rabu (5/1/2021).

Ketika ditemukan, mamalia laut sepanjang 3 meter dan lebar 90 centimeter itu sudah dalam kondisi mati dan membusuk. Warga sempat membawa mamalia tersebut ke tengah laut sebelum akhirnya mendapat penanganan dari pihak berwajib.

Tim Quick Response (Tim Respon Cepat) Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar memastikan bahwa mamalia tersebut merupakan jenis dugong (Dugong dugon) dan melakukan penanganan sesuai dengan petunjuk penanganan yang ada.

Kepala BPSPL Makassar, Getreda M. Hehanussa, menjelaskan bahwa berdasarkan hasil identifikasi, bangkai dugong tersebut sudah dalam keadaan mati membusuk (kode 4).

“Dengan pertimbangan kondisi tekstur lahan di lokasi yang didominasi oleh bebatuan, tidak memungkinkan Tim BPSPL Makassar untuk mengubur bangkai dugong tersebut sehingga memutuskan untuk ditenggelamkan. Proses penenggelaman dilakukan saat kondisi air laut pasang untuk memudahkan menarik bangkai ke arah laut,” kata Getreda, dalam siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Senin (10/1/2022).

baca : Dugong Mati Terdampar di Polewali Mandar, Perlunya Dorongan Penelitian

 

Seekor dugong (Dugong dugon) ditemukan terdampar mati di kawasan mangrove Desa Passimarannu, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pada Rabu (5/1/2021). Foto : BPSPL Makassar

 

Tim BPSPL Makassar menangani bangkai dugong bersama jejaring penanganan mamalia laut terdampar yang terdiri dari Wilker PSDKP Sinjai, Polisi Hutan, Penyuluh Perikanan, Universitas Muhammadiyah Sinjai serta masyarakat setempat.

Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Pamuji Lestari, menerangkan bahwa dugong merupakan salah satu biota laut yang langka dan dilindungi melalui Peraturan Pemerintah No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.79/2018 tentang Rencana Aksi Nasional Konservasi Mamalia Laut.

“Salah satu upaya konservasi dugong di Indonesia adalah melalui program Dugong and Seagrass Conservation Project yang dimulai sejak tahun 2016 dan perdagangan dugong secara internasional dilarang karena status populasi dugong dikategorikan sebagai jenis satwa yang rawan punah oleh International Union for Conservation of Nature,” terangnya.

Pamuji Lestari juga menjelaskan dugong adalah spesies langka yang terancam punah dan tersebar di wilayah Indonesia salah satunya wilayah Sulawesi. Kelangkaan dan keterancaman ini diakibatkan siklus reproduksi yang rendah dan kerusakan area tempat makan (feeding ground), tempat mengasuh anak (nursery ground) dan tempat bereproduksi (spawning ground).

“Selain itu, perburuan ilegal dugong juga berdampak pada meningkatnya ancaman kepunahan dari spesies dugong yang ada di Indonesia,” tambahnya.

baca juga : Kisah Pilu Dugong di Perairan Pulau Bangka

 

Petugas dari BPSL Makassar memeriksa seekor dugong (Dugong dugon) yang terdampar mati di kawasan mangrove Desa Passimarannu, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pada Rabu (5/1/2021). Foto : BPSPL Makassar

 

Menurut Sekar Mira, peneliti mamalia laut di Pusat Penelitian Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kasus terdamparnya dugong, seperti yang terjadi di Sinjai, memang akan sering terjadi di awal-awal tahun, antara Januari – Februari.

“Mungkin hal ini disebabkan angin yang kuat pada bulan Januari dan Februari di wilayah Indonesia. Kasus dugong terdampar bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti gangguan di lingkungan, cuaca ekstrem atau terjerat jaring,” katanya.

Ia menilai langkah yang dilakukan oleh KKP dengan menenggelamkan bangkai dugong tersebut sebagai langkah tepat melihat pada kondisi yang ada.

“Apa yang dilakukan oleh KKP untuk bangkai dugong dengan kode 4 sudah baik dan tepat mengingat medan yang berupa pantai berbatu yang mungkin sulit untuk penguburan. Selain itu metode penenggelaman juga lebih baik dibanding dengan cara lain seperti dibakar, karena dengan metode ini rangka dugong nantinya masih dapat dikoleksi untuk kepentingan Ilmu pengetahuan,” katanya.

Kasus dugong terdampar telah beberapa kali terjadi di perairan Sulawesi. Sebelumnya, pada Juli 2021, dugong sepanjang 263 cm, lingkar badan 183 cm dan lebar ekor 83 cm ditemukan terdampar mati di pesisir Pantai Tanjung Batu, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Di bangkai Dugong tersebut terdapat luka remuk di bagian kepala, memar di bagian bawah leher dan terdapat 4 luka sayatan di bagian ekor.

baca juga : Bangkai Dugong Diambil untuk Obat Tradisional, Ini Penjelasan PSPL Sorong

 

Penenggelaman bangkai dugong (Dugong dugon) ditemukan terdampar mati di kawasan mangrove Desa Passimarannu, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pada Rabu (5/1/2021). Foto : BPSPL Makassar

 

Dua bulan kemudian, tepatnya 13 September 2021, dugong dengan panjang sekitar satu meter juga ditemukan terdampar di Pantau Galung Tulu’, Kecamatan Balanipa, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Mamalia air itu ditemukan warga di lahan rumput laut milik warga yang berada sekitar 25 meter dari bibir pantai, terperangkap di sela-sela pelampung milik nelayan.

Kemudian, pada 17 November 2021, nelayan di Pulau Kucing, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menemukan dugong terdampar sepanjang 2,76 meter dan lebar 1,6 meter dalam keadaan sudah mati dan membusuk. Pihak berwenang setempat tidak menemukan adanya tanda-tanda kekerasan pada tubuh dugong tersebut.

Kasus lainnya terjadi di pantai Jalaria, Lantamal VI Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, 26 November 2021, dimana sejumlah personel TNI AL yang sedang melakukan bersih-bersih pantai menemukan dugong terdampar dalam kondisi hidup namun kondisi lemah. Diperkirakan terdampar akibat terjebak di laut dangkal dan menabrak karang. Dugong ini kemudian berhasil dievakuasi dengan cara mengembalikannya ke perairan dalam.

Dugong sendiri merupakan salah satu mamalia laut yang biasanya memiliki panjang antara 2,4 – 3 meter dengan berat 230 – 930 kg. Hewan ini terlahir dengan warna krem pucat, seiring bertambahnya usia warnanya akan menjadi lebih gelap hingga abu-abu gelap di bagian punggung. Seluruh bagian tubuhnya ditumbuhi oleh rambut-rambut pendek dan memiliki kulit tebal, keras dengan permukaan halus.

Dugong merupakan satwa herbivora dan menghabiskan waktu untuk makan di padang lamun di wilayah pesisir dan perairan dangkal. Mamalia laut ini juga dapat dijadikan sebagai bio indikator kondisi padang lamun, karena spesies ini hanya tinggal di wilayah padang lamun yang berkondisi baik

menarik dibaca : Kisah Para Pemburu Dugong di Teluk Bogam

 

Ilustrasi. Seekor duyung (Dugong dugon) sedang memakan lamun di perairan Filipina. Foto : Jürgen Freund/WWF

 

Menurut informasi dari website KKP, dugong tersebar di beberapa wilayah Indonesia seperti Papua, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera, Timor Timur, Maluku, barat laut dan tenggara Jawa, pantai selatan Jawa Timur dan pantai selatan Kalimantan. Kampung Sawatut, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat merupakan salah satu daerah yang dihidupi oleh dugong. Warga setempat mengaku kerap melihat mamalia tersebut berenang menghampiri pantai untuk memakan lamun.

Kerusakan lingkungan, perburuan dan proses reproduksi yang lambat menyebabkan dugong menjadi langka. Indonesia melindungi dugong UU No7 Tahun 1999 dan Permen LHK Nomor 20 Tahun 2018. Selain itu oleh IUCN dugong digolongkan ke dalam spesies vulnerable to extinction atau retan punah. Dugong juga tergolong ke dalam Appendix I CITES yang berarti spesies ini dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apa pun.

 

Exit mobile version