Mongabay.co.id

Film: Bencana ‘Terencana’ di Pantura Jawa

 

 

 

 

Presiden Joko Widodo pidato kenegaraan dalam HUT ke-75 Kemerdekaan Indonesia pada sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR dan DPD, 14 Agustus 2020. Terlihat presiden menyampaikan, pemerintah sedang membangun sejumlah kawasan industri, termasuk pembangunan super koridor ekonomi Pantai Utara Jawa, Kawasan Industri Batang, dan Subang-Majalengka.

Super koridor ekonomi itu merujuk pada jalan utama di Pantai Utara Jawa yang menghubungkan Merak di Banten hingga Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur. Ada jalan raya nasional sepanjang 1.316 kilometer, ditambah jalan tol Trans Jawa 1.167 kilometer yang diharapkan menopang pertumbuhan ekonomi di Pantai Utara Jawa.

Di sela penggalan rekaman pidato presiden itu muncul bergantian sosok Mukarom dan Markumah, petambak Cirebon yang terdampak pengembangan Kawasan Industri Terpadu Cirebon. Juga Ruswandi, warga terdampak pembangunan Kawasan Industri Terpadu Batang, Yatno, Mulham, dan Suwarno petani Banyuwangi yang terbelit konflik agraria.

Cuplikan video itu dari film dokumenter itu “Surat Cinta dari Pantura.” Film berdurasi 1, 3 jam ini diputar dalam acara nonton bareng dan diskusi dengan tema “Kegiatan itu diberi tajuk Bencana di Indonesia: Alam atau Oligarki?’    pada penghujung tahun lalu. Acara ini diselenggarakan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), LHKP, Social Movement Institute, Akademi Amartya, Kurawal Foundation, dan Pusdeppol.

Eko Prasetyo, Direktur Social Movement Institute (SMI) mengatakan, kegiatan ini penting karena akhir-akhir ini perguruan tinggi tidak mau bersikap kritis terutama terhadap kebijakan pemerintah.

“Ini waktunya kita mendorong kampus berperan. Sudah lama kampus di Jogja mendukung oligarki. UU Cipta Kerja satgasnya 17 rektor,” katanya.

Film mengangkat sejumlah kasus di pantura terkait perebutan ruang hidup, dampak pengembangan kawasan industri, konflik agraria, bencana banjir, hingga aktivitas tambang yang mengancam kelestarian alam.

Dalam film itu disebutkan di sepanjang jalur pantura setidaknya ada 70 kawasan industri. Terdiri dari 12 kawasan di Banten, dua di Jakarta, Jawa Barat (39), Jawa Tengah (6), dan Jawa Timur (11).

 

Baca juga: Kala Penurunan Tanah Picu Banjir di Pantura Jawa

Warga harus bertani bersampingan dengan PLTU Cilacap. Ancaman debu dan sumber air sulit mengancam warga. Foto: Tommy Apriando

 

Dalam film ini memperlihatkan warga-warga terdampak ‘pembangunan’ proyek skala besar itu. Jahidi, petambak di Serang, Banten, resah. Dua setengah hektar tambaknya masuk dalam rencana pengembangan kawasan industri terpadu.

Di Kecamatan Kasemen dan Walantaka, ada 1.400 hektar tambak dan lahan pertanian kering akan beralih jadi zona industri dan kawasan pendukung seperti perumahan.

Jahidi hanya pasrah, terlebih lahan tambak itu hanya garapan, bukan miliknya.

“Saya sebagai orang kecil, ya biasa. Andaikata ini dijual sama yang punya, saya sebagai penggarap. Habis mau bagaimana.”

Sawin, buruh tani di Indramayu tak kalah resah. Dia punya lahan garapan tak jauh dari PLTU 1 Indramayu . Sejak pembangkit listrik batubara ini beroperasi pada 2011, hasil pertanian merosot. Tanaman tak sehat, daun kacang panjang menguning, panen padi turun. Debu pembangkit pun menyebar hingga lahan garapan.

Mistra, nelayan yang biasa mencari udang rebon di pinggir pantai mengeluhkan penurunan tangkapan sejak ada PLTU. Dari semula sehari bisa dapatkan 50-60 kg rebon, kini paling banyak 20 kg.

Warga pun protes tatkala pemerintah berencana membangun PLTU II dengan kapasitas dua kali lipat, 1.000 megawatt pada 2015. Sebuah organisasi bernama Jatayu atau Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu berdiri.

Pada 2017, Jatayu menggugat izin lingkungan PLTU 2 Indramayu, dan 6 Desember 2017 warga memenangkan gugatan di PTUN.

Warga merayakan dengan memasang bendera Merah Putih di desa. Anehnya, keesokan hari bendera dalam posisi terbalik. Tiga orang ditangkap polisi atas kasus bendera itu, termasuk Sawin.

Rodi, Ketua Jatayu mengatakan, kehadiran PLTU 2 bakal merampas ruang hidup warga yang biasa mengelola tanah. Termasuk, pencari udang dan nelayan karena perahu jadi terhalang.

Di Cirebon, pengembangan kawasan industri terpadu mengancam warga Losari yang menggantungkan hidup dari tambak dan pertanian. Salah satunya, Mukarom, nelayan tambak. Dulu, dari hasil tambak cukup untuk menopang hidup keluarga. Dia kerap dibujuk calo untuk menjual tanah. Markumah, juga warga Jatayu, terpaksa menjual tambak karena mendapat ancaman.

Di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi, lahan yang digarap turun temurun juga diklaim perusahaan perkebunan. Pasca Presiden Soeharto lengser, warga aksi pendudukan lahan.

Suwarno, kepala dusun di Pakel, mengatakan, kalau laki-laki terpaksa pergi untuk menghindari penangkapan. Mereka tidur di kebun, tebing, ada pula yang mengungsi dan mencari pekerjaan di tempat lain.

Di rumah, Suwarno memperlihatkan banyak surat panggilan yang dia terima.

“Ini surat panggilan dari kepolisian, semua ini. Saya nggak bisa nyebutin (berapa jumahnya), terlalu banyak. Ini panggilan-panggilan dari polisi. Semua surat cinta dari Polres ini, semua ini. Rata-rata isi suratnya (tentang) penyerobotan lahan.”

Di Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggrahan, Banyuwangi, sebuah kawasan yang awalnya sebagai hutan lindung jadi hutan produksi pada 2013. Sejak itu, perusahaan bisa ajukan izin tambang.

Budi Pego, petani yang menolak penambangan berkali-kali dilaporkan perusahaan ke kepolisian.

“Saya mulai 2014, sudah lima kali dilaporkan perusahaan dengan pasal-pasal yang memang diadakan supaya bisa terjerat. Contohnya, memasuki lahan tanpa izin.”

Budi Pego memperlihatkan sumur di kebun buah naganya.

“Kalau dulu, normal, sebelum ada penggalian tambang, ini dari tanah jarak sekitar satu meter ke bawah sudah dapat air. Kita nyampe pakai gayung, pakai tangan itu nyampe. Sekarang, di musim penghujan saja enggak bisa naik seperti itu.”

 

Kali Ciliwung yang meluap di seputar Jakarta Pusat Rabu (1/1/220). Bencana ekologis di Pulau Jawa ini karena daya dukung lingkungan sudah tak memadai. Foto : BNPB/Mongabay Indonesia

 

Selain air di sumur menyusut, banjir melanda saat turun hujan deras. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh warga Desa Sumberagung.

Kala hujan turun,  banjir yang membawa air, lumpur, dan batu masuk ke halaman,sampai  menggenangi kebun jagung siap panen.

Faisal Basri, ekonom, mengingatkan dalam film dokumenter besutan sutradara Ari Trismana itu bahwa industrialisasi di Pulau Jawa termasuk di pantura sebenarnya proses yang mendekati bahkan melampaui daya dukung Pulau Jawa.

“Coba bayangkan, Jawa itu luas area 6,7% dari wilayah Indonesia. Kegiatan ekonominya menyumbang 58%. Jawa ini sudah terlalu dipaksakan. Dalam tanda petik diperkosa terus untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan daya dukung alam serta perimbangan antarpulau.”

Dia tak menyalahkan industri tetapi bagaimana mengembangkan industri patuh tunduk dan taat pada prinsip triple bottom line itu. “Jadi. bisnis atau industri, people atau orangnya dan lingkungan. Itu harus tetap dijaga prinsip dasarnya.”

Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomika Demokratika mengatakan, kekerasan yang melibatkan aparat, intimidasi, kriminalisasi bagi yang menolak proyek menjadi bagian hidup sehari-hari. Hal-hal itu, katanya, tidak pernah masuk kategori bencana dan harus ada mitigasi.

“Ia tidak masuk dalam definisi bencana di dalam cakap bencana yang dominan. Padahal ini bencana menerus dan bencana bertuan, ada tuannya ini bukan tak bertuan.”

 

Bencana terencana

Bagi Elisa Sutanudjaja, dari Rujak Center for Urban Studies bilang, menonton film ini seperti menyaksikan versi panjang yang terjadi sangat cepat. Mulai dari tanam paksa pada era kolonialisme hingga masalah banjir Jakarta di masa sekarang.

“Pasca tanam paksa, masuk konglomerat baru dari Eropa membangun perkebunan-perkebunan. Salah satunya di Jawa Barat berupa perkebunan teh. Dari 100 perkebunan teh di Indonesia, 80 perkebunan ada di Jawa Barat. Sebagian di DAS Ciliwung dan sebagian di daerah Puncak Bogor.”

Elisa katakan, banjir besar Batavia pada 1918 antara lain karena pembukaan kebun teh di hulu dan faerah aliran sungai. Sayangnya, kesalahan sama diulangi lagi pada masa sekarang dengan pembukaan properti, jalur kereta cepat, dan kota baru dalam skala lebih besar.

“Konglomerat yang punya proyek di hulu tidak pernah dimintai tanggung jawab terhadap banjir di hilir.”

 

Tambang emas Tumpang Pitu yang berada di ketinggian. Warga sekitar kini mengeluhkan air mulai sulit sampai banjir kala musim penghujan. Foto: Walhi Jatim

*****

Exit mobile version