Mongabay.co.id

Menanti Babak Baru Transisi Energi

Pembangkit listrik matahari di Likupang, Sulut. Foto: Pemerintah Sulut

 

 

 

 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan strategi transisi energi Indonesia tahun ini setelah sejumlah komitmen diumumkan pada 2021.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM mengatakan, tahun 2022 porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer sebesar 15,7% atau 366,4 million barrel oil equivalen (MBOE).

“Penambahan kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan sebesar 335 megawatt dari PLTS atap dan 648 megawatt dari sumber lain,” katanya.

Implementasi B30 tahun ini mereka targetkan 10,1 juta kilo liter dan pengurangan emisi gas rumah kaca 91 juta ton CO2e.

Untuk itu, perlu investasi di subsektor EBTKE US$3,9 miliar dengan target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp1.553 miliar.

Sisi lain, untuk mendukung industri energi terbarukan dalam negeri, pemerintah menargetkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sub sektor ini sebesar 70% PLTA, 35% PLTP, 40% PLTS dan PLTB.

Juga proriitas penyelesaian regulasi dan standar sub sektor ini yakni Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan, Rancangan Peraturan Presiden tentang harga energi terbarukan, Rancangan Keputusan Menteri Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) Peralatan Pemanfaat Energi, pemerintah juga akan membangun kerja sama internasional terkait studi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Dari sisi ketenagalistrikan, Rida Mulyana, Dirjen Ketenagalistrikan KESDM mengatakan tahun ini KESDM menetapkan reduksi emisi CO2 dari pembangkit listrik 5,36 juta ton.

“Angka ini akan kita kawal selama 2022 nanti,” katanya.

 

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Transisi Energi Masih Setengah Hati

Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Cilegon city, Banten, Indonesia.  Akankah Indonesia, serius transisi energi dari fosil ke energi terbarukan? Foto : Ulet Ifansati/Greenpeace

 

Untuk itu, pemerintah menyusun prinsip pelaksanaan netralitas karbon dan peta jalan transisi energi, salah satu dengan penerapan pajak dan perdagangan karbon pada 1 April 2022 dengan skema cap and trade and tax.

Skema ini khusus bagi PLTU batubara dengan kapasitas 25-100 megawatt yang akan efektif berlaku pada 2023.

Secara rinci, pemerintah membagi penetapan batas atas emisi gas rumah kaca pada tiga klasifikasi: PLTU non mulut tambang dengan kapasitas di atas 400 megawatt, kapasitas 100-400 megawatt dan PLTU mulut tambang di atas 100 megawatt.

Pengecualian ini, kata Rida, karena mempertimbangkan faktor pelayanan penyediaan listrik kepada masyarakat karena PLTU kapasitas 25-100 megawatt merupakan tulang punggung suplai kelistrikan di luar Jawa.

“Jangan sampai mengurangi pelayanan penyediaan listrik, karena karbon tinggi kemudian ditutup dan gelap gulita. Itu buat kita tidak elok. Kalau ini ditutup karena alasan emisi, sementara penggantinya belum ada, jangan sampai seperti itu,” katanya.

 

Capaian tahun lalu

Catatan KESDM, tahun lalu pengurangan emisi gas rumah kaca mencapai 69,6 juta ton CO2e, 104% dari target 67 juta ton CO2e.

Porsi bauran energi terbarukan pada 2021 tercatat 11,5%. Kurun lima tahun terakhir penambahan kapasitas energi terbarukan 1.730 megawatt dengan kenaikan rata-rata 4,3% per tahun, kapasitas terpasang energi terbarukan mencapai 654,76 megawatt dari target 854,78 megawatt.

Tambahan pembangkit ini antara lain, PLTA Poso peaker expansion1-4, PLTA Malea, tiga pembangkit panas bumi, pembangkit bioenergi, 18 pembangkit minihidro dan tujuh pembangkit surya dan surya atap.

Investasi tahun lalu tercatat US$1,51 miliar atau 74% dari target US$2,04 miliar.

Tahun lalu, pemanfaatan biodiesel untuk domestik mencapai 9,3 juta kilo liter dengan devisa dihemat mencapai Rp66,54 triliun.

 

Baca juga: Menguji Keseriusan Indonesia Lepas Energi Batubara Beralih ke Terbarukan

Panal surya di Kepulauan Riau, yang dikelola komunal. Foto: Yogi Eka Saputra/ Mongabay Indonesia

 

Tumpang tindih

Meski arah strategi transisi energi Indonesia makin jelas, namun laju transisi energi perlu dipercepat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca serta sejalan dengan jalur Persetujuan Paris dalam menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang ada beberapa strategi yang dirasa masih tumpang tindih, misal, pemanfaatan dimethyl ether (DME), jaringan gas dan kompor induksi untuk menggantikan pemenuhan energi rumah tangga yang seharusnya bisa ada peta jalan lebih fokus.

Pada peta jalan transisi energi 2021-2030, pemerintah menitikberatkan pada pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan yang mencapai 20,9 gigawatt, sementara target PLTS atap 3,6 gigawatt. Pembangunan PLTS akan masif pada 2031-2050 total 279,2 gigawatt.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan, merujuk kajian IESR, “Dekarbonisasi Menyeluruh Sistem Energi Indonesia”, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan justru harus dikebut jangka waktu 2021-2030. Ini untuk mencapai target bauran energi terbarukan, dan mencapai puncak emisi di sektor kelistrikan sebelum 2030.

Selain itu, setidaknya perlu peningkatan 14 kali lipat dari jumlah kapasitas energi terbarukan pada 2020, dengan sekitar 117 gigawatt dari PLTS dan 23 gigawatt dari pembangkit energi terbarukan lain.

“Target penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan selalu di bawah target pemerintah sejak 2019 dan tidak on-track dengan target bauran energi terbarukan yang mencapai 24 gigawat pada .”

Menurut Fabby, penyebab penambahan pembangkit energi terbarukan rendah bersifat struktural, antara lain: Permen ESDM No. 50/2017 yang membuat proyek pembangkit energi terbarukan tidak bankable. Juga, pengadaan pembangkit energi terbarukan tak berkala dan terjadwal oleh PLN, minim dukungan pembiayaan domestik yang kompetitif, serta keterlambatan realisasi proyek karena pandemi.

Menyoroti target investasi sektor energi terbarukan pada 2022, kata Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR, meskipun target meningkat hampir tiga kali lipat, jumlah itu tergolong kecil untuk mendanai upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia.

“Berdasarkan kajian Indonesia Energy Transition Outlook 2022, investasi energi terbarukan untuk sektor ketenagalistrikan saja membutuhkan US$11,1 per tahun selama satu dekade ke depan.”

Beberapa kebijakan energi terbarukan yang seharusnya rilis tahun lalu, perlu segera final untuk meningkatkan kepercayaan investor dan iklim investasi energi terbarukan. “Investasi energi terbarukan di luar RUPTL PLN, seperti PLTS atap juga perlu didukung penuh agar bisa menarik investasi dari awal tahun ini,” kata Deon.

Tidak hanya itu, strategi pemerintah untuk tetap mempertahankan subsidi energi fosil justru akan makin memperlambat laju transisi energi di Indonesia. Selain menambah beban negara, itu akan membuat Indonesia lebih mudah terjebak pada krisis energi fosil.

“Berkaca dari krisis energi batubara awal tahun ini, terlihat penggunaan energi fosil seperti batubara dan dukungan subsidi berupa DMO (domestic market obligation) juga tak menjamin ketahanan energi negara, justru menciptakan distorsi pada harga pembangkitan listrik.

 

Baca juga: Cerita dari Pulau Obi, Daerah Penghasil Bahan Baku Baterei Kendaraan Listrik [1]

Panas bumi. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Dieng, kelolaan PT Geo Dipa Energi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Harga pembangkitan listrik PLTU batubara, katanya, terlihat lebih murah dari seharusnya dan tidak menciptakan level playing field bagi energi terbarukan.

Strategi pemerintah mempercepat upaya transisi energi nasional justru terkendala pada belum disetujuinya Rancangan Perpres Pembelian Energi Terbarukan oleh Menteri Keuangan. Deon berpendapat, perlu ada koordinasi strategis antar kementerian untuk mendukung percepatan pencapaian target netral karbon hingga dukungan regulasi yang dianggap kritikal seharusnya bisa segera terbit dan berjalan efektif.

IESR melihat, sinergitas target netral karbon antar kementerian juga hal penting.

Mengenai target dan realisasi kendaraan listrik 2022, Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menemukan, dua target berbeda di dua kementerian. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana memproduksi 750.000 LCEV (low carbon emission vehicle), terdiri dari mobil listrik dan 2,45 juta sepeda motor listrik pada 2030.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan 2 juta mobil listrik dan 13 juta sepeda motor listrik pada 2030. Target dan peta jalan berbeda dalam pengembangan kendaraan listrik, katanya, akan menyulitkan melihat upaya yang koheren dan konsisten dari pemerintah untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di dalam negeri.

Peta jalan kendaraan listrik nasional yang terintegrasi dan dirancang dengan baik harus dibuat. Keselarasan antara peta jalan electric vehicle Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM, misal, bisa meningkatkan keyakinan pemain electric evnicle, juga bisa memaksimalkan manfaat ekonomi bagi Indonesia. Salah satu berupa value chain industri yang terbentuk dari proses transisi dari kendaraan internal combustion engine (ICE) ke electric venicle itu.

 

Tak konsisten

Bagi Andri Prasetyo, peneliti dan Manajer Program Trend Asia, 2021 adalah tahun penuh masalah dan inkonsistensi dalam kebijakan energi. Mulai dengan limbah fly ash bottom ash (Faba) PLTU tak lagi kategori bahan berbahaya dan beracun, penetapan Emir Moeis, mantan koruptor proyek PLTU sebagai komisaris BUMN, hingga kegamangan pemerintah dalam menetapkan target net zero emission yang akhirnya putus pada 2060.

Tahun lalu, pemerintah juga menetapkan penentuan batas pembangunan PLTU hingga 2025. Dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) terbaru masih ada porsi 13,8 gigawatt untuk PLTU.

Pada 2021, pemerintah juga menetapkan peningkatan kuota produksi batubara terbesar sepanjang sejarah, 625 juta ton dan 637-664 juta ton pada 2022. Akhir tahun lalu juga diwarnai krisis pasokan batubara dengan terbit sanksi larangan ekspor bagi 34 perusahaan batubara yang tak memenuhi target domestic market obligation (DMO) awal Januari 2022.

Tahun lalu, meskipun Presiden Joko Widodo juga menyatakan serius coal phase out di COP 26, tak lama presiden juga menandatangani proyek gasifikasi di Dubai.

Ada beberapa hal positif pada 2021, katanya, seperti kemenangan judicial review UU Minerba dan UU Cipta Kerja serta wacana pensiunkan PLTU tua melalui program energy transition mechanism (ETM) oleh Asian Development Bank (ADB).

 

PLTA Sipan Sihaporas yang berada di Tapanuli Tengah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Beberapa hal perlu jadi perhatian tahun ini, katanya, soal renegosiasi skema DMO batubara yang dilematis karena kalau mengikuti harga pasar, maka biaya pokok produksi listrik dari batubara akan naik. Selain itu, ada perpanjangan PKP2B tanpa ada catatan serius terhadap kepatuhan lingkungan.

Juga ada taksonomi yang masih membuka ruang relevansi proyek energi fosil, rencana gasifikasi batubara menguat juga harus jadi perhatian.

Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mencatat dari segi finansial PLN masih terjebak pada kecanduan energi fosil, kelebihan kapasitas, permintaan rendah, sedang tarif tak bisa naik.

“Sekarang terpapar potensi commodity price risk jika dipaksa membeli batubara dengan harga pasar,” katanya.

Meski pada akhir 2020 tercatat utang PLN mencapai Rp650 triliun, katanya, ada sekitar Rp240 triliun tak terhitung sebagai utang karena dianggap kontrak power purchase agreement (PPA).

“Seharusnya dihitung sebagai utang juga.”

Tahun 2022, katanya, secara finansial transisi energi akan bergantung pada skema ETM ADB. Sederhananya, kalau PLN tak pensiunkan PLTU, tak akan ada transisi energi karena energi terbarukan tak punya ruang. Kalau energi terbarukan ada ruang dari skema ETM, akan ada babak baru energi terbarukan baik skala utilitas, medium maupun kecil.

 

******

Foto utama:  Pembangkit listrik matahari di Likupang, Sulut. Energi matahari, salah satu sumber energi terbarukan yang bisa tersu dioptimalkan sebagai salah satu langkah transisi energi di Indonesia Foto: Pemerintah Sulut

 

 

Exit mobile version