Mongabay.co.id

Izin Perusahaan Dicabut, Walhi Aceh: Jangan Dijadikan Konsesi Kawasan Hutan Baru

 

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 Tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Jumlah yang dicabut sebanyak 192 unit perizinan/perusahaan dengan luas kawasan hutan mencapai 3.126.439,36 hektar.

Dalam Surat Keputusan itu disebutkan, izin konsesi kawasan hutan yang menjadi objek kegiatan evaluasi, penertiban dan pencabutan di antaranya adalah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan [PBPH] atau sebelumnya disebut HPH/IUPHHK-HA, pemanfaatan kawasan hutan untuk pemanfaatan kayu yang tumbuh alami.

Dalam SK yang ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, pada 5 Januari 2022, di Provinsi Aceh terdapat delapan izin perusahaan yang dicabut, sementara dua lainnya masuk dalam daftar evaluasi. Sementara, PT. Gunung Raya Utama Timber Industries [7.300 hektar], telah dicabut izinnya periode September 2015 hingga Juni 2021.

Perusahaan yang dicabut izin konsesinya itu adalah PT. Aceh Inti Timber [80.804 hektar], PT. Lamuri Timber [44.400 hektar], PT. Rimba Penyangga Utama [6.150 hektar], PT. Rimba Timur Sentosa [20.000 hektar], PT. Rimba Wawasan Permai [16.120 hektar], PT. Aceh Nusa Indrapuri [51.205 hektar], KUD Bina Jaya Langgam [41.960 hektar], dan PD Makmur Sepakat [99 hektar].

Sementara izin yang dievaluasi adalah PT. Saka Jambo Aye untuk dua lokasi [7,7 hektar dan 4.811 hektar], lalu Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue [4.975 hektar].

Dari delapan perusahaan yang izinnya dicabut itu, beberapa di antaranya merupakan perusahaan HPH yang sudah lama tidak aktif. Sementara, PT. Aceh Nusa Indrapuri, PT. Rimba Penyangga Utama, PT. Rimba Wawasan Permai, dan PT. Rimba Timur Sentosa merupakan perusahaan yang mengantongi IUPHHK– Hutan Tanaman Industri [HTI].

Baca: Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan

 

Kehadiran PT. Aceh Nusa Indrapuri dianggap tokoh adat atau Imum Mukim Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, tidak memberikan manfaat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Jangan jadikan konsesi baru

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, Ahmad Salihin mengatakan, sebagian izin yang dicabut merupakan perusahaan yang selama ini tidak aktif dan wilayah kerjanya diterlantarkan.

“Ini dikarenakan adanya perubahan kebijakan tentang modal perusahaan sejak Orde Baru tumbang. Juga, karena adanya moratorium logging yang berlaku di Aceh sejak 2007,” terangnya, baru-baru ini.

Moratorium yang dikeluarkan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, waktu itu melalui Instruksi Gubernur [Ingub] Nomor: 5 Tahun 2007, dilatari kondisi objektif pengelolaan hutan Aceh yang tidak terkendali. Jeda tebang merupakan upaya menghentikan sementara penebangan dan konversi hutan, baik legal maupun ilegal.

Tujuannya, menciptakan “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera” melalui tiga program utama: redesign, reforestasi, dan reduksi laju deforestasi.

Redesign diartikan menata ulang hutan dan konsesi perizinan berkinerja buruk. Reforestasi adalah strategi pengelolaan hutan dengan rehabilitasi melibatkan masyarakat. Reduksi laju kerusakan hutan bertujuan menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan dan pemanfaatan.

Kebijakan ini mengatur perusahaan yang memiliki izin untuk tidak menebang hutan, khususnya di hutan alam. Penebangan hanya boleh di kebun masyarakat atau kayu kampung.

“Perusahaan HPH sangat terdampak dengan moratorium itu. Sementara, perusahaan HTI tidak bisa bekerja karena saat itu Presiden Abdurrahman Wahid tidak membolehkan Dana Reboisasi dipinjamkan ke perusahaan,” ungkap Salihin.

Baca: Jangan Jadikan Cabut Izin Akhir Penegakan Hukum Lingkungan

 

Areal PT. Aceh Nusa Indrapuri, selain tidak memberikan manfaat pada masyarakat sekitar juga tidak terawat. Kegiatan ilegal mulai galian C hingga perkebunan yang tidak sesuai perizinan ada di sini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Terkait pencabutan izin, Walhi Aceh berharap pemerintah tetap menjaga kawasan hutan itu dengan tidak menjadikan konsesi baru. “Pencabutan juga tidak menghapuskan kewajiban perusahaan untuk mempertanggungjawabkan kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan.”

Salihin menambahkan, konflik lahan perusahaan dengan masyarakat harus juga diselesaikan. Sebut saja, PT. Aceh Nusa Indrapuri yang  memiliki izin HTI di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie.

“Pemerintah harus memperhatikan wilayah kelola masyarakat, dalam pengelolaan lestari,” imbuhnya.

Tokoh adat di Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, Muhammad Khairul, menyambut baik pencabutan izin PT. Aceh Nusa Indrapuri. Dirinya berharap, pemerintah mengembalikan sebagian wilayah izin yang dicabut itu kepada masyarakat, yang selama ini terlibat konflik lahan dengan perusahaan.

“Hutan adat dikembalikan fungsinya dan kawasan kelola masyarakat dikembalikan kepada masyarakat. Begitu juga kawasan hutan yang dikembalikan sebagaimana fungsinya,” ungkap Khairul, pertengahan Januari.

Baca juga: Tokoh Adat Kembali Minta KLHK, Cabut Izin PT. Aceh Nusa Indrapuri

 

Izin PT. Aceh Nusa Indrapuri telah dicabut. Perusahaan ini sering terlibat konflik lahan dengan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Presiden Jokowi dalam keterangan resminya, Kamis [06/1/2022] mengatakan, pemerintah terus memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Beberapa alasannya adalah agar ada pemerataan, transparansi, dan keadilan untuk mengoreksi ketimpangan dan kerusakan alam.

“Izin-izin pertambangan, kehutanan, dan juga penggunaan lahan negara terus dievaluasi menyeluruh. Izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukan akan dicabut,” terang Presiden.

Jokowi menyebutkan, pemerintah akan terus melakukan pembenahan dengan memberikan kemudahan-kemudahan izin usaha yang transparan dan akuntabel.

“Pastinya, izin yang disalahgunakan tetap dicabut,” tegasnya.

 

 

 

Exit mobile version