Mongabay.co.id

Konflik Lahan dengan Perusahaan, Petani Banyuwangi Sampaikan Aspirasi di Mabes Polri

 

Pria berkulit sawo matang itu nampak sungguh-sungguh memperhatikan para demonstran berorasi, dengan seksama ia mendengarkan orator secara bergantian berbicara dihadapan publik. Diantara barisan puluhan orang peserta aksi lainnya, pria tersebut terlihat paling tua. Meski begitu semangatnya masih membara saat mengikuti aksi di depan Museum Markas Besar Polri, Jakarta, Jum’at (21/01/2022).

Berkali-kali tangannya juga turut mengepal tatkala jargon-jargon penyemangat aksi dipekikkan, “Hidup Petani!”, “Hidup Mahasiswa!”, dan “Hidup Perempuan Melawan!” teriak para orator itu dengan menggunakan megaphone.

Dia lah Harun, seorang petani asal Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Bersama aktivis mahasiswa dan LSM Walhi, bapak dua anak ini menyampaikan aspirasinya terkait dengan kekerasan yang dialami oleh para petani di tempatnya. Tidak hanya itu, kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian juga kerapkali terjadi

“Kurang lebih sudah setahun laporan kami yang sebelumnya tidak ditindaklanjuti. Padahal kondisi di desa sudah genting, untuk itu kami datang lagi kesini,” terang pria yang juga ketua Rukun Petani setempat, saat mendapat giliran berbicara dalam aksi Solidaritas Petani Pakel itu. Di lahan garapan dengan keluasan 250 meter persegi di desanya itu, Harun mengaku menanam pisang dan jagung.

Dengan adanya kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polresta Banyuwangi, menurut Harun, warga sangat terpukul. Selain itu juga menimbulkan ketakutan yang mendalam, karena kekerasan yang dilakukan tidak hanya sekali ini saja.

baca : Protes Tambang Emas: Cari Keadilan, Warga Banyuwangi Kayuh Sepeda ke Surabaya

 

Bertolak ke Jakarta Harun tidak sendiri, dia mengaku ditemani dua kerabatnya yang menjadi korban kekerasan oleh oknum aparat Kepolisian. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Terjadi Turun-Temurun

Perlakukan sewenang-wenang oleh aparat yang dihadapi para petani Pakel ini sudah berjalan cukup lama. Walhi Jawa Timur mencatat, penderitaan dan penindasan yang dialami ini sudah hampir satu abad, dimulai dari pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, lalu kemudian dilanjutkan oleh rezim Orde Baru dan pemerintahan era sekarang.

Pada tahun 2000, kisah Harun, warga Pakel yang laki-laki itu pernah diangkut oleh Polresta Banyuwangi ke penjara. Sehingga pada tahun itu di desa tersebut pernah dinobatkan sebagai desa janda. Warga juga banyak yang ketakutan, sebagian kemudian memilih pindah keluar kota.

Di tahun 2000 itu juga, ada seorang anak warga Pakel yang meninggal karena peluru nyasar, umurnya masih 16 tahun. “Sampai sekarang ini kasusnya juga belum terungkap siapa pelakunya,” ujar Harun, untuk menyampaikan aspirasinya ke Jakarta bersama dua kerabatnya yang menjadi korban pemukulan aparat. Dia harus naik kereta dari Banyuwangi.

Puncak perjuangan warga Pakel yaitu pada 24 September 2020, mereka bertekad mengubah penderitaan dan penindasan itu dengan melakukan aksi pendudukan lahan kembali dari perampasan yang dilakukan oleh perusahaan PT Bumi Sari.

Aksi pendudukan lahan itu terus dilakukan karena warga sadar bahwa Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan tersebut tidak ada diwilayah Desa Pakel, adanya hanya di Desa Songgon dan Desa Kluncing Kabupaten Banyuwangi. Untuk itu, meski mendapati perlakukan sewenang-wenang Harun bersikukuh warga tidak akan berhenti memperjuangkan lahan yang sudah digarap secara turun-temurun itu.

Pada Kamis (14/01/2022) malam sekitar pukul 24:00 WIB warga juga mengaku bahwa puluhan polisi dari Polresta Banyuwangi memasuki lahan perjuangan mereka. Aparat itu juga melakukan penyerangan dan pemukulan terhadap warga dan tim solidaritas, bahkan juga ada suara rentetan tembakan.

Sepanjang dua tahun terakhir perjuangan warga Pakel Walhi mencatat ada 13 warga yang telah menjadi korban kriminalisasi. “Dengan adanya kekerasan yang dilakukan, kami warga petani mohon keadilan kepada bapak Kapolri,” Harun berharap.

baca juga : Catatan Akhir Tahun: Benahi Tata Kelola Hutan dan Lahan Bakal Makin Sulit

 

Harun, Petani Pakel, Banyuwangi menyampaikan aspirasinya di depan Museum Markas Besar Polri, Jakarta, Jum’at (21/01/2022). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Butuh Dukungan Solidaritas

Secara historis konflik agraria yang terjadi di Pakel sudah berjalan cukup lama. Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi juga menyebutkan bahwa di desa tersebut tidak ada HGU. Namun, faktanya secara existing ada perusahaan yang melakukan penanaman tanaman perkebunan di Desa Pakel.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Artha Siagian, menduga bahwa ada kelebihan tanam dari perusahaan, padahal seharusnya yang mereka tanam itu tidak berada di wilayah tersebut. Tanah seluas 270 hektare sebelumnya merupakan tanah milik warga yang ditanami pisang, jagung, padi, dll.

“Tanaman ini menjadi kebutuhan pangan dan ekonomi mereka,” jelas Artha, usai melakukan aksi damai bersama puluhan mahasiswa itu. Selain melakukan aksi, ada tiga warga Desa Pakel juga datang melaporkan tindak kekerasan itu ke Mabes Polri. Sebelumnya, mereka juga bertandang ke Kantor Staf Presiden (KSP) untuk mendesak konflik agraria agar segera diselesaikan.

Mereka juga melaporkan ke Komnas HAM agar memberi perlindungan terhadap warga. Selain itu, agar kejadian ini tidak berlarut mereka juga ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Jakarta. Karena dikhawatirkan kedepannya akan terjadi lagi korban-korban kekerasan dari aparat maupun pihak perkebunan perusahaan mereka juga mengadu ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Selain mengadu ke beberapa instansi negara, tujuan warga Pakel ke Jakarta juga untuk mendapatkan dukungan solidaritas dari semua masyarakat sipil, dan juga Civil Society Organization (CSO).

“Dari kasus Pakel ini kita berkaca bahwa sebenarnya kasus-kasus konflik agraria itu terjadi disepanjang wilayah Indonesia, itu menunjukkan bobroknya instansi negara itu menerbitkan izin perusahaan,” ujarnya. Artha juga menganggap negara lemah dihadapan korporasi, itu dibuktikan dengan bagaimana aparat itu justru membela korporasi bukan membela rakyat.

baca juga : Bank Tanah Ancam Agenda Reforma Agraria, Ini Alasannya

 

Sejumlah aktivis membentangkan poster saat aksi di depan Museum Markas Besar Polri. Dalam aksinya mereka memprotes kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat kepada petani. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

DPRD Jatim dan Pemkab Banyuwangi Turun Tangan

Sebelumnya, DPRD Provinsi Jatim pernah turun langsung ke lapangan melihat konflilk tanah di Desa Pakel dengan perkebunan PT Bumisari. Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simandjuntak, melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak termasuk Pemkab Banyuwangi dan warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi di Balai Desa Pakel, Kecamatan Licin, Rabu (19/1/2022) seperti dikutip dari detik.com.

Sejumlah warga yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberrejo yang diundang mengungkapkan permasalahannya sengketa lahan dalam pertemuan tersebut

Sahat menyebut butuh perhatian serius pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk bisa menyelesaikan terkait dengan alas hak yang menjadi pedoman semua pihak. Dari hasil pertemuan tersebut, intinya ada sebuah permasalah hukum terkait dengan sengketa tanah di Desa pakel yang melibatkan banyak pihak.

“Dari berbagai versi informasi yang kami dapatkan maka kami menyimpulkan bahwa persoalan ini memang membutuhkan perhatian serius pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk bisa menyelesaikan terkait dengan alas hak yang menjadi pedoman semua pihak dalam mengklaim kepemilikian tanah di wilayah Desa Pakel,” jelas Sahat.

Sebelumnya, Puluhan warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi, mendatangi kantor Bupati untuk meminta kepada Bupati Abdullah Azwar Anas segera mengusulkan peninjauan ulang izin dan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan PT Bumi Sari, Desa Bayu, Kecamatan Songgon.
Warga yang didampingi Forum Suara Blambangan (Forsuba) ditemui oleh Kabag Pertanahan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Nur Hadi dan Kabag Tata Pemerintahan Desa, Aziz Hamidi pada Rabu (7/3/2018) seperti dikutip dari detik.com

Kabag Pertanahan, Nur Hadi dan Kabag Tata pemerintahan Desa, Aziz Hamidi, selaku perwakilan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, mengaku akan segera membentuk tim khusus. Selanjutnya diteruskan dengan pengecekan lapangan.

“Kita akan konsultasi terkait tapal batas wilayah dan menunggu SK (Surat Keputusan) Bupati untuk pengecekan lapangan,” kata Nur Hadi.

baca juga : Lahan di Sumenep Terkapling-kapling dari Tambak Udang sampai Tambang Fosfat

 

Selain menyampaikan aspirasi di depan Museum Markas Besar Polri, sejumlah aktivis tersebut sebelumnya juga bertandang ke beberapa instansi negara, mereka mendesak agar konflik agraria bisa segera diselesaikan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sesuai surat dari BPN Banyuwangi, Nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, PT Bumi Sari diduga telah menyalahgunakan data otentik negara, yakni HGU untuk menyerobot tanah wilayah administrasi Desa Pakel, Kecamatan Licin.

Penjelasan BPN Banyuwangi, HGU PT Bumi Sari yang terpecah dalam 2 sertifikat menegaskan bahwa Desa Pakel tidak masuk dalam area. Tapi faktanya, sesuai tapal batas yang dimiliki Pemerintah Desa, PT Bumi Sari, selama puluhan tahun, telah mengelola 800 hektar lebih tanah wilayah Desa Pakel. Tepatnya Dusun Taman Glugo dan Dusun Sadang.

Sesuai data BPN Banyuwangi, Sertifikat HGU PT Bumi Sari, yang berlaku sampai 31 Desember 2034, adalah Nomor 1 Desa Kluncing, Kecamatan Licin, seluas 1.902.600 meter persegi dan sertifikat HGU No 8 Desa Bayu, Kecamatan Songgon, seluas 11.898.100 meter persegi, atau dengan luasan total 1.189,81 hektar.

Sedangkan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/BPN) Surya Tjandra saat menerima audiensi bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) terkait penyelesaian konflik di Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (21/01/2022) merekomendasikan dilakukan pemeriksaan ulang terhadap data-data yang dimiliki perusahaan maupun masyarakat.
Surya mengatakan, persoalan ini membutuhkan peran Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai pelaksana Reforma Agraria dalam menyelesaikan konflik agraria ini. Surya mengatakan penyelsaian konflik itu harus mempertimbangkan riwayat Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki perusahaan dan riwayat penguasaan fisik yang dimiliki masyarakat.

“Memang dalam menangani laporan seperti ini kami harus mempertimbangkan beberapa hal,” kata Surya dalam keterangannya, Jumat (21/01/2022) seperti dikutip dari kompas.com.

 

Exit mobile version