Mongabay.co.id

WALHI Sulsel Minta Tambang Nikel Dihentikan. Ada Apa?

 

Sejumlah aktivis lingkungan dari Wahana lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulsel menggelar aksi di lokasi bekas tambang nikel PT Prima Utama Lestari (PUL) di Desa Ussu, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur.

Perusahaan tambang ini pernah mendapat sanksi penghentian sementara dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melalui surat yang ditandatangani Direktur Teknik dan Lingkungan/Kepala Inspektur Tambang RI Lana Saria, 17 Januari 2021.

Dalam aksinya, WALHI Sulsel membentangkan spanduk berukuran 10×5 meter bertuliskan “Save South Sulawesi Rain Forest” dan spanduk berukuran 6×2 meter bertuliskan “Stop Tambang Nikel di Sulawesi Selatan”.

Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan pesan bagi pemerintah untuk serius melindungi hutan hujan yang ada di Sulsel dan menghentikan aktivitas tambang nikel yang sejauh ini berkontribusi besar terhadap kerusakan hutan hujan di Sulsel.

“Hutan hujan di Sulsel terus mengalami kerusakan, terlebih lagi yang ada di Kabupaten Luwu Timur. Aksi yang kami lakukan bersama Yayasan Bumi Sawerigading adalah pesan serius kepada Presiden Jokowi, agar segera bertindak melindungi hutan hujan di Sulsel, dengan menghentikan ekspansi tambang nikel di Kabupaten Luwu Timur,” ungkapnya kepada media, Jumat (21/1/2022).

baca : Catatan Akhir Tahun WALHI Region Sulawesi: Industri Nikel Ancam Sulawesi

 

Sejumlah aktivis WALHI Sulsel dan Yayasan Bumi Sawerigading menggelar aksi bentang spanduk menolak tambang nikel demi penyelematan hutan hujan di bekas tambang PT PUL Luwu Timur. Foto: WALHI Sulsel.

 

Berdasarkan hasil monitoring WALHI Sulsel di awal tahun 2022, kerusakan hutan hujan di Sulsel karena tambang nikel terus meluas. Dan menimbulkan pencemaran sungai dan pesisir yang sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat sekitar.

“Kami melihat kondisi sungai dan laut di Luwu Timur terus tercemar lumpur karena kegiatan tambang nikel, dan akibat dari pencemaran tersebut, ribuan perempuan tidak dapat mengakses air bersih setiap saat. Mereka harus menunggu sungai bersih untuk dapat minum dan mandi. Kami pun berdiskusi langsung dengan nelayan. Bagi nelayan, pencemaran lumpur telah menurunkan hasil tangkap dan pendapatan mereka,” katanya.

Amin mengatakan pihaknya tidak akan berhenti mendesak pemerintah untuk menghentikan tambang nikel dan melindungi hutan hujan di Sulawesi Selatan, maupun di Sulawesi.

“Untuk saat ini, kami meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengevaluasi atau bahkan mencabut izin usaha pertambangan PT CLM (Citra Lampia Mandiri). Masyarakat terkhusus perempuan yang menggantungkan hidup di sungai dan laut telah lama menerima dampak pencemaran lumpur akibat tambang nikel mereka,” ungkapnya.

 

Tambang Penyebab Deforestasi Terbesar

Menurut Amin, kebutuhan akan lahan yang luas dari industri pertambangan khususnya nikel di Sulawesi harus mengorbankan hutan yang sangat luas, yang berfungsi ekosistem hutan yang sangat besar dan esensial bagi masyarakat.

“Aktivitas industri pertambangan nikel seperti halnya dengan aktivitas industri ekstraktif lainnya yang rakus lahan dan berkontribusi menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Aktivitas pertambangan nikel di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dalam satu dekade terakhir mendorong deforestasi yang sangat luas pada wilayah-wilayah yang masuk dalam zona lingkar tambang,” jelasnya.

Menurutnya, dalam rentan waktu 2016-2020 perubahan tutupan hutan primer pada wilayah konsesi pertambangan di Luwu Timur telah berkurang sebesar 782,30 hektar. Aktivitas industri pertambangan nikel juga menggerus kawasan hutan lindung yang dijaga dengan ketat oleh masyarakat adat dan lokal, serta UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

“Namun, yang terjadi deforestasi akibat penambangan nikel kian meluas dari tahun ke tahun.”

baca juga : Ketika Hutan Lindung Sulawesi Tenggara Terbabat jadi Tambang Nikel

 

Bentang alam yang rusak akibat aktivitas tambang nikel di Luwu Timur. Foto: WALHI Sulsel.

 

Selain itu, melihat perubahan tutupan hutan didominasi oleh pertanian lahan kering di wilayah konsesi menunjukkan kegagalan negara dalam mengelola kawasan hutan, penetapan kawasan hutan sangat jelas berbeda dengan kondisi tutupan hutan di lapangan. Hal ini memicu perambahan wilayah-wilayah dengan fungsi hutan di luar kawasan menjadi semakin masif.

“Data tersebut juga menunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan pertambangan tidak mampu menjaga kawasan konsesinya dari laju deforestasi akibat dari penentuan kawasan konsesi sejak awal menimpa wilayah-wilayah masyarakat adat atau komunitas lokal di sekitar kawasan hutan.”

Menurut Amin, dalam hal penegakan hukum, penanganan kasus terkait tambang terkadang harus melalui proses yang panjang dan berbelit-belit. Ia memberi contoh kasus yang terjadi pada tahun 2020, dimana 4 orang pimpinan PT. Vale Indonesia, mewakili nama perusahaan diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung.

“Putusan MA tersebut melalui proses yang begitu panjang sejak sidang pertama pada tahun 2011. Ini menunjukkan betapa sulitnya negara mengadili pelaku kejahatan lingkungan walau disertai dengan bukti-bukti yang sangat jelas.”

Menurut Mustam Arif, Direktur Jurnal Celebes, sektor pertambangan memang berkontribusi besar terhadap deforestasi di Sulsel yang kini mencapai 66.158,64 hektar, yang setara dengan 1,1 hektar per jam. Deforestasi terbesar terjadi pada tahun 2015-2016, mencapai 30.144,92 hektar yang terbesar terjadi di Kabupaten Luwu Timur dan Luwu Utara, masing-masing seluas 18.718,14 Ha dan 4.159,64 Ha. Sementara total luas ekosistem hutan yang telah dibebani izin usaha pertambangan di Luwu Raya mencapai 97.960 Ha.

Menurut Mustam, dari 141 IUP yang ada di Sulsel saat ini hampir 50 persen berada di dalam kawasan hutan dan hanya 36 di antaranya yang memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan, menempati kawasan hutan seluas 10.551 hektar. Sementara terdapat 118.273 hektar kawasan yang kemungkinan belum mengantongi izin pinjam kawasan hutan.

baca juga : Lumpur Genangi Jalanan, Walhi Sulsel Tuntut Izin Tambang PT. PUL di Luwu Timur Dicabut

 

Aksi WALHI Sulsel menolak PT CLM yang aktivitas tambang dianggap mencemari sungai. Foto: WALHI Sulsel.

 

Telah Miliki IUP

Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulsel, Djemi Abdullah mengatakan nikel menjadi salah sektor yang berkontribusi pada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sulsel di bidang tambang. Dua perusahaan yang aktif adalah PT. Vale dan PT CLM.

“Nilainya sekitar Rp200 miliar,” katanya ketika dikonfirmasi, Senin (24/1/2022).

Menurutnya, perusahaan-perusahaan tersebut telah memiliki Izin Usaha Penambangan (IUP) sebagai lisensi hukum dalam beraktivitas, dimana IUP ini tidak berdiri sendiri karena disertai dengan sejumlah kewajiban. Salah satunya harus memiliki dokumen Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) jika wilayah konsesi masuk dalam kawasan hutan.

Selain itu, perusahaan juga dituntut melakukan reklamasi yang disertai dengan dokumen perencanaan dan dana jaminan reklamasi yang dititipkan ke negara sebagai antisipasi apabila perusahaan tersebut menyalahi kewajibannya.

“Jadi, mungkin mereka bisa dikatakan deforestasi karena secara kasat mata ada terlihat kerusakan (hutan), namun itu terjadi karena kegiatan tambang masih berlangsung sehingga belum dilakukan perbaikan. Jadi, nanti selesai tambang, kemudian dilakukan (reklamasi), dan itu sudah ada rencananya berupa dokumen rencana reklamasi.”

Selain itu, dalam melakukan aktivitas menambang perusahaan dituntut melakukan upaya-upaya perbaikan lingkungan, salah satunya membangun nursery sebagai tempat pembibitan, persiapan penanaman ketika aktivitas tambang telah berakhir.

 

Exit mobile version