Mongabay.co.id

Menanti Aksi Serius Negara Lindungi Para Pembela HAM

 

 

 

 

Situasi pembela hak asasi manusia terlebih bidang lingkungan hidup di Indonesia, masih sangat memprihatinkan. Mereka rentan mendapatkan ancaman, serangan bahkan kriminalisasi atas perjuangan melindungi ruang hidup maupun lingkungan hidup yang layak dan sehat.

Data Imparsial–sebuah LSM yang bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan pelangaran HAM di Indonesia–, menyebutkan, sejak Januari 2014-Desember 2021 tercatat ada 192 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan korban ribuan orang. Kasus melonjak pada 2019 sampai 38 kasus.

“Bentuk kekerasan fisik paling tinggi diikuti dengan kriminalisasi dan intimidasi. Yang sering menjadi korban adalah jurnalis karena setiap peristiwa konflik terekam di media. Kemudian komunitas dan aktivis lingkungan,” kata Ardimanto Adipura, Wakil Direktur Imparsial dalam diskusi Komitmen Politik Negara dan Urgensi Kebijakan Perlindungan pada Pembela HAM, yang diselenggarakan Kemitraan, Kamis (27/1/22).

Kemitraan yang tergabung dalam Koalisi Pembela HAM mencatat pada 2020 terjadi 116 penyerangan terhadap pembela HAM sektor lingkungan. Data ELSAM mencatat lebih dua kali lipat serangan terhadap pemberla HAM sektor lingkungan dalam kurun waktu 2019-2020, dari 27 jadi 60 kasus.

“Meningkatnya kasus kekerasan dan kriminalisasi pada pembela HAM khusus sektor lingkungan menunjukkan belum berhasilnya pemerintah dalam perlindungan dan penegakan HAM,” kata Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan.

Saat ini, Kemitraan bersama koalisi telah menyusun berbagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam perlindungan pembela HAM sektor lingkungan. Antara lain, menyusun draf naskah akademik dan rancangan amandemen UU HAM, draf amandemen peraturan 5/2015 tentang Prosedur Perlindungan terhadap Pembela HAM dan panduan pelaksanaan. Juga, kertas kebijakan sebagai masukan atas rancangan peraturan menteri KLHK terkait anti-strategic lawsuit against public participation (Anti-SLAPP).

Mahfud MD, Menkopolhukan mengatakan, tak mudah menyelesaikan pelanggaran HAM karena selain pembuktian rumit juga ada masalah-masalah politis menyertai.

 

 

Dia berjanji, negara akan memberikan perlindungan dan mendorong para pembela HAM berjuang menegakkan HAM. “Kalau perlu juga memberikan fasilitas-fasilitas,” katanya dalam pidato pembukaan.

Dia bilang, pemerintah berupaya dengan menyusun kebijakan seperti menerbitkan Peraturan Presiden No. 53/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Tentang HAM. Tujuan kebijakan itu, katanya, untuk pemajuan, pemenuhan, penghormatan dan perlindungan serta penegakan HAM, di luar hal-hal rutin seperti pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Selain itu, ada juga membentuk Gugus Tugas Bisnis dan HAM yang menyertakan masyarakat, termasuk perusahaan untuk turut serta menghormati HAM dalam berbagai bidang.

“Kepada para pembela HAM, kita akan lindungi sepenuhnya karena itu hak dan kewajiban juga tugas luhur anda, tetapi juga profesional, sesuai dengan hukum, misal, cukup bukti, bukan hanya konstatasi ketika mendorong ke pengadilan,” katanya.

 

Para pembala HAM dan lingkungan yang kena kriminalisasi, salah satu Budi Pego. Dia dipenjara karena keras menolak tambang emas di Banyuwangi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Lemahnya komitmen negara

Ardimanto Adipura, Wakil Direktur Imparsial mengatakan, paradigma negara atau pemerintah melihat pembela HAM itu masih sebagai ancaman, pengganggu keamanan, atau penghambat pembangunan yang menghambat kerja-kerja pemerintah.

Padahal, katanya, pembela HAM bisa membantu negara dalam pemenuhan HAM warga secara tepat dan holistik.

Para pembela lingkungan yang bersuara atau protes terhadap perampasan hak atas tanah, misal, dianggap sebagai penghambat investasi. Padahal, katanya, seringkali investasi yang seharusnya memberikan manfaat untuk masyarakat sekitar justru kebalikan, warga alami ketidakadilan.

Dia menilai, kebijakan bagi pembela HAM masih bersifat tidak otoritatif, sektoral dan belum disertai mekanisme kuat serta efektif dalam menjamin perlindungan maupun hak-hak pembela HAM. Dia sebutkan, antara lain Pasal 100-103 UU 39/1999 tentang HAM, Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 11 UU 16/2011 tentang Bantuan Hukum. Kemudian, Pasal 15 UU 30/2002 tentang KPK yang memberi perlindungan bagi pelapor dan saksi dalam kasus korupsi, Pasal 18 (1) UU 40/1999 tentang Pers. Juga UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Komnas HAM 5/2015 tentang Tata Cara Perlindungan HAM.

Sisi lain, katanya, negara, masih mempertahankan dan terus memproduksi regulasi hukum yang bersifat represif terhadap pembela HAM. “Membaca situasi ini, lemahnya komitmen negara untuk perlindungan pembela HAM sama artinya dengan lemah komitmen negara untuk pemenuhan HAM warga negaranya sendiri.”

Marsya Mutmaihan, peneliti ICEL mengatakan, pemerintah masih harus memperkuat regulasi Anti-SLAPP. Pada Mei 2021, kemenangan enam warga di Bangka Belitung yang dipidana dengan pasal SLAPP karena memperjuangkan lingkungan hidup melalui putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung jadi preseden baik dalam mengisi kekosongan hukum Anti-SLAPP di Indonesia.

Momen itu, katanya, seharusnya bisa jadi langkah positif untuk segera menerbitkan aturan Anti-SLAPP. “Regulasi Anti-SLAPP perlu diperkuat dalam hukum acara, baik dalam revisi KUHAP dan KUHAPER agar SLAPP agar tidak mudah menjerat suara publik. Bahkan seharusnya SLAPP perlu dihentikan sedini mungkin.”

Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM mengatakan, masih ada kekosongan aturan hukum yang lebih konkret dan detail terhadap pengakuan, penghormatan, dan perlindungan pembela hak asasi manusia hingga jadi kendala dalam melindungi mereka.

Bersama dengan Kementerian Hukum dan HAM, Komnas HAM katanya, sedang merancang peraturan khusus terkait perlindungan bagi pembela HAM. Aturan yang dirancang Komnas HAM dapat diibuat dalam berita negara seperti standar norma dan pengaturan Komnas HAM tentang pembela HAM dan peraturan Komnas HAM tentang perlindungan pembela HAM.

“Hingga, kedudukan menjadi kuat di mata hukum.”

 

Aksi Walhi Jawa Timur dan Tim Advokasi Salim Kancil di depan PN Surabaya. Salim Kancil, akhirnya tewas karena dibunuh. Foto: Walhi Jatim

 

Berdasarkan perspektif Komnas HAM, pembela HAM itu warga negara yang memiliki kontribusi penting dalam pengakuan, penghormatan dan pemenuhan HAM di berbagai sektor. Bahkan, mereka dikatakan berkontribusi dalam memberikan pendampingan, pengorganisasian komunitas, pengajaran, dan peningkatan kapasitas masyarakat Indonesia terkait persoalan HAM.

Sandra bilang, salah satu tantangan ke depan dalam memenuhi perlindungan pada pembela HAM yakni perlu sinergitas antara pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk menelaah lebih mendalam dan menyusun desain komprehensif mengenai sistem perlindungan pembela HAM.

“Juga memastikan ada langkah emergency para pihak untuk perlindungan pembela HAM, termasuk aktivis, jurnalis, advokat, pegawai, serta para anggota lembaga HAM independen.”

Surya Jaya, Hakim Agung dari Mahkamah Agung, menekankan pada pemahaman yang belum sinkron mengenai HAM antara para pihak. “Terpenting peningkatan penanganan kasus  perjuangan HAM yang dilaporkan. Kualitas sumber daya manusia makin baik hingga terjadi pemahaman sama,” katanya.

Taufik Basari dari Komisi III DPR, mengatakan, pemerintah seharusnya malu masih ada pelanggaran HAM. “Kita harusnya memastikan tak ada rakyat yang haknya terlanggar akibat ada pembangunan. Ketika HAM menjadi diskursus publik, akan mengundang lirikan dari kepentingan politik hingga bisa masuk prioritas.”

 

Mahfud MD, Menkopolkam saat memberikan sambutan dalam diskusi Komitmen Politik Negara dan Urgensi Kebijakan Perlindungan pada Pembela HAM, yang diselenggarakan Kemitraan. Foto: Kemitraan

 

Situs pembela HAM lingkungan

Dalam acara ini Kemitraan juga meluncurkan situs Human Rights Defenders Knowledge System (HRDKS) yang merupakan wadah pembelajaran dan pertukaran pengetahuan terkait HAM dan pembela HAM di Indonesia, khusus sektor lingkungan. Para pengunjung situs pun dapat memantau kasus kriminalisasi yang menimpa pembela HAM sekaligus memberikan dukungan kepada mereka.

Program ini bekerjasama dengan mitra organisasi masyarakat, yakni di tingkat nasional, Elsam, ICEL, Imparsial dan LBH Pers. Di tingkat daerah ada LBH Semarang, Celebes Institute, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, Yayasan Suara Nurani Minaesa, Jatam Kalimatan Timur, Walhi Sumatera Barat, Walhi Sumatera Selatan dan walhi Jawa Timur. Program ini juga melibatkan kementerian serta lembaga negara yang terkait HAM.

Ririn Sefsani, Team Leader Program Human Rights Defenders mengatakan, situs ini mengumpulkan semua pengetahuan tentang HAM dan pembela HAM dalam bentuk kebijakan dan kerja-kerja advokasi. Tujuannya, agar tidak ada kesenjangan pemahaman antara penegak hukum, masyarakat dan bisa melakukan reform agar negara tidak hanya baik melalui jargon politik tetapi wujud nyata perlindungan hak asasi.

“Tidak ada tata kelola pemerintah yang baik jika HAM tidak ditempatkan pada titik yang paling utama,” katanya.

 

 

*****

 

Exit mobile version