Mongabay.co.id

Pengawasan di Laut Indonesia Masih Lemah?

 

Perairan Selat Malaka yang lokasinya beririsan dengan dua negara di Asia Tenggara, selama ini diketahui menjadi salah satu perairan yang banyak diincar oleh kapal perikanan dari berbagai negara untuk dijadikan pusat penangkapan ikan secara ilegal.

Popularitas perairan yang menjadi batas antara Indonesia dengan Malaysia tersebut, dari waktu ke waktu terus meningkat. Terlebih, karena perairan tersebut juga menjadi titik pertemuan antara Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik.

Tak heran, dorongan untuk melaksanakan penangkapan ikan secara ilegal juga terus tumbuh sampai saat ini. Kapal-kapal perikanan dari berbagai negara yang secara alami akan menangkap ikan, berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan hasil tangkapan dengan jumlah tidak sedikit.

Namun demikian, di saat yang sama perairan Selat Malaka juga masih ada yang berstatus tumpang tindih (unresolved maritime boundary). Lokasi tersebut, kemudian banyak dimanfaatkan untuk mencuri ikan oleh kapal-kapal dari luar Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, tidak hanya kapal ikan asing (KIA) berbendera Malaysia saja yang diketahui banyak menangkap ikan secara ilegal di perairan tersebut. Namun juga, banyak kapal berbendera lain ikut menikmati sumber daya ikan secara ilegal di lokasi perairan tersebut.

Agar situasi bisa lebih baik, perairan Selat Malaka dinilai harus bisa diawasi dengan lebih baik dibandingkan saat ini. Pengawasan tersebut, tak cukup hanya dilakukan oleh Indonesia saja, namun juga oleh Malaysia, negara yang menjadi bagian di dalamnya.

Untuk itu, kerja sama dengan Negeri Jiran tersebut untuk melakukan operasi laut secara bersama menjadi langkah yang sangat baik dalam mengawal perairan tersebut dari aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tak sesuai regulasi (IUUF).

“Perlu adanya operasi bersama (joint operation) antara otoritas Malaysia dengan PSDKP KKP (Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan), tidak hanya dengan Kepolisian dan Bakamla,” ungkap Trenggono, awal pekan ini di Jakarta.

baca : Ancaman Berkepanjangan di Laut Natuna Utara

 

Petugas PSDKP saat menangkap kapal asing berbendera Malaysia di perairan Selat Malaka. Foto : KKP

 

Pernyataan itu diungkapkan Menteri Trenggono saat bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Malaysia Dato’ Seri Hamzah Bin Zainudin di Jakarta. Pertemuan itu menekankan pentingnya operasi pengawasan bersama untuk menekan praktik IUUF yang masih terus terjadi hingga sekarang.

Pengawasan bersama ini juga bertujuan memberikan edukasi kepada nelayan kedua negara, supaya tidak ada lagi penangkapan yang dilakukan oleh otoritas Malaysia terhadap nelayan Indonesia begitu pun sebaliknya.

“Selain pengawasan bersama, juga disepakati perlunya dilakukan penguatan teknologi agar pengawasan bersama bisa berjalan optimal,” tambah dia.

Dengan dilakukan pengawasan bersama oleh dua negara, tujuan untuk menjaga ekosistem perikanan tetap berkelanjutan di Selat Malaka juga diyakini akan bisa terwujud. Salah satu sebabnya, karena KIA yang mencuri ikan masih banyak menggunakan alat penangkapan ikan (API) tidak ramah lingkungan.

Selain KIA berbendera Malaysia, perbuatan yang sama juga dilakukan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia. Akibatnya, sampai sekarang masih ada nelayan dari kedua negara yang sedang diproses secara hukum di negara berlawanan.

Sebut saja, ada 14 nelayan asal Indonesia yang masih harus menjalani proses hukum di Malaysia. Demikian juga, saat ini ada nelayan dari Malaysia yang sedang menempuh jalur yang sama di Indonesia. Bahkan sepanjang 2021, ada sebanyak 22 KIA Malaysia yang ditangkap pemerintah Indonesia.

“Harapannya, dengan operasi bersama, tidak ada lagi nelayan yang melanggar,” ucap Trenggono.

baca juga : Catatan Akhir Tahun: Masa Depan Laut Natuna Utara

 

TNI Angkatan Laut (TNI AL) dan Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) melaksanakan Patroli Terkoordinasi (Patkor) 150/20 di Perairan Selat Malaka. Selasa (22/12/2020). Foto : tnial.mil.id

 

Menteri Dalam Negeri Malaysia Dato’ Seri Hamzah Bin Zainudin mengusulkan, operasi bersama dilakukan secara rutin tiga sampai empat kali dalam satu tahun. Operasi ini sebagai langkah tegas Pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam memerangi praktik IUUF.

“Bahwa operasi yang dilakukan bukan untuk nelayan negara luar, tapi nelayan dari negara kita sendiri (Indonesia – Malaysia) yang tidak mau mengikuti undang-undang,” tegasnya.

Selain Selat Malaka, lokasi perairan lain yang juga masih sangat rawan karena banyak praktik IUUF sampai sekarang, adalah Laut Natuna Utara yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

 

Minim Anggaran

Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan, perairan Laut Natuna Utara masih menjadi lokasi favorit bagi pelaku IUUF. Bahkan, dari beberapa wilayah perairan yang ada, sekitar 50 persen lebih praktik IUUF dilaksanakan di perairan tersebut.

Salah satu sebab kenapa praktik IUUF masih marak terjadi, karena postur dan kapasitas pengawasan perikanan yang dimliki Indonesia dinilai masih belum berubah. Bahkan, menjelang akhir 2021 lalu, kapal pengawasan milik KKP diketahui sudah tidak melakukan patroli karena kehabisan bahan bakar minyak.

“Hari layar kapal pengawas perikanan tahun lalu hanya 100 hari per tahun sehingga tidak mampu merespon banyaknya pengaduan yang disampaikan oleh nelayan lokal atas maraknya kapal asing di Natuna,” terang dia.

Supaya tidak terulang lagi hal seperti disebutkan di atas, biaya operasional dan hari layar kapal pengawasan KP diusulkan untuk bisa ditingkatkan lebih dari 100 hari per tahun. Cara tersebut juga diyakini akan bisa menambah kemampuan kapal untuk menangkap lebih banyak pelaku IUUF.

“Kita tidak mampu menjaga wilayah laut dari pencurian ikan oleh kapal asing karena anggaran pengawasan yang terbatas,” tambah dia.

perlu dibaca : Waspadai Kapal Ikan Asing karena Musim Terbaik Laut Natuna Utara Masih Terus Berlangsung

 

Peristiwa kejar-kejaran Kapal Pengawas Perikanan PSDKP-KKP dengan satu dari lima kapal Vietnam yang kedapatan melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia di Laut Natuna Utara, Selasa (27/4/2021). Foto : PSDKP KKP

 

Abdi Suhufan menilai, dengan meningkatkan anggaran itu juga akan bisa menambah kemampuan untuk menangkap kapal pelaku IUUF. Hal itu, karena selama ini sistem radar kapal pengawas sudah bisa mendeteksi keberadaan kapal pelaku IUUF yang memasuki perairan Indonesia.

Dengan kemampuan yang terbatas, sepanjang 2021 otoritas pejaga laut Indonesia bisa menangkap kapal pelanggar perikanan di laut Indonesia hingga sebanyak 75 KIA.

Dari 75 kapal tersebut, sebanyak 39 kapal di antaranya berbendera Vietnam, 27 kapal berbendera Malaysia, 6 kapal berbendera Filipina, 1 kapal berbendera Taiwan, dan 2 kapal tanpa bendera. Jumlah tersebut diyakini masih sedikit, karena masih banyak KIA yang berhasil melarikan diri saat akan ditangkap.

Adapun, otoritas penjaga laut Indonesia beranggotakan KKP melalui Ditjen PSDKP, TNI Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, dan Korps Kepolisian Air dan Udara Badan Pemeliharaan Keamanan Kepolisian Republik Indonesia (Korpolairud Baharkam Polri).

Selain pelaku yang berkewarganegaraan asing, kapal perikanan pelaku IUUF juga banyak diisi oleh pekerja perikanan yang berasal dari Indonesia. Fakta tersebut terjadi sepanjang 2021, di mana ada 84 orang nelayan dan awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia yang ditangkap dan ditahan oleh otoritas Malaysia, Papua Nugini, dan Australia.

Dengan fakta tersebut peneliti DFW Indonesia Muhamad Arifudin meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk bisa menyusun program strategis yang bersifat lintas sektor untuk mengatasi persoalan praktik IUUF di Indonesia.

“Ancaman pelanggaran dan kejahatan ini bisa datang dari eksternal dan internal sehingga butuh keterpaduan lintas sektor untuk menangani,” jelas dia.

baca juga : Cara Indonesia Membangun Kekuatan Maritim di Wilayah Laut

 

Petugas PSDKP KKP menjaga enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/2021). Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Selain mencuri ikan, praktik IUUF juga mencakup kegiatan menangkap ikan dengan cara merusak (destructive fishing) seperti yang seri terjadi di pulau Tasipi, Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara. Aktivitas tersebut paling banyak dilakukan dengan menggunakan alat peledak seperti bom dan bahan beracun.

Peneliti DFW Indonesia Laode Hardiani menjelaskan, kegiatan tidak bertanggung jawab tersebut bisa mengakibatkan kerugian yang besar, terutama dampak pada kelestarian ekosistem laut. Di Tasipi, praktik destructive sudah berlangsung lama dan turun temurun.

“Sehingga menyebabkan kerusakan terumbu karang, serta menyebabkan berkurangnya berbagai jenis dan ukuran ikan karang,” kata dia.

Guru Besar Manajemen Sumber daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara Profesor La Sara juga pernah mengatakan bahwa ancaman yang ada di laut Indonesia paling besar adalah aktivitas IUUF.

Namun, dia menambahkan bahwa ancaman lain juga ada dan tak kalah bahayanya, yaitu aksi perompakan bersenjata dengan modus salah satunya menyamar sebagai nelayan tradisional di wilayah Papua, terorisme, dan penyelundupan barang serta obat-obatan ilegal.

baca juga : Peran Penting Penjaga Ketertiban dan Pengamanan Laut

 

Padatnya lalu lintas kapal-kapal kargo di Selat Malaka menuju Singapura. Perairan selat Malaka merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Foto : shutterstock

 

Ancaman seperti harusnya bisa diantisipasi dan dicegah di kemudian hari oleh Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah perlu memperkuat koordinasi patroli dan melaksanakan penegakan hukum yang efektif.

Menurut La Sara, patroli perlu diikuti dengan langkah pengintaian/pembuntutan (shadowing) dan pengusiran terhadap kapal perang dan kapal pemerintah lain untuk kepentingan non-komersial yang memiliki imunitas yang diduga mengancam keamanan laut, mengganggu hak berdaulat, dan/atau kedaulatan Indonesia.

Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan dan penegakan hukum yang efektif disertai dengan upaya diplomasi yang kuat terhadap negara-negara yang rutin memberikan ancaman terhadap keamanan laut Indonesia, termasuk Vietnam dan Cina.

 

Exit mobile version