Mongabay.co.id

Esti Asih Nurdiah dan Penelitian Bambunya

 

 

Bambu merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Bambu tidak hanya dimanfaatkan  sebagai alat perlengkapan dapur, tapi juga digunakan sebagai konstruksi bangunan dan jembatan.

Esti Asih Nurdiah, Dosen Program Studi Arsitektur Universitas Kristen Petra Surabaya, coba meneliti bambu sebagai material struktur bangunan yang dapat dikembangkan di Indonesia.

“Bambu lebih cepat tumbuh ketimbang kayu. Rata-rata, 3-5 tahun sudah bisa dipanen,” terangnya pertengahan Januari 2022.

Esti memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan ukuran besar seperti struktur shell atau biasa disebut cangkang. Karya ini merupakan hasil penelitiannya pada doctoral thesis di The University of Sheffield-United Kingdom, dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan [LPDP] dari Pemerintah Indonesia.

Dia membuat dua model bangunan berupa struktur cangkang di area kampus UK Petra Surabaya. Pertama, ukuran 10,80 x 10,80 meter menggunakan bambu bulat. Kedua, ukuran 8,40 x 8,40 meter memakai bambu bilah.

Dia pun meneliti kekuatan bambu yang dibentuk menjadi struktur gridshell. Jenisnya, bambu apus [Gigantochloa apus] dan bambu petung [Dendrocalamus asper].

”Pembebanan menggunakan paving block di beberapa titik, agar diketahui kekuatan jalinannya.”

Baca: Siapa Bilang Tanaman Bambu Tidak Bermanfaat?

 

Esti Asih Nurdiah menunjukkan 3 jenis bambu yang ditelitinya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pemodelan cangkang, menurut Esti, mudah dibuat dan sangat cocok di Indonesia yang banyak terjadi gempa. Untuk masyarakat yang mengungsi, dapat menggunakan model ini.

“Untuk mendirikan, menjalin, memotong bilah, butuh dua hari. Sedangkan mendirikannya cuma butuh dua jam.”

Meski begitu, tidak semua bambu dapat dipakai untuk material bangunan. Ini berkaitan ukuran. Berdasarkan penelitiannya, terdapat tiga jenis bambu yang bisa diandalkan sebagai konstruksi bangunan, yaitu bambu petung, bambu ater, dan bambu apus.

Ketiganya memiliki ciri berbeda. Bambu petung, diameternya 10-15 cm, dengan daging tebal. Bambu ater berdiameter 7-11 cm, dan bambu apus dengan diameter 5-7 cm. “Karakter bambu tidak seragam, karena material alami atau natural. Kekuatan strukturnya juga berbeda,” paparnya.

Baca: Taman Bambu, Penyelamat Mata Air Sekaligus Tempat Wisata Edukasi

 

Esti Asih menunjukkan desain bambu yang ditelitinya. Foto: Humas UK Petra Surabaya

 

Belajar dari masyarakat tradisional, Esti menyebut, dua cara merawat rumah berbahan bambu agar awet. Pertama, sebelum bambu disusun menjadi material bangunan, rendam dahulu di sungai. Di bambu terdapat sari pati atau starch bebentuk tepung, dengan direndam starch akan larut, sehingga tidak dimakan rayap.

Kedua, dengan cara mengasapi dari bakaran tungku atau pawon. Fungsinya, mengusir serangga yang ada di material bambu. Ini banyak dilakukan masyarakat di pedesaan. Bila dilakukan dengan benar dan dirawat, usia bangunan dapat mencapai 20 tahun atau lebih.

“Asap yang keluar dari tungku memasak, otomatis mengusir serangga yang ada di atas atap atau struktur bambu,” terangnya.

Baca juga: Jatnika dan Keinginannya Membangun Peradaban dari Bambu

 

Esti Asih memeriksa struktur bangunan cangkang gridshell berbahan bambu karyanya. Foto: Humas UK Petra Surabaya

 

Perlu edukasi

Menurut Esti, bambu dapat digunakan untuk bangunan tipe rendah dan menengah. Tipe rendah yaitu bangunan 3 sampai 4 lantai, sedangkan tipe sedang mencapai 10 lantai.

“Di Bali, bangunan 3-4 lantai sudah ada yang memakai bambu, dan itu bisa. Kalau 10 lantai masih harus diteliti batas kekuatannya. Mungkin bukan memakai bambu utuh, tapi yang sudah dilaminasi,” urainya.

Menurut dia, perlu revitalisasi pembelajaran konstruksi maupun arsitektur bambu. Masyarakat juga perlu memahami pentingnya menanam bambu bagi lingkungan, seperti menahan longsor di lahan miring, menyerap air, serta menyerap karbon di udara.

“Bambu juga sustainable. Bila dibongkar dan material bambu diletakkan di tanah, akan mudah terurai.”

 

Esti Asih melakukan pembebanan untuk mengukur kekuatan pada model struktur bangunan cangkang berbahan bambu. Foto: Humas UK Petra Surabaya

 

Selain Tiongkok, Kolombia dan Brazil, Indonesia juga dikenal memiliki beragam spesies bambu. Keunikan bambu Indonesia dibanding Tiongkok, terletak pada ukuran serta bagaimana bambu itu tumbuh. Bambu asal Tiongkok banyak berukuran kecil serta berjarak saat tumbuh, sedangkan bambu Indonesia lebih banyak berukuran besar serta tumbuh berkelompok.

“Ada ratusan spesies bambu di Indonesia yang bisa kita manfaatkan dengan tetap menjaga kelestariannya. Bangunan yang megah dan cantik pun bisa didesain menggunakan bambu,” tuturnya.

 

Seorang wisatawan lokal melintas di tengah hutan bambu Kebon Pring Andeman, Malang. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Mengutip situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis-jenis Bambu di Indonesia, dijelaskan bahwa pengembangan bambu di Indonesia mempunyai prospek menjanjikan berdasarkan kebutuhan bahan baku yang terus meningkat.

“Pemakaian bambu untuk kegiatan tradisional [petani, masyarakat pedesaan, pengrajin, acara keagamaan/kebudayaan] dan industri [pabrik kertas, pabrik chopstik/flowerstik, pabrik papan semen bambu dan pengalengan rebung].”

Di Indonesia, terdapat 125 jenis bambu yang 39 jenis sudah teridentifikasi. Dari jumlah tersebut, 11 jenis tergolong komersial. Sementara sisanya, merupakan jenis komersial lokal.

Jenis komersial rata-rata berdiameter besar [>8 cm] dan berdinding tebal [>8 mm]. Umumnya, berasal dari tiga kelompok genus yang terpilih untuk dikembangkan yaitu Bambusa, Dendrocalamus, dan Gigantochloa.

 

 

Exit mobile version