- Cuaca ekstrim awal tahun 2020 di Provinsi Bengkulu berdampak pada terjadinya banjir dan tanah longsor di sejumlah tempat.
- Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), akibat cuaca ekstrim saat pergantian tahun, enam desa di Kabupaten Seluma dilanda banjir.
- Penanaman bambu di daerah hulu dan sepanjang tepian sungai merupakan langkah yang baik sebagai upaya mitigasi dari ancaman banjir dan tanah longsor.
- Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kapahiang,Bengkulu, telah menjadikan bambu sebagai tanaman utama di lereng perbukitan yang mengelilingi desa tesebut. Desa tersebut aman dari ancaman banjir dan longsor.
Cuaca ekstrim awal 2020 di Provinsi Bengkulu, berdampak pada terjadinya banjir dan tanah longsor di sejumlah tempat. Banyak rumah terendam dan jalan raya terputus.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] menunjukkan, enam desa di Kabupaten Seluma dihantam banjir. Yaitu, Desa Tanjung Agung [13 rumah terendam], Desa Pagar Agung [40 rumah terendam], Desa Talang Tinggi [45 rumah terendam], Desa Lubuh [35 rumah terendam], Desa Talang Dantuk [11 rumah terendam], dan Desa Lubuk Lahan [5 rumah terendam].
Saat puncak cuaca ekstrim 8-10 Januari 2020, hujan sangat deras disertai angin dan petir, mengakibatkan beberapa lokasi longsor. Seperti di Kabupaten Kaur, yakni di Desa Ludai menuju Muara Sahung; Kabupaten Bengkulu Tengah, di Desa Susup menuju Desa Ujan Mas; dan Kabupaten Kapahiang.
“Setiap musim hujan, banjir dan tanah longsor menjadi rutin di sejumlah tempat di Provinsi Bengkulu,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Provinsi Bengkulu, Rusdi Bakar, pekan lalu.
“Terutama, di daerah yang tutupan hutannya gundul dan tebing-tebing yang tak ada penahan tanah alami atau buatan,” lanjut dia.
Baca: Banjir dan Longsor, Jangan Sampai Terulang Lagi di Bengkulu
Curah hujan tinggi pemicu longsor
Rusdi menjelaskan, curah hujan tinggi akan membuat pergerakan massa tanah dan batuan dari atas ke bawah yang mengakibatkan longsor. Solusinya adalah mempertahankan vegetasi di perbukitan dan lereng-lereng tetap hijau.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] menilai, tumbuhan bambu merupakan salah satu tanaman yang cocok memperbaiki kondisi hulu sungai dan tebing-tebing yang banyak mengalami kerusakan.
Bambu termasuk suku rumput-rumputan [Poaceae] yang umumnya hidup berumpun. Secara alami, bambu dapat tumbuh di berbagai tempat, dari tepi sungai, lembah, lereng bukit, bahkan pegunungan. Perakaran serabutnya dapat menstabilkan tanah.
Baca: Jatnika dan Keinginannya Membangun Peradaban dari Bambu
Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Enny Sudarmonowati mengatakan, penanaman bambu di daerah hulu dan sepanjang tepian sungai merupakan langkah yang baik sebagai upaya mitigasi ketimbang pembetonan. Alasannya, pembetonan tidak membuat tanah stabil, sehingga ketika air datang dengan itensitas tinggi, tetap saja tepian sungai terancam longsor.
“Hal itu berbeda apabila menggunakan vegetasi bambu. Tumbuhan ini mempunyai akar serabut yang mampu menstabilkan tanah walau hujan deras,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Kamis [16/1/2020].
Tak hanya itu, menurutnya, bambu mampu mengkonservasi air, mencegah sumber mata air kering dengan cadangan air selalu ada tanpa mengenal musim.
Baca: Kampung Konservasi Pekandangan yang Mengusung Kearifan Lokal
Alasan bambu sangat baik untuk keberlangsungan mata air adalah, batang pohon ini bersifat kapiler. Berfungsi mengisap dan menampung air, sehingga air dapat dialirkan ke bawah dan menimbulkan mata air baru, terutama di musim hujan dan bertahan walau musim kemarau.
Enny juga mengatakan, selain pencegah banjir, tanah longsor, dan sumber mata air, bambu mampu menjaga kebersihan udara karena menghasilkan oksigen lebih besar dari pohon lain. “Bernilai ekonomi juga bagi masyarakat,” jelasnya.
Baca: Taman Bambu, Penyelamat Mata Air Sekaligus Tempat Wisata Edukasi
Desa bambu di Bengkulu
Desa Batuampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kapahiang, Bengkulu, telah menjadikan bambu sebagai tanaman utama di daerah lereng-lereng perbukitan yang mengelilingi wilayah tesebut.
“Benar saja, lereng-lereng kami tidak pernah longsor,” kata Kepala Desa Batu Ampar, Herwan Iskandar kepada Mongabay Indonesia.
Batu Ampar salah desa di perbukitan di Bukit Barisan, dengan ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut. Luasnya sekitar 2.000 hektar, dan sekitar 1.600 hektarnya adalah kawasan hutan yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Bengkulu-Lampung, yang sudah ditetapkan sebagai bagian dari Taman Wisata Alam [TWA] Bukit Kaba.
Menurut Herwan, tanaman bambu bagi masyarakatnya adalah warisan kearifan leluhur. Oleh nenek moyang mereka, desa ini ditanami bambu, terutama di daerah curam dan jurang. “Bahkan, di bukit-bukit yang lebih tinggi dari desa kami, ada hutan bambu,” kata dia.
Baca: Bambu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Sepi Peminat
Selain selamat dari ancaman banjir dan tanah longsor, berkah dari kearifan leluhur ini, kata Herwan, desa ini mempunyai banyak sumber mata air.
“Air berlimpah, kami mencatat delapan sumber mata air. Ada beberapa air terjun dengan debit air besar karena di sepanjang alirannya merupakan rumpun-rumpun bambu,” terangnya.
Bambu juga berdampak pada ekonomi masyarakat. “Mereka mengumpulkan rebung untuk dijual, sebagai sumber pendapatan,” tutur Herwan.
Puncaknya pada 1990-an, Batu Ampar menjadi desa penyuplai utama bahan kornet rebung untuk pabrik rebung di Tabarenah, Kabupaten Rejang Lebong. Bahkan, pabrik ini mencapai kejayaan dengan mengekspor olahannya ke Jepang.
Dari pengakuan Herwan, saat itu desa mereka bisa memanen satu ton rebung per hari, bahkan bisa lebih. Sayang, karena dipanen besar-besaran, ketersediaan rebung menyusut awal 2000-an, dan perusahaan itu juga bangkrut.
“Ada dampak lain dari eksploitasi bambu masa itu, yakni tiga mata air mengecil, bahkan mengering,” katanya.
Baca juga: Cerita Bambu, Tanaman Kaya Manfaat yang Masih Dipandang Sebelah Mata
Dari perjalanan Mongabay Indonesia di hutan sekitar Batu Ampar, tampak jelas sepanjang lereng-lereng di pinggir desa tersebut ditumbuhi bambu. Namun, di beberapa tempat, rumpun-rumpun bambu yang tumbuh di lereng bukit dibabat habis, diganti kebun kopi.
Warga Desa Batu Ampar, sekaligus relawan BPBD Kabupaten Kapahiang, Amran menyayangkan hal ini terjadi. Keresahan dia, berkaca dari mengeringnya tiga sumber mata air yang ada. “Pertama pohon bambu dibabat habis, lalu pohon-pohon besar di hutan sekitar itu digundulkan. Akibatnya, sumber mata air itu kering sampai saat ini.”
Dia juga mengusulkan, yang ingin berkebun kopi dipersilakan dengan cara agroforestry, yang menjadi kearifan leluhur dan masih dilakukan saat ini. Namun, khusus di aliran sungai dan lereng, dia meminta jangan dibabat pohon-pohon dan rumpun bambu yang ada.
“Sekarang masih aman terkendali, tapi kalau semua rusak, bisa saja banjir dan tanah longsor menghampiri,” tegasnya.