Cerita Bambu, Tanaman Kaya Manfaat yang Masih Dipandang Sebelah Mata

Mukoddas Syuhada, menggeluti bambu secara intensif sejak 2012. Kecintaan pada bambu telah mengantarkan dia ikut berbagai pertemuan bambu nasional maupun internasional.

Bersama, Komunitas Bambu Nusantara,  yang digagasnya, dia punya mimpi melipatgandakan manfaat, sekaligus menyejahterakan masyarakat lewat bambu.

“Bambu itu lebih komplit manfaatnya,” katanya, kepada Mongabay saat Bamboo Biennale II di Benteng Vastenburg, Surakarta, akhir bulan lalu.

Selama ini, katanya, pohon kelapa yang dikenal banyak manfaat, ternyata bambu lebih banyak. “Sampai disebut Sang Saka Buwana.”

Menurut Mukoddas, bambu adalah material masa depan. Dari bambu bisa jadi beragam produk, mulai makanan, obat-obatan, komponen elektronik, bahan bangunan, hingga tekstil.

“Bisa menggantikan fungsi logam, kayu, plastik, benang, bahkan energi fosil. Bambu bisa jadi biomassa, jadi briket. Kelemahan bambu hanya satu, material ini masih dianggap dekat dengan kemiskinan.”

Dalam kebudayaan Indonesia, katanya, bambu sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, mulai manusia lahir sampai mati.

“Dulu memotong tali pusar pakai bambu, atau welat. Alat pertanian pakai bambu, saat meninggal digotong pakai bambu. Saking biasa, bambu dipandang sebelah mata. Ini menghambat pengembangan bambu.”

Tentang bambu yang tak awet karena dimakan kumbang bubuk, kata Mukoddas, seharusnya tak jadi masalah. Sebab, ada banyak solusi mudah dan murah bisa membuat umur penggunaan bambu mencapai puluhan tahun.

“Kearifan lokal kita, dulu pengawetan bambu cukup direndam di sungai, lumpur, air laut, atau diasap. Menebang bambu itu juga ada waktunya. Sama seperti tanaman lain, bambu mengandung glukosa. Hama ini mencari glukosa. Sebaiknya, menebang bambu saat bambu itu pahit, yakni musim panas, sudah tua, atau setelah malam bulan purnama.”

Beberapa waktu lalu dia bersama tim Bambu Nusa dan Akademi Bambu Nusantara memperkenalkan Rumah Oksigen dan Rumah Bambu Nusantara.

Konsepnya, berupa rumah berbahan dasar bambu, modern, layak huni, dengan harga terjangkau. Karya Rumah Oksigen juga dipamerkan dalam Bamboo Biennale II.

Anemuka, karya mahasiswa UNS. Foto: Nuswantoro
Anemuka, karya mahasiswa UNS. Foto: Nuswantoro

Guna mengatasi kendala minim database bambu di Indonesia, Bambu Nusa menciptakan aplikasi Android bernama bambunusa.

“Ini terobosan kita. Database bambu kita minim sekali. Padahal penyebaran bambu bisa di mana-mana, dari Sabang sampai Merauke. Bambunusa mirip pokemon go. Kalau pokemon ngumpulin monster, kita ngumpulin bambu,” katanya.

Caranya,  ketika menemukan rumpun bambu, seseorang bisa mengambil foto. Poin selalu bertambah setiap menemukan rumpun bambu. Setelah mencapai jumlah tertentu poin bisa ditukarkan dengan produk Bambu Nusa.

Pembicara lain, Jajang Agus Sonjaya, memaparkan serangan kumbang bubuk atas bambu bisa diatasi dengan mengikuti pola panen yang baik.

“Setahun ada dua bulan waktu yang baik untuk memanen bambu, yaitu mangsa kapitu dan kasanga,” katanya dalam makalah. Dalam penanggalan Jawa, mangsa kapitu jatuh pada akhir Desember hingga awal Februari. Mangsa kasanga sekitar awal hingga akhir Maret.

Penebangan bambu tua, katanya, mutlak dilakukan untuk menjaga nutrisi tanah dan kualitas bambu di rumpun tetap baik. “Misal dalam satu rumpun ada 12 pohon sudah tua, bisa ditebang enam sampai delapan, sisanya dibiarkan tumbuh untuk memberikan nutrisi pada anak-anaknya.”

Panen bambu bisa setiap tahun. “Bambu harus dipanen, jika tidak, rumpun jadi tak sehat,” katanya.

“Ini adalah prinsip keseimbangan alam yang luar biasa karena ketika kita memanen dan memanfaatkan bambu dengan benar, berarti kita turut dalam menjaga lingkungan. Di sinilah letak strategis bambu untuk mengganti kayu yang kian langka dan hutan yang terus rusak,” papar Jajang, peneliti bambu dan pemilik perusahaan Bambubos, yang menyediakan produk bambu, bibit, dan pelatihan.

Rumah oksigen, karya Akademi Bambu Nusantara, Tangerang. Foto: Nuswantoro
Rumah oksigen, karya Akademi Bambu Nusantara, Tangerang. Foto: Nuswantoro

Salah satu yang memanfaatkan bambu untuk produk sehari-hari adalah Singgih Susilo Kartono, pemilik Piranti Works, di Kandangan, Temanggung.

Sejak 2013, Singgih membuat sepeda dengan kerangka bambu. Hingga kini, sepeda bambu yang diberi nama Spedagi mencapai versi ke-12, atau pring rolas. Singgih tergerak membuat sepeda bambu dengan memanfaatkan bahan-bahan yang banyak tersedia di desa.

“Memanfaatkan bahan lokal, meminimalisir logam dan plastik dengan bahan sustainable,” kata Singgih, beberapa waktu lalu.

***

Sebuah kubus berdiri di atas tumpukan potongan bambu. Keenam sisi memiliki pola permukaan berbeda-beda. Beberapa kali pengunjung terlihat memilih karya berjudul Anemuka itu untuk latar belakang selfie.

Dalam penjelasan karya, Anemuka adalah contoh eksplorasi media bambu dari bentuk paling sederhana sampai tersulit, seperti terlihat pada keenam sisi.

Anemuka seolah melambangkan kemungkinan transformasi bentuk luas dari bambu. Karya instalasi mahasiswa arsitektur UNS yaitu Rifky Candra Ardhani, Marselinus David Raynaldo, dan Fitra Imanda ini salah satu dari 22 karya terpilih yang dipamerkan dalam Bamboo Biennale II di Benteng Vastenburg, Surakarta, mulai 8-30 Oktober lalu.

Rumpun bambu dan keranjang bambu. Foto: Nuswantoro
Rumpun bambu dan keranjang bambu. Foto: Nuswantoro

Karya-karya unik lainnya tak hanya menonjolkan aspek keindahan, dan kreativitas, juga fungsi, misal, karya berjudul Rite of Passage, kreasi Antonius Tan, Kiara Puspa, dan Edmun Santos dari Jakarta.

Mereka membangun shelter dari batang-batang bambu yang dilengkungkan. Melalui eksplorasi kelenturan bambu, bidang terbuka dapat diisi papan informasi hingga publik sekaligus mendapat informasi.

Pameran karya instalasi bambu itu langsung menyedot perhatian pengunjung, bahkan sebelum dibuka sore harinya.

Kebanyakan dari mereka, pelajar dan mahasiswa, peminat bambu, serta beberapa turis domestik dan asing yang kebetulan ke Surakarta.

“Jumlah pengunjung menjelang hari penutupan 100.000 lebih,” kata Dyanira, Sekretaris Panitia Bamboo Biennale kepada Mongabay, Minggu, (6/11/16), lewat sambungan telpon.

“Respon pengunjung bagus. Mereka antusias melihat-lihat karya dari dekat. Menjadi tahu bahwa bambu bisa dijadikan bangunan yang memiliki fungsi publik, misal shelter.”

Selain pameran, sejumlah kegiatan digelar seperti workshop, kompetisi disain, seminar, dan pertunjukan seni. Lokasi penyelenggaraan menyebar ke beberapa titik, Benteng Vastenberg, Pasar Gede, dan Tawangmangu.

“Bamboo Biennale dimulai sejak Juli lalu. Mulai penerimaan proposal karya, lomba disain. Ada empat kategori dilombakan, yaitu instalasi, arsitektur, furnitur, dan kriya. Paling banyak peserta arsitektur, sekitar 130-an,” kata Dyanira.

Bamboo Biennale dua tahun lalu mengambil tema “born,” ingin melahirkan kembali minat masyarakat atas budaya bambu. Kali ini panitia mengambil tema “hope.”

“Sekarang, tujuan lebih memperkenalkan terutama fungsi dan kegunaan bambu.”

Dalam situs, penyelenggara menyatakan ingin menerbitkan kembali harapan bagi mereka yang berjuang memberdayakan bambu, dengan merangkul penggiat dan perajin bambu. Mereka diberi wadah meyebarluaskan kebaikan bambu. Selain itu, mengajak masyarakat memahami bambu lewat proyek bambu yang menyenangkan, dan menghijaukan kota dengan gerakan menanam bambu.

Eko Prawoto, arsitek sekaligus kurator Bamboo Biennale 2016 mengatakan, bambu memiliki kekuatan hidup luar biasa. Saat erupsi di Gunung Merapi, meski hutan lereng gunung terbakar dan tertutup abu vulkanik, bambu salah satu tanaman pertama yang tumbuh lagi.

Bamboo Biennale, katanya,  mengambil inisiatif untuk mempertemukan para perajin dengan arsitek dan desainer. “Untuk melahirkan kembali disain bambu di Indonesia.”

 

Singgih Susilo Kartono dan sepeda bambunya. Foto: Nuswantoro
Singgih Susilo Kartono dan sepeda bambunya. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,