Mongabay.co.id

Ratusan Burung Diselundupkan, Namun Dikembalikan ke Pedagangnya

 

Dua peristiwa upaya penyelundupan ratusan burung dari Bali pada Januari ini membuat sebuah lembaga swadaya masayarakat memprotes lembaga karantina karena burung-burung itu dikembalikan ke pemilik atau pedagangnya.

Marison Guciano, Direktur Eksekutif Flight Indonesia Foundation atau Yayasan Terbang Indonesia memaparkan kegeramannya pada media, Sabtu (29/01/2022). Ia mengatakan lembaganya fokus memberantas perdagangan burung ilegal dan mengajukan protes pada dua peristiwa tersebut. Menurutnya ratusan burung itu harus dilepasliarkan oleh pemerintah, bukan dikembalikan ke pedagang yang hendak menjual ke Jawa melalui Pelabuhan Gilimanuk, Bali.

Pertama, pada ada 21 Januari ada rencana penyelundupan burung dari Bali ke Banyuwangi, Jawa Timur. Marison menyebut menginformasikan hal ini ke Balai Karantina Pertanian. “Burung disita, tapi anehnya dikembalikan ke pemilik atau pedagangnya,” protesnya.

Peristiwa pertama ini jumlahnya 338 ekor. Terdiri dari burung Kepodang 40 ekor, Awar-awar 37, Kacial/Pleci 18, Kombu 50, Zotorobery 105, Kembang 2, Dewi 1, Branjangan 24, Gelatik 3, Cendit 58. Dari daftar itu, burung kacial/pleci (Zosterops cloris) merupakan jenis dilindungi yang habitatnya di Nusa Penida.

Peristiwa kedua pada 26 Januari, sebanyak 376 ekor, sudah sampai di Banyuwangi, tapi oleh pihak Karantina Pertanian di Bali dikembalikan ke pemiliknya. Menurut Marison, ini perdagangan ilegal karena tanpa dokumen surat kesehatan dan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN).

baca : Perdagangan ke Jawa Makin Marak, Burung Kicau di Sumatera Terancam

 

Ratusan burung selundupan yang disimpan dalam wadah-wadah sempit sehingga banyak burung yang mati. Foto : Yayasan Terbang Indonesia

 

“Harusnya dilepasliarkan di Bali jika burungnya dari Bali,” ketusnya. Jumlahnya 376 ekor (40 mati). Pleci 210 (mati 28), Cucak Kombo (50 (mati 2), Awar-awar 36 (9 mati), Anis Kembang 5 (1 mati), Anis Merah 60, Podang 11, dan Anis Kopi 4 ekor.

Ia meyakini pemiliknya adalah pedagang besar, membeli dari pemburu. “Berusaha diselundupkan ke Jawa, jelas diperdagangkan. Disimpan di boks dengan profesional. Dugaan kami ini perdagangan rutin,” lanjut Marison. Totalnya hampir 800 ekor dalam sepekan, sementara perkiraannya yakni sekitar 1.000 ekor burung yang diselundupkan per minggu dari Jawa ke Bali. Ia menduga, lebih dari sebagian memang ditangkap di Bali.

Burung Pleci dada kuning menurutnya hanya ada di Bali dan Pleci Lombok hanya ada di Nusa Penida. Hampir semua kawasan hutan seperti di Tabanan, dan Kintamani-Bangli bisa jadi sumber burung-burung itu. Bahkan ada silent forest, hutan tapi burungnya tidak ada. Bali menurutnya tak hanya jadi sumber penangkapan burung dari alam juga transit perdagangan dari NTB dan NTT. Karena tujuannya Pulau Jawa, pasar permintaan tertinggi.

Setelah penindakan besar-besaran di Sumatera, Marison menduga pasar Jawa mencari sumber burung baru. Peristiwa pengembalian ratusan burung ke pedagangnya ini menurutnya membuat pelaku tidak jera. “Tidak hanya lemah, tapi terkesan melindungi penyelundupan burung ilegal,” sebutnya.

Flight, nama yang dikenal dari Yayasan Terbang Indonesia ini berdiri 2018 dengan misi memantau dan investigasi perdagangan burung. Pengawasan di Bali disebut baru dilakukan 3 bulan ini.

Daerah pemasok perdagangan burung disebutkan paling banyak Sumatera, Bali, dan NTB karena jaraknya lebih dekat ke Jawa sehingga potensi hidup burung lebih tinggi. Ia menyayangkan burung-burung ini diperoleh dari alam bukan penangkaran.

baca juga : Lampung “Jalur Sutra” Penyelundupan Burung Kicau dari Sumatera ke Jawa

 

Seekor burung kicauan dari ratusan burung selundupan dari Bali ke Jawa. Foto : Yayasan Terbang Indonesia

 

Dwi Martiningsia, Sub Koordinator Pengawasan dan Penindakan Karantina Pertanian Denpasar menyebut burung-burung itu sudah diidentifikasi BKSDA dan hanya 18 ekor jenis yang dilindungi, dan itulah yang ditahan. Ia minta detail pengembalian ini dikonfirmasi ke wilayah kerja karantina di Gilimanuk, lokasi pelabuhan penyeberangan ke Jawa.

Nyoman Ludra, Pejabat Wilayah Kerja Gilimanuk Karantina Pertanian Denpasar mengatakan sebagian burung sudah mati. Pengembalian ke pemilik menurutnya sesuai dengan UU No 21/2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan pasal 44. Pengembalian ke pemilik menurutnya karena tidak memenuhi persyaratan karantina, tidak ada dokumen, dan lainnya.

Alasan kedua, kesejahteraan hewan. “Kalau penahanan di karantina, dalam beberapa jam cepat mati, kandang sangat kecil dan sudah berhari-hari. Untuk menyelamatkan dikembalikan ke pemilik. Sebagian besar tidak dilindungi, BKSDA mencari mana yang dilindungi,” sebutnya saat dikonfirmasi Mongabay Indonesia.

Pasal 14 UU No 21/2019 menyebutkan petugas karantina bertugas melakukan tindakan karantina meliputi pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan.

Pasal 44 UU No 21/2019 tentang Penahanan menyatakan (1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e dilakukan untuk mengamankan Media Pembawa di bawah pengawasan Pejabat Karantina. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila setelah pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, dokumen persyaratan belum seluruhnya dipenuhi dan/atau Pemilik menjamin dapat memenuhi dokumen persyaratan.

(3) Pemenuhan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah Pemilik menerima surat penahanan.

baca juga : Digagalkan, Penyelundupan Ratusan Burung dari Makassar ke Surabaya

 

Seekor burung kicauan dari ratusan burung selundupan dari Bali ke Jawa. Foto : Yayasan Terbang Indonesia

 

Ludra mengakui penyelundupan burung itu perdagangan ilegal, tapi karena dalam tiga hari bisa mengurus dokumen persyaratan sehingga bisa dikembalikan ke pemilik. “Dilakukan pembinaan dengan surat pernyataan tidak mengulang,” jelasnya. Tidak ada sanksi pidana, hanya pembinaan.

Upaya perdagangan ilegal ini, menurut Ludra, dilakukan dengan mengangkut burung dalam dua bus. Pemiliknya adalah pedagang dari Pasar Burung bernama Sam dan pemilik kedua dari Seririt, Tabanan bernama Wawan. Ludra menyebut, keduanya belum pernah ketahuan menyelundupkan.

Ia merencanakan ada operasi bersama dengan pihak kepolisian karena maraknya informasi penyeberangan burung ke Jawa tanpa dokumen.

Marison mengaku sudah bantu pemerintah memberantas perdagangan burung ilegal. Misalnya mengumpulkan informasi dari pedagang ilegal untuk ditindaklanjuti. Ketika ada penyelundupan, koordinasi dan melaporkan ke karantina. “Penyelundup tidak jera, seolah dilindungi penegak hukum. Bali ini jadi titik transit jalur penyelundupan ke Jawa dari NTB dan NTT, karena banyak ditemukan burung dari daerah tersebut,” ingatnya lagi. Modusnya dengan bus, truk ekspedisi, pelakunya tidak ikut berangkat.

Jika dilepasliarkan, Flight juga mengaku bisa membantu transportasi burung untuk pengembalian burungnya. Jika penyelundupan terus terjadi, 10-20 tahun populasi burung liar akan menurun drastis.

Walau jenis burungnya tidak dilindungi, menurutnya, para pedagang harus diregulasi misal memiliki izin pengedar, atau pengumpul untuk pedagang burung, yang dikeluarkan BKSDA. Ada kuota per tahun dan surat izin angkut. “Kalau menyalahi maka ilegal. Walau punya izin edar bisa jadi burungnya ilegal,” tambah Marison. Burung-burung yang dikembalikan ke pedagangnya itu pun diyakininya akan kembali diperdagangkan.

 

Ilustrasi. Burung Pleci diamankan Gakkum KLHK Wilayah Sumatera saat akan mau diseludupkan dari Aceh ke Sumut. Foto : Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version