Mongabay.co.id

Hanya Kopi Arabika di Hati Masyarakat Gayo, Bukan Tambang Emas

 

 

Rencana pertambangan emas dan mineral yang akan dilakukan PT. Linge Mineral Resources [LMR] di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, terus mendapatkan perlawanan masyarakat.

Reje atau Kepala Desa Linge, Zai Nudin saat menjadi pembicara diskusi online yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana Aceh [IKAMAPA] Bogor, Jawa Barat,  Senin [10/01/2022] mengatakan, masyarakat Desa Linge sepakat menolak perusahaan tambang tersebut.

“Kami telah menggelar musyawarah, kami tegas menolak. Berbagai masalah yang akan timbul akibat tambang.”

Dia menjelaskan, masyarakat Linge tidak mau kehilangan mata pencaharian karena lahan akan diambil alih perusahaan. Selain itu, Linge merupakan asal-usul masyarakat Gayo yang saat ini mendiami dataran tinggi Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues.

“Banyak situs sejarah Kerajaan Linge yang akan rusak jika perusahaan ini beroperasi. Kami tidak mau bencana ini terjadi.”

Zai Nudin mengaku pernah mengikuti pertemuan dengan pihak perusahaan, khususnya rencana penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan [amdal]. Perusahaan banyak memberi janji manis, seolah masyarakat Linge sejahtera dengan tambang.

“Mereka mengatakan akan mengganti rugi tanah dan kebun dengan harga mahal. Bahkan, pohon yang ada di kebun akan diganti juga.”

Baca: Masyarakat Gayo Tegas Menolak Kehadiran Perusahaan Tambang Emas

 

Kopi arabika yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Gayo, bukan tambang emas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Profesor Tajuddin Bantacut, Dosen Teknik dan Manajemen Lingkungan, Institut Pertanian Bogor [IPB], pada acara yang sama mengatakan, telah berusaha mengakses amdal PT. LMR, namun belum menemukannya.

“Jadi, saya menganggap amdal belum selesai dibahas, atau belum disahkan, karena tidak bisa diakses. Melalui amdal, masyarakat tahu apa yang akan dilakukan perusahaan, termasuk  dampak positif dan negatifnya,” ujar lelaki yang berasal dari Aceh Tengah.

Tajudin menyebutkan, hampir semua masyarakat lokal di sekitar pertambangan, hidup tidak sejahtera. Mereka hanya senang saat ganti rugi diberikan, tapi setelah uang habis mereka akan  menderita. Penyebabnya, mereka tidak memiliki lagi sumber penghasilan lagi.

“Contoh paling dekat adalah banyak orang dipindahkan ketika PT. Arun LNG didirikan di Kabupaten Aceh Utara. Awalnya, masyarakat diberikan ganti rugi lahan dan bangunan. Namun, mereka menderita karena tidak punya wilayah kelola lagi.”

Saat PT. Arun  berdiri, bermula dengan ditemukannya ladang gas pada 18 November 1971, ratusan hektar tanah warga di Desa Blang Lancang dan Rancong, Kota Lhokseumawe, diambil alih karena masuk areal pembangunan perusahaan. Sekitar 542 kepala keluarga dijanjikan akan mendapatkan tanah baru untuk perkampungan.

“Tapi, hingga gasnya habis, janji itu tidak pernah dipenuhi.”

Pertambangan emas juga membutuhkan bahan kimia sangat banyak. Bukit dikeruk dan lembah digali, tanahnya diolah menggunakan bahan kimia untuk diambil emasnya. Perubahan ekosistem pun terjadi, hutan rusak dan sejumlah lubang terhampar.

“Terjadi perubahan iklim mikro. Siklus air yang berubah, berdampak besar pada masyarakat yang tinggal di sepanjang Daerah Aliran Sungai [DAS] Peusangan dan Jambo Aye.”

Tajudin menyebutkan, dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh, seharusnya tidak boleh dijadikan kawasan pertambangan. Ada potensi pertanian dan perkebunan yang lebih menjanjikan, ramah lingkungan.

“Kopi Gayo, terutama. Banyak masyarakat hidup dan sejahtera karena kopi ini. Jangan hancurkan kehidupan yang telah terbangun dari kopi hanya karena tambang emas,” harapnya.

Baca: Jangan Rusak Kopi Arabika Gayo dengan Tambang Emas

 

Kebun kelapa masyarakat dan potensi ekonomi lainnya harusnya didampingi pemerintah agar produksinya terjaga, bukan memberi izin tambang emas yang justru merusak hutan dan lingkungan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tambang merusak lingkungan

Sri Wahyuni, pegiat lingkungan di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, mengatakan Kerajaan Linge yang letaknya di Kecamatan Linge, merupakan cikal-bakal lahirnya Kerajaan Aceh.

“Linge adalah kerajaan tertua di Aceh dan situs sejarah itu ada di Linge. Harus dilindungi sebagai identitas masyarakat,” ujarnya, Minggu [16/01/2022], saat pelatihan jurnalisme warga di Takengon, Aceh Tengah.

Jika eksploitasi dilakukan, tidak hanya merusak hutan dan lingkungan, tetapi juga berdampak pada kesehatan kaum perempuan dan anak-anak dalam jangka panjang.

“Salah satu efek tambang adalah terganggunya reproduksi atau rahim kaum perempuan yang tinggal di sekitar tambang akibat air, udara, dan makanan tercemar bahan kimia,” ungkapnya.

Sri Wahyuni juga mengingatkan, tambang bukanlah solusi terbaik bagi peningkatan ekonomi masyarakat Aceh, terlebih yang tinggal di dataran tinggi. Keuntungan tambang hanya dinikmati segelintir orang.

“Risikonya merugikan dan membahayakan seluruh masyarakat, tanpa kecuali. Kita bukan bagian dari masyarakat anti-kemajuan dan pembangunan. Kita hanya ingin pembangunan berkeadilan, alam lestari dan rakyat sejahtera,” tegasnya.

Video: Melirik Kopi Sebagai Bahan Bakar Nabati Potensial

 

Petani di Desa Agusen, Gayo Lues, bergotong royong menanam padi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, pada 30 Desember 2021, PT. Bumi Resources Minerals Tbk melalui anak usahanya PT. Bumi Sumberdaya Semesta [BSS] telah mereklasifikasi tambang emas Linge Abong milik PT. Linge Mineral Resources [LMR].

Direktur Utama PT. Bumi Resources Minerals Tbk, Suseno Kramadibrata, dalam pernyataan tertulis mengharapkan, dapat secepatnya mengembangkan proyek emas Linge Abong.

“Prospek emas ini dapat menambahkan nilai secara signifikan bagi para pemegang saham kami, sebagai tindak lanjut pengembangan proyek tambang emas di Palu dan Gorontalo dalam dua tahun ke depan,” ujarnya, Kamis [30/12/2021].

Baca juga: Jangan Lagi Sebut Ganja di Desa Agusen

 

Inilah Sungai Agusen atau hulu DAS Alas-Singkil di Kabupaten Gayo Lues. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh menunjukkan, PT. Linge Mineral Resource mendapatkan IUP Eksplorasi pada 28 Desember 2009 dengan luas areal 98.143 hektar melalui Keputusan Bupati Aceh Tengah Nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009 tentang Peningkatan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi. Lokasinya di Kecamatan Linge dan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah.

Pada 4 April 2019, PT. Linge mengumumkan rencana usaha dan kegiatannya dalam rangka studi analisis mengenai dampak lingkungan [amdal] di media massa. Dalam pemberitahuan itu, selaku kuasa Direktur PT. Linge Mineral Resource, Achmad Zulkarnain menyatakan, perusahaan akan menambang dan mengolah bijih emas dmp seluas 9.684 hektar di Desa Lumut, Desa Linge, Desa Owaq, dan Desa Penarun, Kecamatan Linge. Jumlah produksi maksimal 800.000 ton per tahun.

PT. Linge Mineral Resource berstatus penanaman modal asing [PMA], anak perusahaan East Asia Mineral dari Kanada, selaku pemegang saham sebanyak 80 persen.

 

 

Exit mobile version