Mongabay.co.id

Agustina Pandiangan, Pulang Kampung Dirikan ‘Sopo Baca Haminjon’

 

 

 

 

“Sipituhuta dan Pandumaan…Sipituhuta dan Pandumaan harus memenangkan perempuan…Mengusir perusahaan perusak lingkungan…Demi menjaga hutan…Sipituhuta dan Pandumaan lama hidup bersama dengan pohon kemenyan…Menjaga pohon-pohon supaya bisa makan…Sipituhuta dan pandumaan berjuang melawan perusak lingkungan…Karena sudah mengganggu hutan…Lindungi tanah warisan kita…”

Begitu puisi Fransisca Lumbangaol, siswa kelas 6 SD, salah satu anak yang tergabung di “Sopo Baca Haminjon.’ Puisi itu dia bacakan saat Festival Literasi di lapangan terbuka, di depan ratusan penonton. Hadir pula Lidya Christina Panjaitan, istri Dosmar Banjarnahor, Bupati Humbang Hasundutan.

“Itu festival Literasi Haminjon perdana pada Oktober 2021. Rencananya mau dibikin setiap tahun,” kata Agustina.

Agustina Pandiangan, adalah pendiri ‘Sopo Baca Haminjon.’ Dia perempuan adat Pandumaan Sipituhuta. Sebelum mendirikan sekolah itu di Desa Pandumaan, Agustina sempat merantau dan bekerja ke Ibukota Jakarta.

Di Jakarta, perempuan 30 tahun ini pernah jadi relawan mengajar anak-anak jalanan. Dari sana, dia berpikir dan terpanggil untuk melakukan hal serupa di kampung halaman, dengan mengajar anak-anak Pandumaan Sipituhuta. Dia pun memutuskan pulang kampung di Desa Pandumaan.

“(Di Jakarta) seperti kehilangan identitas diri. Hidup gitu-gitu aja,” kata Agus.

Balik kampung, Agus mendirikan ‘Sopo Baca Haminjon.’ Komunitas baca ini berdiri pada 2018.

Gerakan literasi ini mulai dari sebuah rumah sederhana nan asri. Di pekarangan tersusun pot-pot berisi tanaman bunga berwarna warni dengan dominasi merah, dan hijau.

Kediaman keluarga Pandiangan itu bersebelahan dengan gereja. Halaman depan seluas lapangan volley menjadi tempat anak-anak belajar sambil bermain. Lapangan belakang rumah dia bikin kebun mini sebagai laboratorium anak-anak menanam, terlihat strawberry dan beragam tanaman lain.

“Makanlah apa yang kau tanam. Tanamlah apa yang kau makan,” begitu cara Agus menanam pikiran soal pentingnya bercocok tanam sejak dini kepada anak.

 

Baca juga: Aksi Jalan Kaki dari Sumut ke Jakarta, Demi Kelestarian Danau Toba

Hutan dibersihkan, termasuklah di dalamnya ada pohon kemenyan, untuk ditanami pohon eukaliptus oleh perusahaan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Baginya penting mengajarkan kepada generasi muda supaya tidak malu jadi petani, menanam tumbuhan yang bisa langsung dimakan, bukan malah menanam komoditas seperti eukaliptus untuk kebutuhan industri. “Kertas gak bisa dimakan.”

Di dalam rumahnya, di samping kamar mandi ada ruangan dengan sebuah papan tulis ‘whiteboard’ tergantung di dinding. Buku-buku tersusun rapi di rak tiga tingkat. Hampir 500 buku dengan berbagai jenis bacaan ada di sana. Di atas meja berjejer tiga komputer hasil sumbangan teman-temannya.

‘Sopo Baca Haminjon’ bisa menampung hingga 30 orang. Di tempat itulah anak-anak menyalurkan ide-ide kreatifnya. Pemuda pemudi setempat membantu Agus mengurus ‘Sopo Baca Haminjon’ secara sukarela.

“Anak-anak suka hal baru. Di sini mereka belajar bagaimana desain gambar atau logo. Kita didik mereka menggunakan internet secara positif,” katanya. Agus memberikan pemahaman gunakan media sosial secara bijak.

Ide ‘Sopo Baca Haminjon’ didapat dari identitas kampung itu, mayoritas warga hidup dan bergantung dari pohon haminjon. Sopo dan haminjon berasal dari bahasa Batak. ‘Sopo’ berarti rumah atau gubuk dan ‘haminjon’ berarti kemenyan.

Pendapatan asli warga Pandumaan-Sipituhuta dari getah kemenyan. Pekerjaan sebagai petani atau penderes getah haminjon di desa itu sudah turun temurun. Sejak masuk perusahaan eukaliptus, pohon haminjon makin berkurang.

Nama haminjon, kata Agus, dipakai sebagai upaya mengajarkan anak-anak tetap mempertahankan identitas. Dengan begitu, generasi muda turut menjaga kelestarian hutan termasuk pohon endemik itu.

 

Baca juga: Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Warga Adat Natumingka Luka-luka

Anak-anak di ‘Sopo Baca Haminjon’ juga belajar cara menanam, tentunya secara alami. Foto: Barita News L/ Mongabay Indonesia

Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta berhasil berjuang merebut tanah ulayat mereka. Sejak 1980-an, PT Toba Pulp Lestari –dulu bernama PT. Inti Indorayon Utama—menguasai hutan kemenyan yang jadi penopang ekonomi mereka. Masyarakat adat berjuang, melawan, dari aksi-aksi di lahan, turun ke jalan, protes ke Gedung DPRD, kantor gubernur hingga ke kementerian dan lembaga termasuk istana negara di Jakarta.

“Saat masa-masa perjuangan itu, aku masih remaja. Aku masih ingat seringkali bapak-ibu di kampung berkumpul dan pergi demonstrasi. Aku bertugas menjaga adik-adik yang masih kecil,” katanya.

Menurut dia, perlu ada gerakan lanjutan untuk generasi muda guna memperkuat kesadaran akan hak-hak adat.

Agus juga relawan Tim 11 yang berjalan kaki dari Sumatera Utara menuju ke Istana Presiden Jakarta dalam aksi Tutup PT TPL pada pertengahan 2021. Gerakan itu sebagai bentuk aspirasi,memberi pesan ke Presiden Joko Widodo untuk mencabut izin PT TPL dan menyelamatkan kelestarian hutan di sekitar Danau Toba.

Aksi ini berawal dari respon konflik yang terjadi di Desa Natumingka, Kabupaten Toba. Saat itu, ratusan pekerja TPL membawa kayu dan alat berat, mematok lahan guna menanam bibit eukaliptus di lahan adat yang versi perusahaan masuk konsesi mereka. Masyarakat Adat Natumingka menolak hingga terjadi insiden belasan warga adat luka-luka.

Masih tersimpan dalam memori Agustina, perjuangan panjang orang-orang tua di desa itu mempertahankan wilayah adat dari perusahaan.

“Perlu meneruskan semangat itu kepada anak-anak muda Pandumaan-Sipituhuta agar warisan alam terjaga.”

 

Baca juga: Akhirnya Masyarakat Pandumaan Sipituhuta Dapatkan Hutan Adat Mereka

Agustina Pandiangan. Perempuan Adat Pandumaan Sipituhuta, pendiri ‘So[o Baca Haminjon’. Foto: Barita Nes L/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version