Mongabay.co.id

Hidup Mati Gunung Api di Jawa Barat yang Sewaktu-Waktu Bisa Meletus

 

Di mata para vulkanolog, gunung api merupakan sosok yang hidup. Dia tumbuh dan berevolusi. Begitupun dengan bebatuan serta kandungan mineral gunung api yang berserak bisa berkisah tentang sejarah petaka di masa lalu, sekaligus menyiratkan pesan tentang apa yang dapat disiapkan untuk menghadapi ancaman di masa mendatang.

Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara dengan jumlah gunung api terbanyak di dunia. Ada 127 gunung api, terbagi dalam 69 gunung api Tipe A di darat, 7 gunung api Tipe A di laut. Sisanya merupakan gunung api Tipe B dan Tipe C.

Di wilayah Tatar Sunda terdapat tujuh gunung berapi aktif Tipe A. Ketujuh gunung berapi yaitu Salak, Gede, Tangkubanparahu, Guntur, Papandayan, Galunggung, dan Ciremai yang sampai sekarang masih berstatus normal aktif. Artinya, kapan pun masih bisa erupsi.

Tak hanya gunung berapi Tipe A, di provinsi paling padat penduduk ini terdapat gunung berapi Tipe B. Gunung-gunung tersebut meski tidak menunjukkan gejala- gejala aktif seperti gempa vulkanik, tetap saja tidak boleh dipandang enteng.

Penyelidik Bumi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bandung, Nia Haerani, menuturkan, penggolongan tipe gunung berdasarkan rekam jejak letusannya. Informasi tersebut berisi tentang karakteristik letusan tiap gunung berapi. Sehingga kegunaan hasil penelitian dan publikasi, bertujuan agar masyarakat tidak hidup dalam ketakutan tanpa landasan ilmiah.

“Ketujuh gunung api ini selalu kami pantau terus-menerus secara periodik melalui pos pemantauan yang tersebar di beberapa titik,” kata Nia dihubungi via telepon, Rabu (19/1/2022) lalu.

baca : Erupsi Tangkuban Parahu, Pesona Gunung Api yang Patut Diwaspadai

 

Sejumlah orang hendak mendaki Gunung Guntur, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Secara karakteristik gunung api di Jabar, tidak pernah misalnya, mengeluarkan letusan kecil seperti yang rutin terjadi seperti pada Gunung Semeru, Jawa Timur. Gunung-gunung di Jabar umumnya sudah lama sekali tidur, sehingga tidak dapat diprediksi kapan terjadi peningkatan aktivitas dan kapan gunung-gunung itu bakal meletus.

“Kalau Semeru mengeluarkan letusan terus menerus berupa material di dalam dapur magma. Interval waktu erupsi yang terpendek satu tahun sedangkan periode terpanjang 24 tahun,” paparnya.

Nia menjelaskan, interval waktu erupsi setiap gunung api berbeda satu dengan yang lain. Terjadinya gejala erupsi di salah satu gunung api, tidak memicu keaktifan gunung api lainnya. Artinya, tidak saling berkaitan.

Adapun data yang dimiliki PVMBG menunjukkan Gunung Ciremai terjadi tercatat pernah tujuh kali meletus sejak tahun 1698 hingga 1937. Letusan Ciremai ini bersifat freatik atau letusan gas dalam skala kecil. Berdasarkan catatan sejarah ini, jeda antar letusan terpendek adalah 3 tahun, sedangkan terpanjang adalah 112 tahun. Setelah itu tidak pernah ada aktivitas lagi selain gempa kecil yang tidak pernah menimbulkan letusan. Gempa-gempa tersebut terjadi tahun 1949, 1955, dan 1973.

baca juga : Rehabilitasi Hutan Diperlukan Pasca Letusan Gunung Semeru

 

Warga menyaksikan keindahan Gunung Guntur, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mirip dengan Ciremai, Gunung Guntur di Garut juga tidak pernah menunjukkan aktivitas. Sejarah mencatat, Gunung Guntur terakhir meletus pada tahun 1887, atau sekitar 134 tahun yang lalu.

Selama periode tahun 1800, gunung ini berkali-kali meletus. Salah satu letusan dahsyat terjadi tahun 1840. Naturalis Belanda kelahiran Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn, yang terpesona dengan Guntur, mencatat letusan itu.

Dikutip dari buku Ekspedisi Hidup Mati di Negeri Cincin Api Harian Kompas, Junghun menuliskan, “Matahari belum lagi terbit ketika tiba-tiba terbentuk tiang api dan asap dari kawah. Lava membara mengalir ke semua arah dari tepinya.”

Konon, nama “guntur” dalam Bahasa Sunda berarti petir. Bisa jadi, penamaan gunung berketinggian 2.445 meter di atas permukaan laut (mdpl) dari letusan yang begitu dahsyat seperti petir membelah langit.

Kedahsyatan nyaris sama dialami Gunung Galunggung, Tasikmalaya. Letusan yang terjadi dalam catatan sejarah terjadi sebanyak 4 kali, yaitu pada 1822, 1894, 1918 dan 1982-1983. Gunung ini memiliki riwayat letusan yang hebat karena terjadi terus-menerus selama sembilan bulan. Letusannya diidentifikasi terjadi mulai 5 April 1982 hingga Januari 1983.

Agak berbeda dengan Gunung Gede, yang terletak di wilayah Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi ini tercatat sudah mengalami erupsi sebanyak 27 kali. Karakteristik Gede pada umumnya berupa erupsi ekplosif berskala kecil dan berlangsung singkat. Interval waktu istirahat aktivitas terpendek satu tahun dan terpanjang 71 tahun. Apabila dihitung dari letusan terakhir pada tahun 1956 hingga tahun ini, maka Gede sudah istirahat selama 65 tahun. Kendati demikian, beberapa kali masih terjadi peningkatan kegempaan walaupun skalanya relatif normal.

baca juga : Gunung Guha: Habitat Udang Purba, Wisata Alam dan Ancaman Eksploitasi Karst

 

Foto udara kawasan Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Melek Mitigasi

Meskipun rekam jejak letusan gunung api Tipe A tercatat dengan baik, kata Nia, masyarakat modern belum banyak memperoleh pengalaman dan pengetahuan mengenai gunung api. Pasalnya, tidak terlalu banyak terjadi gejala yang ditimbulkan gunung api. Padahal, berdasarkan analisis jumlah gunung, frekuensi letusan, dan banyaknya jumlah penduduk di zona bahaya, penelitian dan mitigasi bencana gunung api mutlak dilakukan dengan serius.

Untuk itu, PVMBG membuat diseminasi informasi kebencanaan melalui Multiplatform Application for Geohazard Mitigation and Assessment (MAGMA) Indonesia. Harapannya, masyarakat dan pemerintah daerah mampu mengenali atau setidaknya memahami potensi bencana di wilayahnya.

Sebetulnya, banyak kearifan lokal yang mewariskan sejumlah cara seperti arsitektur tradisional dan tradisi lisan. Akan tetapi, sikap yang mudah melupakan masa lalu dan tidak menganggap sejarah sebagai aspek penting kehidupan mengakibatkan pengetahuan tersebut tidak pernah dibahas.

Bagi masyarakat Sunda, misalnya, bentang alam Tangkubanparahu telah menjadi bagian dari budaya mereka sejak lama. Sebab erat kaitannya dengan Legenda Sangkuriang dan sejarah cekungan Bandung.

Dari sejarahnya, Tangkubanparahu tumbuh dari kaldera Gunung Sunda sekitar 90.000 tahun lalu. Gunung setinggi 2.084 mdpl ini masuk tipe strato dengan ciri khas letusan freatik dan eksplosif. Meski letusan eksplosif hebat pernah terjadi sekitar 40.000 tahun lalu dengan aliran lava menutupi area 189 kilometer persegi, aktivitasnya kini diisi letusan freatik. Terakhir, Tangkubanparahu kembali menggeliat pada 2019 lalu.

menarik dibaca : Gunung Api Bawah Laut Kawio Barat, Permata Alam di Kepulauan Sangihe

 

Foto udara kawasan penduduk yang dekat dengan lempengan Sesar Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sejak peristiwa itu, banyak masyarakat yang mulai memahami resiko hidup di negeri cincin api ini. Salah satunya, Adi Permana (28), warga Tamansari, Kota Bandung. Didorong rasa cemas, dia mulai peduli terhadap informasi kebencaan. Kendati adanya inisiatif mandiri, Adi berharap adanya peran pemerintah daerah untuk terus memberi edukasi dan sosialisasi secara simultan.

“Karena belum punya pengalaman menghadapi letusan besar. Selama ini merasa aman-aman saja, tetapi tidak ada salahnya jika kita bisa belajar lagi dari sejarah masa lalu,” ucapnya.

Rujukan Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) sudah dibuat PVMBG. Peta ini merupakan pedoman pemanfaatan ruang berdasarkan kerentanan bencana. Peta tersebut seharusnya dijadikan acuan bagi kepala daerah untuk merancang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sebab, di dalam KRB tersaji informasi kawasan yang pernah terlanda dan diidentifikasi berpotensi terancam bahaya letusan pada masa yang akan datang.

“Sederhananya, kalau peta KRB itu dipenuhi itu sudah aman. Karena erupsi gunung api bukan sesuatu yang dapat dicegah. Ini merupakan sebuah fenomena alam (yang siklusnya berulang),” pungkas Nia. Butuh kesadaran kolektif dari berbagai pihak agar dampak bencana gunung api dapat diminimalisasi.

 

Exit mobile version