Mongabay.co.id

Memaknai Kesejahteraan Lewat Relasi Manusia dan Alam

 

 

 

Indikator kesejahteraan ekonomi Indonesia belum mewakili masyarakat secara utuh. Melihat kondisi itu RMI-Indonesia Institute for Forest and Environment bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial meluncurkan hasil riset “kesejahteraan lahir batin.” Riset ini dilakukan di empat komunitas masyarakat yakni, Desa Linau (Bengkulu), Kampung Mului (Paser Kalimantan Timur), Kasepuhan Cibedug, Lebak (Banten), dan Kampung Sodan Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur).

Penelitian sejak 2020 ini dilakukan AKAR Foundation, Perkumpulan Padi Indonesia, RMI dan Sekola Institute. Ruth Indiah Rahayu, peneliti utama mengatakan, riset ini sebagai upaya melihat kesejahteraan lebih menyeluruh, tak hanya berdasarkan indikator-indikator ekonomi.

“Berbagai indikator global yang dikembangkan untuk memasukkan berbagai unsur non-ekonomistik, pada akhirnya tetap terjebak pada ukuran-ukuran ekonomi,” katanya.

Pada indikator-indikator global seperti Human Development Index, Sustainable Development Goals, Happiness Index, GNI per capita, maupun Multidimensional Inclusive Development, Indonesia selalu berada pada urutan bawah.

Riset ini didesain untuk jadi indikator yang dapat melengkapi indikator global yang ada agar lebih memahami komponen yang dianggap penting bagi masyarakat terkait kesejahteraan. Jadi, berbagai program pembangunan dapat diarahkan untuk mencapai indikator-indikator itu, sesuai karakter dan perspektif masyarakat.

Temuan riset Ruth dan para peneliti menunjukkan, dua aspek yaitu ‘pemeliharaan’ dan ‘providence’ atau ke-ilahian menjadi dasar masyarakat adat mendefinisikan kesejahteraan lahir batin mereka.

Dua hal itu, katanya, hilang dalam ekonomi kapitalistik, modernitas, dan ekonomi ala barat yang jadi ukuran indikator global saat ini.

Kesejahteraan masyarakat adat menunjukkan perspektif kuat dalam memperhatikan relasi manusia dengan sesama, dengan lingkungan lewat sistem kepercayaan.

Konsep kesejahteraan ekonomistik yang selama ini jadi basis berbagai program pembangunan, katanya, mengesampingkan berbagai aspek penting dan hidup pada masyarakat Indonesia. “Khusus pada mereka yang bergantung kepada kekayaan alam.”

 

Kawasan laut dan daran (Palau Um) ini dilindungi oleh Masyarakat Adat Moi Kelim, bagian dari Kampung Malaumkarta, Sorong, Papua. Pulau tak boleh diganggu dan jadi obyek ekowisata . AMAN juga melakukan valuasi di wilayah adat ini.  Di wilayah adat ini, ada zonasi wilayah budidaya sampai lindung. Dengan ekonomi model masyarakat ini mereka bisa hidup sejahtera. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Ada tiga prasyarat dalam relasi manusia, yaitu persoalan peluang, kebebasan dan daya kuasa. Tiga indikator itu, yang menentukan kesejahteraan seseorang tercapai melalui 10 ukuran kapabilitas individu.

Relasi manusia dengan alam, katanya, terlihat dari empat komunitas ini. Keempat komunitas memiliki axis mundi atau ‘poros jagad’ yang sama yaitu ekosistem akuifer (perairan, baik di permukaan maupun dalam bumi).

Akuifer ini jadi syarat utama kehidupan dan penghidupan mereka di lokalitas masing-masing. Axis mundi ini seringkali diperlakukan sebagai wilayah-wilayah sakral, misal, hutan larangan.

Ruth memperkirakan, pada masyarakat urban yang tidak lagi bergantung pada kekayaan alam, axis mundi ini bergeser pada uang, walaupun ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

Wahyubinatara Fernandez, Direktur Eksekutif RMI sekaligus koordinator riset ini memaparkan, gagasan riset ini bermula dari berbagai diskusi masyarakat sipil pada pertengahan 2019. Ketika itu wacana kemudahan investasi menguat di awal periode pemerintahan Joko Widodo.

Padahal, banyak kajian dan kasus mengemuka menunjukkan investasi skala besar tidak dinikmati oleh masyarakat lokal serta tidak berkelanjutan.

Dia mengatakan, pengalaman krisis ekonomi juga membuktikan bagaimana ekonomi kecil yang paling mampu bertahan. “Kami melihat perlu ada narasi yang mengimbangi dan mengedepankan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal,” kata Wahyu.

Permasalahan mendasar adalah indikator kesejahteraan ekonomi saat ini tak secara utuh hingga perlu perspektif lain agar penilaian kesejahteraan diperluas dan mencakup ruang hidup.

“Ketika masyarakat adat bergantung kepada sumber air, ketika air hancur, kehidupan mereka hancur, “ katanya.

 

Masyarakat adat Kesepuhan di Lebak, sejak lama menanti pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka oleh negara. Dengan perda yang sedang disusun setidaknya menjadi salah satu cara memberikan perlindungan bagi mereka. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Wahyu mengatakan, hasil riset ini memperlihatkan tingkat kesejahteraan masyarakat berbeda-beda, misal, di Kampung Mului, lebih sejahtera karena ekosistem terjaga, kebutuhan dari tiga aspek yaitu peluang, kebebasan dan daya kuasa masih bagus. Jadi, relasi antar manusia, lingkungan dan kepercayaan masih terjaga.

“Masyarakat Mului, ada kekayaan emas, tetapi diambil secukupnya ketika butuh biaya anak sekolah, tidak ditambang terus menerus.”

Axis mudi masyarakat disana, katanya, masih bergantung kepada alam hingga mereka mempunyai daya kuasa.

Di Linau, ketergantungan masyarakat kepada uang meminjam ke koperasi membuat mereka tak terlihat sejahtera. “Karena historisnya, dulu mereka tinggal di gunung, dipaksa pindah ke pesisir karena ekspansi lahan sawit. Akhirnya, ekosistem mereka hilang, di laut mereka hanya tau tangkap ikan dan jual,” kata Wahyu.

Yang kami temui, katanya, ketika sistem ekonomi perantara uang atau dikendalikan uang. “Daya kuasa tidak ada, tidak ada kendali terhadap diri, kita sekarang bergantung kepada itu, dikendalikan pasar, dilabeli paling dekat menuju kesejahteraan,” katanya kepada Mongabay.

Riset ini, katanya, melihat keterancaman kesejahteraan masyarakat korban penggusuran, konflik agraria, konflik sumber daya alam. Pasalnya, relasi mereka berubah ketika harus menghadapi lingkungan yang baru. “Relasi alam mereka bubar, kepercayaan bubar, yang paling tidak sejahteraan mereka yang terdampak ini.”

Melani Abdulkadir Sunito, pengajar di Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, metode riset aksi yang dipergunakan memberi peluang pemberdayaan di tingkat komunitas.

Indikator-indikator kesejahteraan menurut masyarakat yang jadi temuan riset ini dapat digunakan untuk memperkuat masyarakat dalam melihat komunitas mereka sendiri.

Senada dikatakan Faisal Basri, ekonom senior dan pengajar di Universitas Indonesia sekaligus pendiri Institute for Development of Economics & Finance (Indef). Dia bilang, riset lahir batin jadi metode pionir yang harus dikembangkan lebih lanjut. Menurut dia, riset ini berhasil mengkonfirmasi dan menunjukkan dengan detail ketidakcocokan arah pembangunan makro yang dianut pemerintah dengan kesejahteraan daerah.

“Saat ini, saya melihat ada kesadaran kolektif di tengah masyarakat sipil untuk membangun narasi-narasi serupa dengan ini,” katanya.

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, cara pandang kesejarahan yang menyeluruh ini mengisyaratkan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

“Tantangan selanjutnya, bagaimana hasil riset ini dikomunikasikan kepada para pengambil kebijakan agar lebih memahami makna kesejahteraan yang tepat, sesuai dengan kondisi masyarakat.”

Salah satu rekomendasi riset ini, kata Wahyu, adalah mengesahkan UU masyarakat adat maupun reforma agraria. “Rekomendasi kita orang kampung tidak perlu gas, mereka bisa masak dengan kayu bakar, bahkan hasil masakan lebih enak,” kata Wahyu.

Riset ini akan terus dikembangkan dengan jenis sampel masyarakat lokal lain, termasuk masyarakat sub urban. “Kita mendorong ini hingga menjadi suatu alat ukur mengambil kebijakan, konflik kesejahteraan semu.”

 

*****

Foto utama:

Exit mobile version