Mongabay.co.id

Kala Pemerintah Klaim Sukses, Begini Cerita Petani soal Food Estate di Humbang Hasundutan

 

 

 

 

 

Mulsa plastik abu-abu menutupi lahan di sepanjang area tanam di lumbung pangan, Desa Siriaria, Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara, Desember lalu. Siregar, sedang tanam kentang di lahan seluas dua hektar di kawasaan proyek pengembangan pangan skala besar (food estate). Setelah panen pertama, dia tanam kentang secara mandiri, menolak bekerjasama dengan perusahaan offtaker.

Selain kentang, komoditas di proyek food estate itu adalah bawang merah dan bawang putih. Memasuki masa tanam kedua, lahan banyak kosong, ditinggal petani atau pemilik lahan.

Dalam laman Pertanian.go.id, Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim dan Investasi, mengatakan, pengembangan food estate Humbahas memberikan hasil menggembirakan. Pada penanaman perdana, kentang hasilkan 15 ton per hektar, bawang merah dan bawang putih 5,8 ton per hektar.

Dinas Pertanian Humbahas sebutkan, panen kedua meningkat signifikan. Yonepta Habeahan, Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Holtikultura mengatakan, dua ton bibit bentang menghasilkan 18 ton per hektar.

“Menghasilkan kelipatan sembilan, melebihi target 15 ton,” katanya saat wawancara di Dinas Pertanian Humbahas, Doloksanggul.

Dia bilang, hasil bawang putih belum adaptif saat awal percobaan penanaman, berbeda dengan bawang merah dan kentang. Meskipun begitu, bawang putih pada tahap kedua sudah mulai terbiasa terhadap cuaca dan tanah di sana. Kerjasama petani dengan perusahaan Parnaraya di lima hektar lahan, katanya, berhasil terjual seharga Rp20.000 per kg.

Varietas kentang yang ditanam khusus industri dari bibit Indofood. “Sekarang sudah dipakai untuk Chitatoo (snack). Kentang kita sudah sampai ke Tangerang.”

 

Baca juga: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara

 

Bagaimana cerita petani? Op. Kristina Banjarnahor, seorang petani lokal merasa kecewa dengan sistem pertanian skala besar ini. Masa panen pertama (MT-1) bawang merah, bawang putih dan kentang tak sesuai target awal. Harga pun jauh dari harga pasar Rp8.000 per kg.

Di dalam rumah Banjarnahor terlihat ratusan ikat bawang merah tergantung di langit-langit rumah. “Harga bawang masih murah, kami tahan dulu sampai harga normal,” katanya sambil mengupas kulit bawang merah, di kediamannya, Desa Siriaria, Kecamatan Pollung, Humbahas. Bibit yang dia pakai dari hasil panen pertama di lahan food estate seluas dua hektar.

Dia cerita soal panen kentang yang tak mencapai target. “Hasilnya kurang memuaskan. Banyak busuk, kecil-kecil. Syukurlah, dapat bantuan bibit gratis, pupuk kompos, dolomit, pestisida, mulsa, dan satu unit cultivator (alat membajak),” katanya. Meskipun begitu dia merasa rugi tenaga maupun waktu.

Banjarnahor bilang, dari awal mulai pengolahan, penananam, hingga pasca panen terburu-buru. Sepanjang pengalaman Banjarnahor bertani, tanah yang baru saja diolah harus istirahat (didiamkan) beberapa minggu, lalu diolah kembali, dibersihkan, baru diberi pupuk.

“Karena lahan baru dibuka, tanah masih basah.” Di sana masih banyak akar pohon bekas tebang.

Pengalaman pertama Banjarnahor menanam kentang cukup menguras waktu dan tenaga, hingga harus meninggalkan tanaman lain yang dia tanam sebelumnya, seperti kopi, cabe, bawang merah, dan sayur-sayuran.

Kali pertama masih didampingi dari Ditjen Holtikultura, Kementerian Pertanian. Tim pendamping sudah ditarik ke pusat, proyek diambil alih Kementerian Maritim dan Investasi.

“Ada tim transisi yang dibentuk KemenMarves,” kata Wisler Lumbanbatu, PPL Dinas Pertanian Kabupaten Humbahas, saat wawancara melalui telepon.

Baca juga: Food Estate di Humbang Hasundutan Mulai Jalan, Bagaimana Keterlibatan Petani?

Petani di Humbang Hasundutan di area food estate. Foto: Barita News Lumbangbatu/ Mongabay Indonesia

 

Banjarnahor juga mengeluh soal sistem penjualan berbelit-belit, harus melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB), koperasi yang dibentuk sejak awal sebagai perantara perusahaan. “Harga kentang sekg Rp4.000, di bawah harga pasaran. Itupun yang kecil-kecil mereka (perusahaan) gak mau ambil.”  Banjarnahor menolak menjual ke koperasi atau perusahaan offtaker, lebih memilih mencari pembeli sendiri ke tengkulak. “[Di tengkulak] harga Rp6.000-Rp8.000 per kg.”

“Saya gak mau bergantung sama perusahaan”, kata Banjarnahor.

Manurung, menantu Banjarnahor, berinisiatif mengumpulkan panen kentang petani food estate, termasuk umbi yang kecil, dijual ke Pasar Doloksanggul, sebagian ke Kabanjahe (Karo).

“Yang kecil Rp4.000 per kg,” kata Manurung. Dia menjual kentang sekitar 30 ton.

Banjarnahor bilang, dari semua bibit yang ditanam, hanya 30% berhasil. “Pupuk yang dikasih terlalu sedikit, sementara bibit yang ditanam 300 kilogram per satu hektar,” katanya.

Dia juga sebutkan soal tanah masih terlalu basah, dan pH (unsur hara) terlalu tinggi. “Kalau mau hasil bagus, setidaknya harus tiga kali pemupukan.”

Menanggapi kekurangan pasokan bibit ke petani, Dinas Pertanian Humbahas melemparkan kebijakan itu ada pada Ditjen Holtikultura.

“Sejak awal memang kita berupaya supaya petani swadaya (mandiri). Jangan terlalu tergantung bantuan pemerintah,” kata Yonepta.

Cuaca juga tak menentu di Desa Siriaria. Data BMKG, suhu terendah di Desa Siriaria mencapai 14 derajat celcius. Area food estate berada di ketinggian 1.400-1.600 mdpl (meter di bawah permukaan laut), masih termasuk hutan hujan tropis, curah hujan pun tinggi.

 

Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

Sebagian petani di food estate memilih jual bawang hasil panen ke pasar sendiri. Kalau jual ke perusahaan offtaker, yang melalui koperasi terlebih dahulu, harga malah lebih rendah dari yang pengepul ambil atau saat jual ke pasar langsung. Petani pun kalau tak jual ke pasar langsung, ya ke pengepul. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Yonepta tak menampik kalau tanaman sering terserang penyakit. “Ada yang disebut ‘embun tepung’, senyawa debu dan lengket, dapat mempengaruhi fotosintesis pada tanaman. Tapi kalau rajin disemprot air, tak jadi masalah,” katanya.

Musim tanam kedua (MT-2), petani diberi pilihan antara kelola lahan mandiri atau bekerjasama dengan perusahaan. Banjarnahor tak punya cukup modal untuk lanjut menanam di lahan seluas dua hektar.

“Pupuk, bibit, pestisida, upah pekerja, setidaknya butuh modal Rp20 juta”, katanya.

Dia harus berpikir ulang melanjutkan tanam kembali, mengingat harus membagi waktu merawat tanaman kopi, cabai, bawang merah dan kentang.

 

***

Pemerintah akan memperluas lahan untuk kebutuhan food estate di Humbahas. Menurut Dinas Pertanian Humbahas target 1.000 hektar pada 2022. “Ada tiga titik. Desa Siriaria, Hutajulu, dan Parsingguran I, “ kata Wisler Lumbanbatu, PPL Dinas Pertanian Humbahas.

Dinas Pertanian belum memberikan keterangan pasti mengenai kapan kelanjutan tanam, masih tahap survei lokasi dan sosialiasi ke masyarakat pemilik lahan. Dia masih menunggu koordinasi dari tim transisi yang dibentuk MenkoMarves.

“Kami (Dinas Pertanian Humbahas) sifatnya hanya memfasilitasi kalau ada pertemuan atau seminar-seminar,“ kata Yonepta.

Van Basten Panjaitan, Manajer Lapangan Food Estate Humbahas yang berkantor di Kabupaten Humbahas, tidak memberikan jawaban saat Mongabay, berusaha mengkonfirmasi seputar tahap lanjutan food estate di Humbahas.

Saat ini, perusahaan offtaker yang aktif bekerjasama dengan petani adalah Parnaraya, sebagai penyedia benih bawang putih, lalu Euwindo (bawang merah) dan PT Indofood (benih kentang).

Sejak pembukaan food estate di Desa Siriaria, Juli 2020, tercatat seluas 900 hektar untuk investor.

“Perusahaan Calbe Wings, Champs, dan lain-lain belum masuk, mereka hanya survei lokasi, uji lab Ph tanah. Mereka belum ada stok benih. Mungkin tahun 2022 akan aktif dan mulai investasi”, kata Yonepta.

 

Baca: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

Jalan menuju dan di area food estate, tak semuanya bagus… Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Terkendala infrastruktur

Infrastrktur sekitar lahan food estate pun terbilang belum semua memadai. Parningotan Manalu, pemilik tanah, sekaligus Sekretaris Kelompok Tani Maju dengan lahan berada di ujung petakan. Akses jalan ke sana, belum beraspal, masih ada bekas pembukaan hutan dan banyak akar pohon, serta berbatu.

Kesulitan akses masuk membuat pasokan kebutuhan logistik seperti bibit, pupuk, pestisida, dan lain-lain terlambat. “Kalau di sana (tengah) jalan sudah bagus, jadi transportasi bisa masuk. Kalau begini susah,” kata pria 55 tahun ini di Desa Siriaria.

Jalan hotmix baru rampung 7,6 kilometer atau sekitar 87,38% dari rencana awal 8,7 kilometer, dengan lebar 11,5 meter. Tebal aspal 30-35 sentimeter. Listrik tak masuk ke lahan Manalu. Tiang listrik setinggi lima meter dan CCTV, hanya terpasang di lahan percobaan yang bekerjasama dengan perusahaan offtaker.

Manalu hanya mengandalkan air hujan. Lumbung pangan skala besar ini pakai sistem irigasi tetes, air keluar dari pipa yang diberi lubang. Air disalurkan dari embung (kolam) kecil guna mengantisipasi bila kemarau tiba. Sedangkan di lahan yang mudah akses, air disalurkan dari truk yang berisi air (depot) milik perusahaan.

Sepeda motor dan truk angkut barang sulit masuk ke lokasi tanam Manalu. Di dalam pondok kecil berukuran 4×4 meter, tempat dia beristirahat dan sesekali menginap. Jarak rumahnya cukup jauh. Di pondok itulah, dia menyimpan pupuk, pestisida, dan peralatan memasak.

“Dulu, pemerintah janji selesaikan pompa air akhir 2020. Sprinkle atau alat penyiram otomatis juga tak berfungsi sejak awal proyek food estate,” katanya.

Menanam bawang putih di lahan dua hektar, dan Ph tinggi, Manalu perlu 10-15 ton kompos, lebih banyak dari tanah normal. Untuk mendistribusikan logistik seperti pupuk, pestisida, dan bibit ini perlu kendaraan roda tiga dengan pengangkut barang seperti becak, bantuan dari Kementerian Pertanian.

“Roda kendaraan bisa tersendat dalam lumpur, apalagi kalau datang hujan.” Lokasi Manalu berada di ketinggian 1.600 mdpl. Di sekitar masih banyak pohon, lahan berbatasan dengan hutan.

Dia perlu 40 hari menyemai benih bawang merah sebelum pindah ke lokasi tanam. Manalu juga menanam jagung, bekerjasama dengan PT Bisi. Di sisa lahan, dia sisipkan bibit cabai untuk kebutuhan sehari-hari selama tinggal di pondok.

“Kalau waktu itu (MT-1), bawang putih bisa dibilang gagal,” katanya. Kala itu, katanya, bibit, pupuk, pestisida, mulsa dan lain-lain sampai ke lokasi agak terlambat. Dia merogoh kantong Rp4 juta buat upah delapan orang untuk membersihkan dan merawat bawang putih.

Kalau saja semua sarana berjalan dan akses bagus, dia bisa kerjakan lahan seluas dua hektar tanpa perlu keluar uang Rp4 juta untuk sewa pekerja. Rata-rata buruh harian lepas dapat upah Rp80.000. “Mau gimana lagi, kalau telat dikit, bisa gagal panen.”

Manalu sudah berutang Rp40 juta ke bank. Kini, dia harus memikirkan cara melunaskan pinjaman itu. Bila panen berhasil, dia juga mesti membayar pinjaman bibit dari perusahaan.

Tiga kilometer dari Desa Siriaria, Desa Hutajulu. Desa yang juga sasaran food estate ini sudah selesai bangun embung penampung air seluas lapangan tenis. Sarana irigasi dibangun untuk lahan yang akan dibuka seluas 120 hektar, sudah rampung 23 hektar.

Food estate lain, Desa Parsingguran II, sudah terbangun lokasi pembibitan kentang seluas tiga hektar. Ada puluhan green house (rumah kaca), perusahaan Indofood yang menyediakan bibit ke area penanaman. Sarana itu untuk mengelola komoditas dari hulu ke hilir.

Kami mencoba masuk ke areal pembibitan tetapi tak mendapatkan izin.

Di sini, pemerintah juga membangun proyek percontohan pengembangan ternak sapi di Desa Parsingguran, Kecamatan Pollung. Kementan memberikan bantuan sapi Belgian blue, enam jantan dan dua betina untuk proyek food estate di Humbahas.

Baca juga: Kala Proyek Food Estate Bisa Makin Sulitkan Petani dan Dorong Krisis Pangan

Kopi, salah satu tanaman warga di Humbahas. Selain bertani sayur mayur (sekarang ada food estate), warga juga tanam kopi dan deres getah kemenyan. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Kopi, andaliman dan kemenyan

Warga Desa Siriaria, sudah sejak lama menanam kopi. Jenis kopi arabika sudah jadi tanaman unggulan desa ini yang biasa dikenal dengan nama ‘Kopi Lintong’.

Banjarnahor mendapat penghasilan tambahan dari mengumpulkan biji kopi milik warga sekitar. Biji kopi dia kumpul di rumah, di ruang tengah. Dia jadi pengepul kopi dengan harga Rp38.000 per kg.

Setelah terkumpul dua atau tiga karung, lalu dia jual lagi ke pasar.

Setiap dua kali dalam seminggu, istrinya, Manullang, pergi ke Pasar Dolloksanggul, menjual bawang merah dan kopi. Dia menjual biji kopi Rp39.000-Rp40.000 per kg. “Yah, ambil untung Rp1.000-Rp2.000, buat nutupi keperluan dapur,” kata Manullang, istrinya. Pasar Dollok Sanggul, buka sepekan sekali, setiap Jumat.

Manullang tiba di Pasar Jumat pukul 7.00 pagi bersama barang dagangan: tiga karung bawang merah ukuran 50 kg, dan satu karung biji kopi.

“Apa yang kau bawa itu? Bawang merah? Berapa harganya” kata pembeli sekaligus pengecer.

“Rp15.000 per kg,” kata Manullang.

“Rp14.000-lah.”

“Ya sudah.”

Manullang menimbang dua karung bawang merah, sisanya dia jual ke pembeli lain Rp10.000.

“Karena terlalu lama dipendam. Tak apalah, daripada tak laku,” katanya Biji kopi terjual Rp39.000 perkg.

Di Desa Siriaria, masih ada tanaman endemik andaliman. Secara umum tanaman khas Batak ini tumbuh liar di dalam hutan. Walaupun kini sudah ada petani yang budidaya.

Andaliman, merupakan tanaman dengan buah (biji) kecil berwana hijau ini biasa sebagai campuran bumbu. Rasanya asam seperti jeruk. Ada juga yang mencampur dengan gilingan sambal hijau untuk santapan ikan bakar.

“Sekarang Rp100.000 per kg,” kata Siregar, warga Desa Siriaria. Saat itu dia hendak menjual andaliman di Pasar Doloksanggul.

Buah andaliman yang bermutu bagus, katanya, meski masuk ke hutan.

Selain itu, penghasilan warga sekitar juga dari menderes pohon kemenyan. Getah kemenyan punya nilai tinggi, paling rendah Rp250.000 per kg. Untuk kualitas nomor satu bisa Rp500.000 per kg.

Desa Siriaria berbatasan dengan hutan alam. Masih banyak pohon kemenyan.

Sejak dibuka lahan buat food estate, pohon kemenyan (haminjon) (kemenyan) berkurang. Getah yang antara lain bisa jadi bahan dasar parfum itu sudah jadi sumber ekonomi warga turun-temurun.

Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)—organisasi masyarakat sipil pendamping masyarakat adat—mengatakan, seluas 2.051 hektar hutan kemenyan terancam bila pemerintah memaksakan program pengembangan pangan skala besar di daerah itu.

 

Area food estate di Humbahas, yang mulai masuk panen kedua pada November tahun lalu. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Food estate tak jawab krisis pangan

Food estate, sebagai proyek strategis nasional ini mendapat sorotan dari banyak pihak, seperti Serikat Petani Indonesia (SPI). Organisasi tani ini mendesak pemerintah memenuhi hak-hak petani yang terkena proyek food estate agar mereka kelola lahan mandiri.

SPI menilai, proyek ini sebaiknya melibatkan peran aktif petani, dan produsen pangan skala kecil, bukan industri atau korporasi.

Zubaidah Tambunan, Ketua DPW SPI Sumut, memberi sinyal food estate di Sumut, tak akan menjawab krisis pangan, apalagi soal kedaulatan pangan.

Food estate juga membutuhkan investasi besar yang menghabiskan keuangan negara.” Padahal, Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan, petani dan pertanian kecil yang dikelola keluarga petani (family farming) yang memberi makan masyarakat dunia, bukan korporasi pertanian.

Sebaliknya, pemerintah menilai positif investasi di food estate, untuk itu pihak KemenMarves akan menargetkan penambahan lahan seluas 2.000 hektar di Humbahas.

PT Indofood uji coba dengan benih kentang lokal di Desa Lintong Nihuta dengan di food estate lahan bukaan baru dengan luas satu hektar. Kedua lahan ini ditanami 24.000 bibit kentang. Bibit kentang di Lintong Nihuta hasilkan 32,3 ton, di demplot masa tanam pertama hanya 20,9 ton.

Van Basten, Manajer Lapangan Food Estate Humbahas, mengatakan, hasil panen petani akan meningkat di masa tanam kedua dan ketiga.

Kesuburan tanah meningkat di masa itu. Dia yakin, uji coba benih lokal yang mereka lakukan akan memberi keuntungan lebih besar.

“Dengan treatment yang tepat hasil panen akan lebih besar,” katanya.

Benarkah ‘menguntungkan’ dan hasil panen ini akan meningkatkan kehidupan petani yang ada di food estate Humbahas?

 

Exit mobile version