- Setidaknya 30.000 hektar lahan eks proyek laham gambut (PLG) di Kalteng jadi lahan percontohan lumbung padi baru, dengan 10.000 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektar di Kapuas. Sisanya, seluas 130.000-an hektar dibangun pada 2021 dengan total 160.000-an hektar lebih. Pada 23 September lalu, dalam rapat terbatas soal food estate, presiden menyatakan, selain di Kalteng dan Sumatera Utara, lumbung pangan akan ada di provinsi-provinsi lain seperti Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur sampai Papua.
- Iwan Nurdin, Plt Presiden Food First Information and Action Networt (FIAN) Indonesia mengatakan, kondisi petani di tengah masa pandemi makin terpuruk. Meski Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik menyatakan, pertanian jadi salah satu yang tumbuh di tengah resesi ekonomi, tidak berarti perekonomian petani meningkat.
- Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Papua mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan rencana pembangunan lumbung pangan (food estate) di Papua. Dalam kasus food estate di Papua, negara memberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk menguasai lahan skala besar. Hal ini berdampak pada masalah perampasan lahan masyarakat adat dan pembababatan hutan. Pada tahap awal pembangunanannya, food estate sudah mengkibatkan krisis di internal masyarakat termasuk krisis pangan. Pun demikian dengan lingkungan.
- Berbagai penelitian sudah menunjukkan, produksi dari pertanian skala kecil padat tenaga kerja jauh lebih tinggi daripada produksi unit pertanian yang didukung oleh teknologi tinggi. Dengan demikian menjawab masalah krisis pangan dengan mendorong para petani meningkatkan produksi, jauh lebih meguntungkan dibanding mengundang korporasi pangan.
Presiden Joko Widodo kembali meninjau program lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah, 8 Oktober lalu, di tengah aksi massa menolak pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (omnibus law).
Setidaknya 30.000 hektar lahan eks proyek laham gambut (PLG) di Kalteng jadi lahan percontohan lumbung padi baru, dengan 10.000 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektar di Kapuas. Sisanya, seluas 130.000-an hektar dibangun pada 2021 dengan total 160.000-an hektar lebih. Kedatangan Jokowi ini kali kedua setelah kunjungan pertama Juli lalu.
Baca juga: Bertani di Lahan Gambut, Jangan Mengulang Kesalahan Masa Lalu
Sekitar 1.000 hektar lahan food estate, selain tanam padi, akan kombinasi dengan komoditas lain, seperti jeruk, kelapa, bawang merah dan peternakan berupa ikan dan itik.
“Jika hasil bagus, model bisnis ini juga akan diterapkan di daerah lain,” kata Jokowi pada kunjungan awal Oktober itu.
Pada 23 September lalu, dalam rapat terbatas soal food estate, presiden menyatakan, selain di Kalteng dan Sumatera Utara, lumbung pangan akan ada di provinsi-provinsi lain seperti Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur sampai Papua.
Pada 12 Oktober 2020 dalam wawancara yang direkam courtesy DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan menyebutkan, masalah pangan itu strategis dalam bernegara. Peran Prabowo adalah untuk mengamankan cadangan pangan. Jokowi menunjuk Menhan mengurusi lumbung pangan singkong.
“Food is weapon and as a weapon,” katanya dalam video itu.
Petani bisa makin terpuruk
Iwan Nurdin, Plt Presiden Food First Information and Action Networt (FIAN) Indonesia mengatakan, kondisi petani di tengah masa pandemi makin terpuruk. Meski Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik menyatakan, pertanian jadi salah satu yang tumbuh di tengah resesi ekonomi, tidak berarti perekonomian petani meningkat.
Baca juga: Lahan Gambut Eks PLG Satu Juta Hektar, Bagaimana Kabarnya Saat ini?
Pembatasan sosial skala besar menyebabkan harga komoditas anjlok, sekalipun itu terdapat panen raya. Di tengah situasi ini, pemerintah mau bangun lumbung pangan di Kalteng, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sumba dan Papua.
“Hari Petani 2020 ini situasi makin tidak baik untuk petani. Ada orientasi membangun pertanian tanpa petani. Jadi pangan dan produk pertanian hendak diserahkan ke korporasi pangan,” katanya.
Laksmi Savitri, Ketua Dewan Nasional FIAN Indonesia mengatakan, upaya pembangunan lumbung pangan ini jadi upaya dalam mengubah tatanan pertanian di Indonesia. Apalagi, pemerintah menyebutkan, investor asing sudah mengantri dalam proyek lumbung pangan. Korporasi pertanian pun, katanya, terlihat dari pembangunan lumbung pangan di Sumut digawangi PT Indofood.
Dia menyayangkan, proyek lumbung pangan ini mendorong korporasi bukan koperasi petani. Kondisi ini, katanya, jelas merugikan petani, karena selama ini mereka bertani bukan bicara untung dan rugi, tetapi pemenuhan keperluan keluarga.
Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar
Dalam peningkatan produktivitas petani, katanya, mestinya dengan subsidi alat pertanian dan keberpihakan kepada nasib petani.
Menurut Ben White, International Institute of Social Studies Den Haag, Indonesia tak perlu pertanian pangan monokultur skala luas.
“Efektif efisien ini adalah memaksimalkan hasil produksi per hektar dengan meminimalkan input modal.”
Selain itu, sistem pangan dari usaha tani skala kecil dia nilai lebih unggul, secara ekonomi, sosial dan ekologi. Pertanian skala besar dan monokultur dinilai tidak berkelanjutan.
White menilai, perlu ada pengelolaan nilai tambah dari pertanian saat ini, tak hanya berbicara dari hulu ke hilir yang biasa dikuasai juragan lokal atau agribisnis.
Tolak ‘food estate’ Papua
Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Papua mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan rencana pembangunan lumbung pangan (food estate) di Papua. Organisasi-organisasi tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Food Estate di Papua, pada 28 September lalu mengeluarkan pernyataan sikap mereka.
Koalisi ini terdiri dari Walhi Papua, KPCK Sinode GKI di Tanah Papua, Perkumpulan Advokat HAM (Paham) Papua, Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (Pt-PPMA) Papua, SKP Keuskupan Agung Merauke, Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat , SKPKC Fransiskan Papua , KIPRa Papua dan Pengurus Nasional Papuan Voices.
Baca juga: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas
Mereka menyatakan, pembangunan industri pangan akan membuka hutan skala besar dan menghancurkan ruang hidup masyarakat adat Papua. Berdasarkan data koalisi, pemerintah berencana mengkonversi 1.304.574 ha kawasan hutan dan 734.377 hektar areal penggunaan lain di Merauke.
Food estate jadi jawaban pemerintah atas ancaman krisis pangan nasional dan dunia. Pemerintah membuka lahan skala besar dan menyerahkan pengelolaan kepada industri.
Di Papua, proyek food estate sudah mulai sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2010, SBY mengembangkan proyek food estate di Merauke, dengan nama Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE) seluas 1,3 juta hektar. Di lahan ini, pemerintah memberikan izin-izin usaha budidaya pertanian tanaman pangan, perkebunan tebu dan sawit, serta hutan tanaman industri kepada 45 perusahaan. Pada 2015, proyek ini lanjut oleh Jokowi.
Sabata Rumadas perwakilan koalisi mengatakan, proyek ini telah menimbulkan banyak maslaah. Izin yang keluar dari pemerintah melegitimasi perampasan lahan milik masyarakat adat. Konflik kepemilikan di masyarakat adat tidak terhindarkan.
Perubahan lingkungan akibat pembukaan lahan skala besar juga berdampak pada perubahan kebudayaan secara dratis.
Masyarakat, katanya, kehilangan sumber pangan dan ekonomi, kehancuran sistem pengetahuan tentang adat, bahasa, hingga religi.
“Bagi masyarakat adat, hidup mereka bukan saja tergantung pada alam, tetapi hidup mereka menyatu bersama alam. Kepunahan alam berarti mengancam keberlanjutan masyarakat adat,” katanya.
Picu krisis pangan
Sistem pangan nasional sangat terkait dengan kebijakan politik. Sejak lama Pemerintah Indonesia memilih menyelesaikan masalah krisis pangan dengan menghadirkan investor di sektor pangan. Di bawah pimpinan Jokowi, kebijakan itu lanjut bahkan diperkuat.
“Itu terlihat dari omnibus law yang baru saja disahkan dan beberapa strategi program yang dikeluarkan Kementerian Pertanian. Petani-petani kecil akan diintergrasikan ke dalam kekuatan-kekuatan besar di sektor pertanian yaitu orang-orang yang bermodal besar,” kata Marsen Sinaga, Direktur InsistPress, saat bedah buku “Berebut Makan: Politik Baru Pangan” yang ditulis Paul McMahon terbitan InsistPress.
Alih-alih jadi solusi krisis pangan, dalam buku Paul McMaron menyatakan, selain harga pangan makin mahal, produksi dan distribusi pangan makin dikuasai korporasi. Kondisi ini, katanya, justru jadi salah satu penanda krisis pangan.
“Salah satu unsur krisis pangan adalah kalau penyediaan pangan makin ditentukan korporasi pangan yang mengakibatkan ketergantungan. Artinya, variabel atau unsur kedaulatan makin tak ada dalam hal apa yang dimakan oleh setiap orang.”
Di tangan korporasi, pangan tak jadi hak dasar masyarakat untuk kehidupan tetapi obyek pencarian keuntungan. Produksi jenis pangan pun, katanya, yang paling bisa menghasilkan keuntungan besar.
Dalam kasus food estate di Papua, negara memberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk menguasai lahan skala besar. Hal ini berdampak pada masalah perampasan lahan masyarakat adat dan pembababatan hutan. Pada tahap awal pembangunanannya, food estate sudah mengkibatkan krisis di internal masyarakat termasuk krisis pangan. Pun demikian dengan lingkungan.
“Di buku ini dia bilang, pertanian-pertanian skala industri atau model yang dipakai oleh agribisnis itu berkontribusi besar sekali pada kerusakan llingkungan. Pertanian ke depan makin tidak berkelanjutan,” kata Marsen.
Bagi pemerintah, mendatangkan investor termasuk di sektor pertanian bisa ikut mendorong pertumbuhan ekonomi. Padahal, kehadiran korporasi pangan yang padat modal juga berpotensi menyingkirkan petani kecil. Petani kecil, katanya, tidak mampu bersaing dengan korporasi.
Pada akhirnya, banyak para petani kecil berakhir jadi buruh agar bertahan hidup. Korporasi sudah pakai tenologi tinggi hingga petani terserap hanya sedikit. Pengangguran pun terjadi.
Marsen meragukan latar belakang kebijakan impor pangan di Indoensia karena kekurangan produksi dalam negeri. Menurut dia, kebijakan impor bisa saja jalan karena ada kartel tertentu yang mengambil untung dari proses impor pangan hingga pemerintah menyerahkan pada mekanisme pasar.
“Mungkin bagi mereka jauh lebih untung beli beras dari Thailand daripada beras produksi petani.”
Data Kementerian Pertanian menyebutkan, ada 33,4 juta petani di Indonesia. Seharusnya angka ini bisa jadi kekuatan memproduksi pangan sendiri. Para petani terlebih dahulu memastikan ketersediaan pangan mereka sendiri aman, dan kelebihan akan ke pasar.
Berbagai penelitian sudah menunjukkan, produksi dari pertanian skala kecil padat tenaga kerja jauh lebih tinggi daripada priduksi unit pertanian yang didukung oleh teknologi tinggi.
Dengan demikian menjawab masalah krisis pangan dengan mendorong para petani meningkatkan produksi, jauh lebih meguntungkan dibanding mengundang korporasi pangan. Di banyak tempat, katanya, sistem pertanian di desa melibatkan lebih banyak tenaga kerja. Dengan begitu, pertanian bisa jadi sumber penghidupan dan mencegah pengangguran, urbanisasi, dan menumpuknya buruh murah di Kota.
“Jauh lebih menguntungkan secara ekonomi maupun sosial. Karena jumlah orang yang menganggur lebih sedikit, jumlah orang bekerja lebih banyak. Jadi, ada problem pengangguran yang bisa dijawab.”
Teknologi, katanya, memang perlu namun teknologi yang dikembangkan sendiri oleh petani mulai dari produski benih, pupuk, pestisida, hingga pengolahan pasca panen. Bukan teknologi yang membuat petani tergantung dengan pihak luar. Di sini poin kedaulatan pangan terpenuhi.
Pilihan makanan tiap hari, katanya, ikut berkontribusi pada kriris pangan.
Selain berdampak pada perampasan lahan dan kerusakan lingkungan, produksi pangan oleh korporasi juga berdampak langsung pada kesehatan.
Marsen juga menekankan bagaimana industri pangan mempengaruhi pilihan masyarakat. Tanpa disadari, selera makan masyarakat ditentukan industri.
Marsen mengutip Susan George dalam buku Pangan: dari Penindasan Sampai Ketahanan Pangan terbitan InsistPress 2007. Susan menyebut, industri bekerja keras mengubah kebiasaan makanan masyarakat dari makanan khas nasional atau daerah, ke makanan produsksi industri.
Dampaknya, masyarakat cenderung menghabiskan uang untuk membeli makanan produksi indutri daripada makanana lokal. Padahal, sebelumnya kebutuhan gizi untuk hidup seehat bisa dipenuhi pangan sekitar.
Kondisi ini, katanya, makin memperkuat posisi industri pangan, menggeser posisi petani-petani skala kecil, dan menghilangkan keberagaman pangan lokal.
Pangan produksi korporasi juga berisiko untuk kesehatan. Banyak bahan pangan olahan sudah ditambah unsur-unsur baru yang tak sehat untuk konsumsi.
“Bahkan sesungguhnya pangan yang diproduksi korporasi dan diiklankan secara intesif berisiko menimbulkan banyak sekali penyakit.”
Sebagaimana ditulis Paul McMahon, kata Marsen masyarakat menggunakan strategi dua kaki. Selain terus kritik kebijakan pemerintah mengatasi kritis pangan, juga bisa memulai gerakan kecil dengan membeli makanan langsung dari petani terutama yang sistem pertanian mempertimbangkan keseimbangan ekologis dan daya dukung lingkungan. Mengkonsumsi makan segar dari produsen pertama dan bukan olahan, katanya, langkah kecil juga mengandung pilihan politis dalam sistem pangan.
Di banyak negara, model seperti ini bisa berjalan dalam bentuk community supported agriculture. Pertanian skala kecil langsung terhubung dengan konsumen di perkotaan. Jalur distribusi yang dikuasai korporasi pangan atau perusahaan besar bisa terpotong.
Dengan cara ini, katanya, secara langsung sebagai konsumen hendaknya mendukung kestabilan bahkan mendorong peningkatan produksi petani.
“Masyarakat bisa juga bergerak langsung di tingkat bawah. Bahkan lewat pilihan-pilihan konkrit tiap hari tentang apa yang dimakan. Selemah-lemhanya iman, itu berkontribusi terhadap problem krisis pangan.”
Keterangan foto utama: Kanal primer eks PLG di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang ditutup secara permanen. Nantinya ditengah hanya disisakan salurah air untuk jalur transportasi warga. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia