Mongabay.co.id

Kasus Desa Wadas, Pakar: Cara Pembangunan Rawan Rugikan Rakyat

 

 

 

 

Pada 8 Februari lalu, situasi Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mencekam. Mereka kedatangan ratusan polisi dengan motor maupun mobil berseragam lengkap. Mereka razia di jalan maupun masuk rumah-rumah warga penolak tambang batu andesit. Material batu ini untuk pembangunan Bendungan Bener. Sekitar 67 warga Wadas ditangkap polisi, ramai protes, kemudian mereka dilepas pada 9 Februari.

Sebelum itu,  7 Februari malam itu, listrik di Desa Wadas, padam, desa-desa lain di sekitar menyala. Di Lapangan Kaliboto, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, sejumlah tenda berwarna gelap berdiri, pasukan polisi berjaga. Jarak lapangan itu dari Kantor Polsek Bener hanya dua menit berjalan kaki, dan 15 menit berkendara menuju Desa Wadas.

Selasa pagi, 8 Februari, Uut, warga Wadas, bersama istri sarapan di sebuah warung. Lokasi dekat Polsek Bener. Uut aktif di Gempadewa (Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas), yang menolak penambangan di desa mereka.

“Sembari dia melihat situasi di sana begitu, tiba-tiba ada berapa orang yang kemudian menangkap dia dan membawa dia ke Polsek Bener. Istrinya berhasil lolos dan kembali ke Wadas mengabarkan itu kepada warga,” kata Heron dari jaringan solidaritas Wadas membacakan kronologi peristiwa dari Gempadewa, 9 Februari.

Pukul 10 pagi. beberapa mobil polisi memasuki Wadas, sembari mencopot spanduk ekspresi penolakan penambangan di sepanjang jalan desa. Menyusul sejumlah aparat dengan mobil, sepeda motor, dan berjalan kaki.

Dalam video yang diunggah akun Instagram Wadas Melawan ini terlihat aparat kepolisian memasuki Desa Wadas dari berbagai arah.

Ada pula video pendek yang memperlihatkan sejumlah aparat kepolisian dengan tameng berdiri berjajar di depan Mesjid Nurul Huda, Dusun Krajan. Sejumlah warga tengah melakukan mujahadah di dalam mesjid.

“Kalau teman-teman melihat video yang viral, itu terjadi sekitar pukul 12.00 siang dan penangkapan terjadi bahkan di mesjid Dusun Krajan di mana warga sedang mujahadah untuk mendapatkan kekuatan dari Ilahi, juga ditangkap dan dikepung,” kata Heron. Sedangkan di hutan itu terjadi proses pengukuran oleh tim BPN Purworejo.

Polisi juga mendatangi ibu-ibu yang tengah membuat besek dan merampas besek serta pisau–peralatan membuat wadah dari anyaman bambu itu.

“Mereka berkeliling di setiap rumah, bahkan di beberapa rumah itu aparat masuk ke dalam rumah. Mereka merampas perlengkapan dan menangkap warga. Di rumah warga itu ada perempuan, lansia, anak-anak. Di dalam rumah trauma oleh aparat kepolisian.”

 

Baca juga: Warga Wadas Bertahan, Tolak Penambangan buat Proyek Bendungan Bener

Batu Lemosoh di dalam bukit yang akan ditambang terlihat di sungai Desa Wadas. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Julian Dwi Prasetia dari LBH Yogyakarta, kuasa hukum warga Wadas penolak tambang mengatakan, ikut dibawa ke Kantor Polsek Bener bersama puluhan warga lain.

“Aku dibawa ke Polsek bener, puluhan orang ditangkap,” katanya, 8 Februari.

Ada 67 orang ditangkap. Daniel Al Ghifari dari LBH Yogyakarta juga ditangkap, bersama Yayak Yatmaka seniman yang kerap membuat karya bertema perlawanan sejak Orde Baru. Kemudian, warga dibebaskan pada 9 Februari.

Berdasarkan informasi, aparat kepolisian sweeping mencari telepon seluler warga yang berisi rekaman peristiwa di Wadas.

Julian juga hadir dalam konferensi pers mengatakan, ada bantuan logistik dari para petani Pantai Selatan ke warga Wadas.

Himawan Kurniadi dari Walhi Yogyakarta mengatakan, saat ini mendata kebutuhan logistik warga sambil mengajak memperluas solidaritas masyarakat sipil.

Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah di Purworejo meminta maaf terkait insiden di Wadas.

“Saya ingin menyampaikan minta maaf kepada seluruh masyarakat, wabil khusus masyarakat Purworejo, wabil khusus masyarakat di Wadas. Karena kejadian kemarin mungkin ada yang merasa betul-betul tidak nyaman. Saya minta maaf dan saya bertanggung jawab,” katanya di Mapolres Purworejo, 9 Februari.

Irjen Pol Achmad Luthfi, Kapolda Jawa Tengah mengatakan, Polda menerjunkan personel atas permintaan BPN untuk mengamankan pengukuran. Personel ada 250 orang, untuk mendampingi 10 tim BPN yang mengukur 114 hektar lahan, 346 bidang.

“Perlu masing-masing tim kita bekali 20 personel untuk nempel di tim-tim BPN. Karena yang diukur banyak, jalan setapak ke sana. Itu kita bagi habis 10 tim dengan harapan kecepatan yang kita lakukan. Tidak ada anggota Polda ribuan masuk kampung, tidak ada,” kata Kapolda.

Menurut dia, melindungi hak pemilik 346 bidang yang setuju diukur dan 36 bidang yang masih menolak.

“Tidak ada penangkapan, penahanan, dan lain-lain. Hari ini akan kita bebaskan dan kembali ke masyarakat agar pengukuran berjalan baik.”

Kondisi Wadas hingga Rabu pukul 15.00, menurut Heron masih mencekam. Aparat kepolisian baik berseragam lengkap maupun berpakaian preman masih terlihat. Warga banyak memilih di rumah sambil mengamati suasana di luar dari balik jendela.

“Sejak Rabu pagi, aparat kepolisian bergerak menyisir sejumlah dusun, kembali memasuki rumah-rumah warga. Mereka razia telepon seluler, handphone milik warga, tanpa alasan jelas dan seizin pemilik,” tulisa pernyataan pers Gempadewa.

Razia HP juga kepada warga di luar rumah. Warga hanya mengetahui razia itu untuk memeriksa pesan maupun aktivitas digital pemiliknya.

Menyikapi kejadian ini, Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, penolakan warga bukan tanpa sebab, bukan pula karena anti pembangunan.

Proses pembangunan ini, katanya, sarat manipulasi dan menabrak berbagai peraturan perundang-undangan, korup dan disertai kekerasan.

“Peristiwa ini sudah mengarah kepada tindakan perampasan tanah rakyat yang bersifat memaksa dengan dalih proyek-proyek pembangunan strategis untuk kepentingan nasional,” katanya.

 

Baca juga: Warga Wadas Tolak Pengerukan Bukit untuk Proyek Bendungan Bener

Suasana Desa Wadas. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Hal ini, kata Dewi, jadi bukti pengadaan tanah bagi PSN berdampak pada peningkatan perampasan tanah di beberapa titik wilayah yang konflik agraria.

Berdasarkan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Bagi Pembangunan, aktivitas pertambangan tak masuk dalam bagian kepentingan umum. Pemerintah mengacu pada UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksana–yang inkonstitusional sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi–, gunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum terhadap kegiatan pertambangan.

KPA menilai, pemerintah sesat berlogika hukum dan melakukan suatu tindakan melawan hukum. Melalui Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang pada poin 7 memutuskan, pemerintah harus menangguhkan segala kegiatan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas akibat UU Cipta Kerja.

Dewi mendesak, pemerintah segera menghentikan model dan proyek-proyek pembangunan yang kontraproduktif dengan komitmen agenda reforma agraria.

“Presiden harus memastikan seluruh PSN tidak menghilangkan hak-hak rakyat atas tanah dan ruang hidup mereka.”

Fanny Tri Jambore, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional, mengutuk keras tindakan kepolisian.

Mengenai quarry yang merupakan kegiatan pertambangan, semestinya ada izin pertambangan, baru pembebasan lahan.

Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan mengatakan, penolakan warga dengan pembangunan Bendungan Bener tak mempengaruhi kelanjutan proyek secara hukum.

“Penolakan sebagian warga itu tidak akan berpengaruh secara hukum karena tidak ada pelanggaran hukum pada rencana pembangunan atau penambangan batu andesit di Desa Wadas ini,” katanya ujar dalam konferensi pers, 9 Februari.

Soal lingkungan dia juga klaim tak ada masalah. “Demikian pula instrumen yang disebut analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal sudah terpenuhi, tidak ada masalah yang dilanggar.”

Himawan Kurniadi, Divisi Advokasi Walhi Yogyakarta mengatakan, penolakan masyarakat Wadas ini karena proses tidak transparan dalam jadikan Desa Wadas, lokasi penambangan batu andesit.

“Penunjukkan Desa Wadas ini sama sekali tidak melibatkan masyarakat sejak awal.”

Beka Ulung Hapsara, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM mengatakan, Komnas HAM mengencam tindakan kekerasan aparat kepolisian kepada warga termasuk pendampingan hukum warga Wadas.

Komnas HAM mengupayakan mediasi kembali terkait kasus penambangan batu andesit di Desa Wadas. Pada 20 Januari lalu, Komnas HAM sudah mediasi berdasarkan permintaan Gubenur Jawa Tengah. Warga tolak pertemuan, minta dialog langsung dengan gubernur. Permintaan urung malah pengukuran lahan oleh BPN berjalan.

Beka mengatakan, informasi kepada mereka pengukuran itu hanya pada lahan pemilik yang setuju.

Berdasarkan data Komnas HAM, dari 617 warga Wadas dengan tanah akan jadi penambangan, 346 warga menyetujui.

“Informasi yang kami dapatkan, pengukuran akan dilakukan pada lahan warga yang sudah setuju. Kami menyayangkan terjadi kasus seperti ini sampai ada penangkapan.”

 

Baca juga: Jaga Lahan Tani, Warga Wadas Tolak Penambangan Batu (Bagian 1)


Hindari kekerasan

Konflik antara negara dan warga pada kasus Wadas yang bermula dari rencana pembangunan Bendungan Bener yang perlu material urukan itu, kata Arie Sujito, pakar sosiologi Universitas Gadjah Mada tidak semestinya ada tindakan represif.

“Sebetulnya yang namanya pembangunan apapun itu jangan sampai diwarnai tindakan represif. Itu poin kunci. Karena itu tidak ada alasan menggunakan cara-cara kekerasan. Yang namanya tantangan buat pemimpin itu ya kemampuan untuk persuasi terus menerus, dan memang butuh proses,” katanya saat dihubungi Mongabay 9 November lalu.

Pembangunan yang ditangani dengan cara-cara seperti ini akan merugikan rakyat. Terlebih, katanya, tindakan itu dilakukan pada era demokrasi.

“Presiden Jokowi (Joko Widodo) pasti enggak menginginkan cara begitu. Saya yakin itu, karena itu bukan cara-cara Pemerintahan Jokowi.”

Dia mengapresiasi langkah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo minta maaf atas penangkapan warga dan peristiwa yang menimbulkan ketidaknyamanan banyak pihak.

Menurut dia, langkah persuasif, berdialog, dan diskusi antarpihak bisa menyelesaikan persoalan.

“Saya kira sekali lagi ini harus cooling down, dan memang apapun itu jangan sampailah ada lagi penangkapan dengan tindakan represi.”

Aksi refresif, katanya, akan kontraproduktif dengan kerangka besar Jokowi bahwa pembangunan harus dirasakan seluruh bangsa dan jangan sampai mencederai rakyat.

“Masih banyak cara bisa tempuh untuk dialog, mengobrolkan, membahas bareng, kayak apa solusinya. Mestinya pemerintah daerah, aparat, tidak boleh lelah berdiskusi, berdialog, karena itulah cara demokrasi.”

Pembangunan, katanya, hanya sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat hingga tidak seharusnya memakai cara-cara kekerasan atau penangkapan warga.

Dia ingatkan, agar jauhi praktik Orde Baru yang mengatas namakan pembangunan dengan membungkam suara rakyat yang berbeda.

 

Baca juga: Ribuan Pohon Durian Terancam Proyek Bendungan Bener (Bagian 2)

Salah satu jalan menuju ke lokasi pematokan lahan di Desa Wadas. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Kejahatan lingkungan?

I Gusti Agung Made Wardana, pakar hukum lingkungan UGM menilai, hukum Indonesia masih memiliki banyak masalah terkait perlindungan bagi warga yang ingin mempertahankan ruang hidupnya.

“Karena melalui hukum, ruang hidup direduksi jadi tanah dan lekat pada model kepemilikan. Ini bermasalah karena tanah hanya aset ekonomi pemiliknya hingga konflik mempertahankan ruang sekadar dilihat sebagai sengketa kepemilikan tanah yang bisa selesai dengan ganti rugi,” katanya.

Menurut dia, rezim pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak mempertimbangkan nilai sosial dan spiritual dari tanah karena nilai ini sulit dikonversi dalam bentuk uang berupa ganti rugi. Kalau pun bisa ini akan menaikkan ongkos transaksi pengadaan tanah.

“Konflik di Wadas sebenarnya mengakar dalam cara pandang melihat tanah. Negara melihat tanah sebagai aset ekonomi dan selesai melalui ganti rugi, sedangkan warga melihat tanah lebih kompleks dan kaya.”

Karena tanah merupakan ruang hidup, katanya, tidak saja bagi pemilik, juga bukan pemilik yang menikmati manfaat dari tanah itu.

Dalam kasus Wadas, pemrakarsa yang menggabungkan aktivitas penambangan querry dengan pembangunan waduk dia nilai keliru. Dengan mengklaim penambangan sebagai bagian dari proyek strategis nasional, katanya, maka pengadaan tanah pun pakai rezim ‘untuk kepentingan umum.’

“Padahal jelas dalam rezim itu penambangan tidak termasuk dalam kategori kepentingan umum. Penggabungan ini juga melanggar rezim hukum pertambangan.”

Dia sebutkan hal-hal yang dilanggar pemrakara proyek. Pertama, karena pemrakarsa adalah lembaga pemerintah maka yang melakukan aktivitas penambangan adalah negara. Padahal negara sebagai regulator dalam usaha pertambangan tak memilili kewenangan untuk sekaligus jadi operator tambang.

Kalau praktik ini dibiarkan, katanya, akan jadi preseden buruk dalam pertambangan Indonesia karena negara jadi regulator sekaligus operator.

Kedua, karena yang menambang adalah negara maka aturan dalam hukum pertambangan tidak dipakai. Misal, tidak perlu izin karena izin usaha pertambangan hanya bisa kepada badan usaha.

Ketiga, mekanisme pengawasan praktik penambangan yang baik sulit dilakukan sebagai dampak dari konflik kepentingan negara sebagai regulator sekaligus operator.

Apakah pemerintah bisa dinilai telah melakukan kejahatan lingkungan terkait kasus Wadas? Pria yang akrab dipanggil Igam ini mengatakan, kalau pakai pemahaman kejahatan secara legalistik sulit mengatakan itu.

“Apabila gunakan pendekatan green criminology, ini sudah dapat dikatakan kejahatan lingkungan karena menyebabkan environmental harm bagi alam dan masyarakat lokal.”

 

 

Tangkapan laar video saat polisi berjaga di Nurul Huda, Dusun Krajan, Desa Wadas.

*******

Foto utama:

Exit mobile version