Mongabay.co.id

Proyek Geothermal Wae Sano: Antara Penolakan, Kepentingan Pariwisata dan Pengurangan Energi Fosil

 

Wae Sano merupakan salah satu desa selain Sano Nggoang dan Pulau Nuncung, yang berada di sekeliling Danau Sano Nggoang, danau vulkanik di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Jarak desanya sekitar 22 km dari pertigaan jalan negara Trans Flores Ruteng-Labuan Bajo. Sesuai data tahun 2019, penduduknya berjumlah 1.267 jiwa atau 285 Kepala Keluarga (KK).

Tua Golo (Ketua Adat) kampung adat Nunang Desa Wae Sano, Maximus Taman berceritera, sejak tahun 2016 dilaksanakan sosialisasi  dan edukasi mengenai proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) atau geothermal dihadiri oleh kelompok masyarakat, pemerintah dan LSM.

Selanjutnya pada 2017, ada sosialisasi proyek PLTPB kembali yang mencakup tiga desa sekitar danau Sano Nggoang, yang dihadiri semua tokoh dan ketua adat, Bupati Manggarai Barat, PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI), Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM.

Selain itu, warga diajak studi banding ke PLTPB Patahu di Bandung. Ada warga yang melihat langsung ke PLTPB Ulumbu, Manggarai.

Setelah itu, sekitar bulan November 2017, PT.SMI meminta dilaksanakan studi permukaan untuk menentukan titik-titik yang tidak bisa dilakukan pengeboran dan tempat-tempat yang tidak boleh diganggu seperti kuburan, tempat ritual adat dan lainnya. Setelah itu dibuatlah denah mengenai titik-titik yang tidak boleh diganggu.

baca : Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi

 

Kampung Nunang, Desa Wae Sano, Kecamatan sano Ngoang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto : ekorantt

 

Warga tiga desa tersebut kemudian ada yang menyetujui proyek PLTPB di Wae Sano, tetapi ada juga warga yang menolak.

“Kami para Tua Golo dan warga pendukung percaya pendapat para ahli termasuk setelah melihat langsung ke lokasi proyek panas bumi. Kami tidak memaksa pihak penolak untuk menerima dan menolak permintaan memberikan pemahaman kepada mereka,” ungkap Maximus saat ditemui Mongabay Indonesia akhir Desember 2021.

Dia menegaskan walau ada pro dan kontra, warga hidup berdampingan sebab perbedaan cara pandang dan cara pikir itu biasa, sama saja dengan dalam satu rumah ada pendukung partai tertentu.

“Tidak pernah ada konflik. Bahkan dalam urusan adat pun berjalan seperti biasa tidak ada hubungannya dengan geothermal. Jangan memperalat masyarakat untuk kepentingan siapapun selain untuk kebenaran,” pesannya.

 

Tetap Menolak

Dalam pernyataan sikap warga penolak yang diterima Mongabay Indonesia, dan diskusi media, Selasa (26/1/2022) Eduardus Watumedang dan Stef Adur membantah pernyataan dalam kegiatan konsultasi publik di desanya tanggal 20 dan 25 Januari 2022.

Eduardus mengutip Sekda Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat yang mengatakan warga yang menolak hanya segelintir orang dan mengklaim proyek geothermal telah disetujui oleh sebagian warga yang lain. Bahkan diklaim bahwa mereka mendesak pemerintah untuk segera melanjutkan proyek tersebut.

“Kami tegaskan bahwa kami warga di tiga kampung adat (Nunang, Lempe dan Dasak) Desa Wae Sano dan warga Kampung Lenda Desa Pulau Nuncung  menolak titik-titik pengeboran di dalam ruang hidup kami,” ucapnya.

Eduardus tegaskan, dasar penolakan warga sudah sangat jelas dan rasional terkait keseluruhan proyek panas bumi sangat membahayakan keutuhan ruang hidup.

baca juga : Warga Tetap Menolak Proyek Geothermal Wae Sano, Kenapa?

 

Aksi masyarakat adat menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto: Sunspirit for Justice and Peace

 

Menurutnya, pernyataan pemerintah soal energi geothermal ramah lingkungan sangat asumtif dan tidak berbasis fakta serta dengan jelas menunjukkan kemalasan pemerintah untuk mendalami berbagai informasi tentang daya rusak energi geothermal.

“Kami tetap menolak karena proyek ini akan sangat berdampak buruk bagi ruang hidup mereka, kesatuan yang utuh tak terpisahkan antara pemukiman, kebun pencaharian, sumber air, pusat kehidupan adat, kuburan, hutan dan danau,” ucapnya.

Sedangkan Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar dalam konsolidasi masyarakat sipil se-daratan Flores Lembata, Selasa (18/1/2022) menjelaskan, Pulau Flores sudah ditetapkan sebagai pulau panas bumi sejak tahun 2017 dan pengembangan panas bumi di Flores di lebih dari 17 titik.

“Seluruh potensi energi panas bumi dalam skala besar hendak dibangkitkan semua. Padahal sistem kelistrikan di NTT mengalami surplus 52 MW tahun 2018,” ungkapnya.

Untuk Kabupaten Manggarai Barat jelas Melky, tahun 2021 ada penambahan daya 18 MW sehingga menjadi surplus hingga 21 MW. Kalau ada yang bilang Flores krisis listrik itu tidak benar.

Ia katakan, aktifitas tektonik di NTT sangat tinggi, terjadi lebih dari 14 gempa besar. Dalam pemanfaatan panas bumi, metode fracking sangat populer digunakan.Teknik stimulasi sumur dimana lapisan batuan bagian bawahnya diretakkan menggunakan benda cair bertekanan tinggi.

“Hal ini bisa memicu terjadinya gempa bumi mikro, pencemaran air serta amblasnya tanah di wilayah di sekitar operasi geothermal. Metode ini juga membutuhkan air dalam jumlah besar untuk proses injeksi,” terangnya.

baca juga : Warga Wae Sano Minta Hentikan Rekayasa Atas Sikap Penolakan Pembangunan Geothermal

 

Perumahan warga di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT yang berada persis di tepi Danau Sano Nggoang. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kepentingan Masyarakat Banyak

Sekda Pemkab Manggarai Barat, Fransiskus Sales Sodo mengatakan, banyak masyarakat yang menyetujui adanya geothermal.

Fransiskus tegaskan, kebijakan pemerintah terkait proyek geothermal ini harus jalan sebab merupakan energi baru dan terbarukan dan sejalan dengan visi Flores sebagai destinasi pariwisata.

“Riak-riak kecil di masyarakat tidak berpengaruh signifikan terhadap keinginan masyarakat banyak. Cepat atau lambat semua masyarakat akan menerima kehadiran geothermal sebab tidak ada alasan rasional untuk melakukan penolakan,” ungkapnya.

Fransiskus mengaku pernah ke proyek geothermal di Patuha Bandung dan melihat tidak ada masalah dengan ruang hidup masyarakat. Ia berharap, kedepannya tidak ada lagi energi fosil di Flores sebab Flores sangat rentan dengan kerusakan lingkungan.

“Peran sosialisasi dan edukasi sangat penting. Jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan jangan sampai niat negara menerapkan energi baru dan terbarukan dihalang-halangi,” pesannya.

“Saya yakin ketika niat baik pemerintah, cara yang dilakukan manusiawi dan demi kepentingan masyarakat banyak maka proyek ini bisa berjalan,” tuturnya.

Sementara Johnnedy Situmorang, koordinator operasional PT. Geo Dipa Energi yang ditemui Mongabay Indonesia, menjelaskan soal proses eksplorasi, dimana perusahaannya sedang merencanakan desain baru memindahkan rencana pengeboran dari sumur produksi (wellpad) B ke wellpad A. Ada Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) dan menyikapi MoU pemerintah dengan Keuskupan Ruteng.

Johnnedy mengatakan, eksplorasi direncanakan tahun 2023. Ada berbagai tahapan yang harus dilewati, seperti sosialisasi, edukasi, jawaban dan penyampaikan lembar fakta kunjungan ke lapangan dilakukan. Semua dampak dan mitigasi sudah dipaparkan secara jelas dan lengkap dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)

baca juga : Keluhan Seputar Pembangkit Panas Bumi, Ada Omnibus Law Khawatir Perburuk Kondisi

 

Ilustrasi. Sejumlah petani beraktivitas di sekitar pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Dieng Banjarnegara Jawa Tengah. Sejauh ini PLTP aman dan ramah lingkungan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

  

Proteksi dan Produksi

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma kepada Mongabay Indonesia, Jumat (14/1/2022) menjelaskan, potensi panas bumi sulit diekstrak karena umumnya ada di kedalaman lebih dari 6 km.

Potensi panas ini bisa naik mendekat ke permukaan pada kedalaman antara 2-3 km. Biayanya lebih kecil dibandingkan dengan mengambil panas pada kedalaman lebih dari 6 km.

“Sumber panas yang naik mendekati permukaan ini pada umumnya berhubungan dengan kegiatan vulkanis seperti di beberapa tempat di Pulau Flores,” ucapnya.

Surya menjelaskan, sumber panas diekstraksi ke permukaan menggunakan media air terutama secara alami. Air yang sudah masuk ke dalam lapisan yang berada di kedalaman akan menjadi media untuk mengalirkan panas ke permukaan agar bisa menghasilkan uap untuk pembangkit tenaga listrik.

Paparnya, fluida panas bumi dari kedalaman harus diproteksi sedemikian rupa melalui sumur yang dibor dari permukaan sampai kedalaman potensi sumber panas agar tidak terpengaruh oleh air permukaan yang masuk ke dalam sumur dan bisa menyebabkan turunnya suhu air panas dalam sumur.

Proteksi ini menggunakan selubung besi secara berganda dan sebagiannya diikat dengan semen untuk meyakinkan tidak ada infiltrasi air permukaan yang masuk.

“Karena itu potensi panas bumi tidak akan terpengaruh oleh kondisi sekitarnya meski lokasi pengeboran berada tidak jauh dari rumah warga. Namun, tentu saja faktor keselamatan juga harus diperhitungkan,” ucapnya.

Surya katakan, mekanisme proteksi dan produksi tersebut memastikan eksploitasinya tidak akan berpengaruh terhadap danau vulkanik Sano Nggoang.

“Dengan menjaga pengelolaan panas bumi sesuai dengan kaidah teknis yang baik dan benar, dipastikan bahwa energi panas bumi paling ramah terhadap lingkungan. Tidak ada dampak negatifnya dan berpengaruh terhadap alam dan lainnya, ”ungkapnya.

Surya menyarankan harus dilakukan kajian yang tepat terhadap potensi. Pemanfaatannya pun harus tepat setelah melaksanakan sosialisasi secara baik kepada masyarakat agar memiliki pemahaman yang benar terhadap panas bumi.

“Terbatasnya informasi yang tepat bisa menimbulkan kekeliruan persepsi yang berdampak negatif bagi kepentingan energi kita yang sejatinya sudah ada di alam,” pungkasnya.

 

Exit mobile version