Mongabay.co.id

Kepada Tanah, Karya 22 Seniman Merespon Hasil Bumi Wadas

 

Desa Wadas di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah masih berkecamuk karena konflik rencana penambangan jutaan ton batu andesit di desa subur ini. Puluhan warga ditangkap sejak dimulainya aktivitas pengukuran lahan 8 Februari lalu.

Konflik terbuka ini sudah berlangsung beberapa tahun karena sebagian warga Desa Wadas menolak penambangan batu di desanya untuk material rencana pembangunan waduk terbesar oleh pemerintah. Sebanyak 22 seniman lintas disiplin memilih mendukung warga untuk terus menjaga hasil buminya, mulai dari hasil perkebunan seperti durian dan kopi, sampai persawahan, dan hutan desa.

Para seniman ini merespon kantong biji kopi dari petani kopi Desa Wadas. Mereka membuat gambar, ilustrasi, doodle, dan sebutan lain untuk seni visual yang lekat di tembok-tembok jalanan. Kini gambar itu menempel di kantong bungkusan biji kopi dari kebun-kebun Wadas yang sedang bergejolak.

Mereka adalah Agygn, Agung Prayogi, Bambang Nurdiansyah, Beneny Ibrahim, Bobomagz, Bodhi IA, Chrisna Fernand, Gegerboyo, Ican Harem, Melaju Studio, Morrgth, Mufti Priyanka, Muhammad Fatchrofi, Rio Krisma, Ruth Marbun, Sirin Farid Stevy, Suvi Wahyudianyo, Taring Padi, Timoteus Anggawan Kusno, Toni Malakian, Uji Handoko, Ykha Amelz

Seluruh karya dipamerkan sampai akhir Februari di enam daerah, dan perjalanannya dimulai dari Bali pada 8-15 Februari ini. Taring Padi, lembaga kebudayaan Yogyakarta ini membuat gambar ala seni mencukil kayu, ciri khas mereka. Sepasang tangan mengulur ke aneka hasil bumi seperti padi dan buah-buahan dengan latar belakang gunung. Wong Tani, Sing Ngratani. Demikian teks yang menguatkan energi karya ini.

baca : Kasus Desa Wadas, Pakar: Cara Pembangunan Rawan Rugikan Rakyat

 

Karya seni Taring Padi untuk petani Desa Wadas. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Rio Krisma muncul dengan gambarnya berjudul Yang Ada Hanyalah Merah Membara, Sampai Benih Tumbuh Menghidupi. Sebuah tangan merah muncul dari batu berlumur darah dan meraih udara dengan sebuah benih yang menggapai matahari. Simbolik situasi konflik saat ini karena warga tidak mau lahan pertaniannya hancur karena penambangan material kuari dengan cara dibom.

Farid Stevy, seniman yang bersuara dengan font dan teks khasnya tentang konstitusi dasar Republik Indonesia Pasal 33 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Semua kantong biji kopi robusta yang tumbuh di sekitar 400 mdpl Desa Wadas ini dijual dan hasilnya diberikan sepenuhnya untuk warga yang sedang berjuang mempertahankan alam desanya. Ada juga aneka merchandise sekantong biji kopi tanpa gambar seniman dan karya-karya seni Taring Padi merespon masalah-masalah lingkungan di Wadas.

Pameran ini juga diisi pembacaan puisi dan diskusi yang berlangsung di Uma Seminyak, Badung, pada 10 Februari 2022.

Eloops dan Reno dalam pembacaan puisi merespon ilustrasi salah satu seniman, Bodhi yang juga menulis puisi. “Untuk setiap perempuan pejuang yang menjaga kehidupan di garis depan. Yang berada di segala keriuhan demonstrasi dan jalur setapak gerilya. Untuk perempuan pejuang yang setia memprotes definisi perempuan dalam kamus Bahasa Indonesia. Untuk perempuan pejuang yang tetap memilih menanam di ladang dan memasak di dapur solidaritas. Untuk perempuan pejuang yang menulis keresahannya jadi bara api. Kalian lah yang mengajarkanku kata setara, kalian bara api yang menjaga nyala api kehidupan.”

Demikian kutipan puisinya yang makin menyemangati pengunjung untuk merasakan perjuangan warga Wadas.

baca juga : Kasus di Wadas dan Keseriusan Komnas HAM

 

22 seniman membuat karya seni rupa di bungkus kopi Wadas. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Keduanya juga membacakan satu puisi titipan dari warga Bali yang merefleksikan keresahannya. “Bangun Bali dan Lupakan Petani. Yes yes yes, aku bangga Bali penyumbang devisa terbesar di pariwisata. Ayo investor berinvestasi untuk bangun resor, hotel, agar anak cucu kami bisa bekerja sebagai pelayan dan security. Sebentar lagi tanahnya aku sewa, beli airnya galonan.”

Ditayangkan juga dua film tenang perjuangan warga Desa Wadas mempertahankan tanah dan hutan desanya oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam.

Judulnya Wadas Tetap Waras. Dibuka dengan panorama sungai bersih, sawah, dan hutan desa yang terjaga di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah namun kini berubah mencekam.

Mutmainah, salah satu perempuan desa paruh baya ini mengatakan warganya hidup makmur dari hasil pertanian. “Ada warga kebun punya durian bisa menghasilkan Rp50 juta di satu musim,” katanya. Samsul, warga lain menyebut membuat gula aren dan mengiris pohon aren adalah hasil harian warga. Sedangkan hasil bulanan dan tahunan ada hasil dari penyadapan getah karet, panen pohon kelapa, dan lainnya.

“Kalau ditambang nanti kualat,” ingat pria lanjut usia ini. Sejarah lisan untuk menjaga kawasan perkebunan juga terpahat di kisah Pohon Randu Alas. Diyakini, nenek moyang mereka berpesan pohon besar dan tinggi tidak boleh ditebang. “Desa hilang tinggal nama. Kalau longsor lumpur orangnya hilang kocar kacir. Jangan merusak lingkungan, seperti lagu kebangsaan itu hiduplah tanahku, hiduplah negeri. Masak hancurlah tanahku,” seorang tokoh masyarakat menyindir.

perlu dibaca : Warga Terus Berjuang Demi Keberlangsungan Hidup di Wadas

 

Salah satu bungkus kopi bergambar kondisi di Desa Wadas, Purworejo, Jateng dalam pameran bertajuk kepada tanah. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dalam jurnal ESDM ini , tambang kuari adalah satu di antara jenis tambang selain mineral dan batubara. Dalam operasi penambangan, kegiatan tambang kuari perlu memerhatikan aspek geoteknik. Kestabilan lereng merupakan isu penting dalam analisis geoteknik. Karena itu warga khawatir dengan dampak penambangan terbuka ini.

Film kedua lebih dramatis karena dibuat dari kumpulan voice note, rekaman pesan suara oleh warga yangs edang bersembunyi karena dikejar aparat. Ia hanya bisa kirim voice note untuk mengabari kondisinya. “Kepolisian masuk menggunakan mobil, tameng, bersenjata lengkap. Ribuan masuk dengan jalan kaki. Ibu yang buat besek itu, pisaunya diambil.”

Ruth Onduko dari Uma Seminyak mengatakan pameran dan diskusi ini oleh Jaringan Solidaritas Jogja. Sejumlah kantong kopi sudah terjual di Bali. Tiap kemasan, tidak ada gambar yang sama, dan setiap seniman menyiapkan materi desainnya untuk enam daerah.

Bintang, salah seorang tim solidaritas mengatakan menjelang keberangkatan ke Bali, tiga warga Wadas batal berangkat karena susana desa mencekam akibat ribuan petugas keamanan mengepung desa dan menangkap puluhan warga terutama anak mudanya. “Perjalanan emosional seolah meninggalkan saudara yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya,” keluhnya.

Ia berharap warga luar Wadas menikmati kopi petani Wadas. “Bisa menikmati semangat warga yang berjuang, saat pagi mencecap kopi, merasakan semangat perjuangan mereka,” imbuhnya.

Irawan, satu-satunya warga Wadas yang bisa hadir berkisah, sejak 7 Februari listrik di desanya dipadamkan, akses komunikasi dan akses masuk dibatasi. “Sebelum berangkat kampung saya kedatangan ribuan polisi. Jalan ditutup, warga disergap, puluhan pemuda ditangkap sekarang sudah dibebaskan. Ada yang sedang mujahadah di masjid, dikepung dan ditangkap tanpa pemberitahuan. Tadi pagi didatangi lagi 10 truk. Menangkap dengan kekerasan, termasuk anak kecil dan ibu,” kisah anak muda Wadas ini.

baca juga : Warga Wadas Bertahan, Tolak Penambangan buat Proyek Bendungan Bener

 

Tangkapan layar video polisi di depan Masjid Nurul Huda, Dusun Krajan, Desa Wadas. Foto : dok Gempadewa.

 

Pembangunan di Bali

Made Krisna Dinata dari Walhi Bali dalam diskusi bersama warga Wadas mengatakan Bali juga sedang menghadapi dampak dari pembangunan fisik di tengah pandemi. Ia mencontohkan rencana pembangunan jalan tol di Bali Barat menuju Pelabuhan Gilimanuk yang akan mengorbankan sejumlah lahan sawah dan hutan.

“Dipaksa beradaptasi saat pandemi tapi arah pembangunan tidak berubah, ambisinya tidak surut. Konsultasi Amdal tertutup,” sebutnya.

Nyoman Mardika mengakui kampungnya Desa Timpag yang akan dilalui jalan tol akan mengorbankan 4 kelompok subak (kelompok tata air tradisional di Bali), namun warga sudah tergiur dengan perkiraan harga jual lahan pertanian yang cukup besar. Pemerintah Bali menurutnya tidak memberi perhatian pada pertanian karena subsidi sangat kecil. Di sisi tutup mata dengan hasil riset BPS tetang besarnya alih fungsi lahan pertanian pada 2010 yakni sekitar 1.000 hektar per tahun di Bali.

Rangkaian pameran seni rupa Kepada Tanah: Hidup dan Masa Depan Wadas ini akan berlanjut 12 – 17 Februari 2022 di Galeri Raos, Batu, Malang. Pada 16 – 23 Februari 2022 di Matera Café, Semarang. Kemudian 18 – 25 Februari 2022 di Sunset Limited, Jakarta. Ada juga 18 – 28 Februari 2022 di Kedai Kebun Forum, Jogja, dan 22 – 29 Februari 2022 di Omuniuum, Bandung.

Para seniman membawa pesan dari salah satu hasil bumi. Kopi ini dirawat, dipanen, dan diolah oleh warga Desa Wadas, dengan model penanaman tumpang sari (non monokultur) dan penggunaan pupuk kandang.

Namun, sejak lima tahun lalu, kehidupan warga terancam. Perbukitan di sekitar pemukimannya masuk dalam lokasi rencana penambangan untuk material Bendungan Bener.

baca juga : Limpahan Panen Bumi Warga Wadas di Tengah Ancaman Penambangan

 

Suasana Balai Desa Wadas pada Jumat, 23 April 2021. Foto : Dok Gempadewa.

 

Dalam dokumen AMDAL, penambangan untuk material Proyek Strategis Nasional (PSN) itu akan menggunakan metode blasting (peledakan) dinamit sebanyak 5.300 ton selama 30 bulan. Penambangan tersebut akan menjarah 15,53 juta meter kubik batuan andesit, pada lahan seluas 114 Ha dengan kedalaman 40 m.

Warga menolak dan berupaya menggagalkan rencana tersebut melalui upaya-upaya legal seperti gugatan, audiensi, demonstrasi. Namun, semua upaya itu menemui jalan buntu. Bahkan masih mengami trauma kekerasan hingga kini. Siaran Pers sejumlah organisasi hak asasi manusia seperti ICW, SAFEnet, AJI, ICJR, dan lainnya dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE mendesak agar tiga warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang dituduh melanggar Pasal 28 UU ITE dan pasal 14 jo. Pasal 15 UU No. 1 tahun 1946 dibebaskan dari proses hukum dengan segera dan tanpa syarat. Menurut Koalisi, mereka hanya mengabarkan situasi yang terjadi secara nyata di desa mereka sendiri.

Koalisi juga mendesak agar pemerintah mengusut dugaan pemadaman sengaja terhadap listrik, sinyal ponsel dan internet di wilayah Desa Wadas selama aksi kekerasan oleh aparat terjadi pada periode 8 – 9 Februari 2022.

 

Exit mobile version