Mongabay.co.id

Kearifan Tradisional untuk Menghindari Dampak Perubahan Iklim

 

Saat ini, kita makin sering melihat dan membaca berita tentang bencana di berbagai belahan dunia. Baik itu bencana alam maupun bencana bencana hidrometeorologis. Disadari maupun tidak, bencana tersebut umumnya diakibatkan karena aktivitas manusia sendiri.

Kebencanaan akibat ulah manusia (antropogenik) paling mengkhawatirkan saat ini adalah dari dampak perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati (kehati).

Dari segi perubahan iklim, saat ini saja sudah terjadi kenaikan 1,1 derajat celcius dibandingkan tahun 1900. Pemanasan global telah meningkatkan bencana hidrometeorologis termasuk banjir bandang, kekeringan dan bahkan badai tropis serta gelombang panas yang mematikan.

Panel Ahli Perubahan Iklim Dunia telah menyajikan data yang sangat meyakinkan bahwa perubahan biofisika yang telah terjadi disebabkan bukan oleh sebab alami, melainkan akibat perilaku manusia. Diprakirakan bahwa sebelum abad 21 ini berakhir, suhu bumi akan naik melampaui 1,5°C bahkan 2°C, kecuali bila dapat dilakukan pengereman (mitigasi) gas rumah kaca termasuk karbondioksida dalam dekade-dekade mendatang (IPCC, 2021).

Dari aspek keanekaragaman hayati, dunia sedang memasuki kepunahan massal ke-6 akibat kegiatan manusia (Caballos dkk, 2015). Saat ini bumi telah kehilangan satu juta spesies. Manusia telah mengubah 75% rona ekologi daratan, dan 66 % lautan (IPBES, 2019)

Perlu dihitung pula jasa lingkungan yang disimpan ekosistem alami dan akan terancam oleh kepunahan spesies. Sebagai contoh, di lembah Napu (Sulteng) saja berbagai spesies burung dan mamalia melindungi tanaman kopi dari hama. Nilai perlindungan ini tidak kurang dari 730 USD per hektare (Maas dkk, 2013), angka yang mendekati fantastis.

baca : Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Kearifan Lokal. Seperti Apa?

 

Panorama hutan Lembah Napu, Poso, Sulawesi tengah. Foto : Arnold Dedi Hamid Makasau

 

Ancaman Ganda

Menurut Global Risk Report (GRR, 2020), perubahan iklim dan kebencanaan menempati urutan tertinggi baik dari kemungkinan terjadinya maupun dampaknya. Keanekeragaman hayati (kehati) berdasarkan laporan GRR dua tahun sebelumnya meningkat di urutan ke-8. Namun dalam kurun waktu dua tahun terakhir, persepsi akan dampaknya meningkat sehingga menempati urutan ke-2 sesudah perubahan ikllim.

Yang lebih menakutkan adalah ketika kedua ancaman ini berinteraksi. Sebagai contoh, perubahan iklim tengah menyebabkan pemutihan karang. Kematian karang meluas akan menyebabkan hilangnya berbagai barang dan jasa ekosistim sebesar 2,82 juta USD per hektar (Haya & Fuji, 2019).  Termasuk di dalamnya adalah stok ikan karang yang merupakan unsur penting pangan dunia.

 

Ketahanan Masyarakat Tradisional

Tren yang menjadi perhatian adalah dampak terhadap masyarakat tradisional dan pengetahuan mereka. Masyarakat tradisional (masyarakat adat pada khususnya) memiliki etika konservasi dan pengelolaan praktis yang kuat dan cocok bagi perlindungan kehati. Terbukti bahwa ketika umat manusia mengubah serta mendegradasi 75% daratan di bumi (dan 66 % luasan lautan), maka lokasi lokasi yang dihuni oleh masyarakat tradisional memiliki ketahanan terhadap degradasi (IPBES, 2019).

Keberadaan masyarakat tradisional dan ekosistem alami dibawah kelola mereka perlu diperhitungkan. Penelitian (Redford dan Mansour, 1996) mengungkapkan terdapat 300 juta masyarakat asli, tersebar di 70 negara, atau sekitar 12% hingga 19% luas daratan di bumi. Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) tahun 2019, tidak kurang dari 10,24 juta ha telah dipetakan ke dalam wilayah masyarakat adat di Indonesia.

baca juga : Hilangnya Kearifan Pada Alam

 

Hutan adalah sumber kehidupan masyarakat adat Dayak Tomun yang harus dilestarikan. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Menghadapi kebencanaan

Kebencanaan tentu perlu dihadapi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sebagai bagian penting dari tata kelola yang baik. Sebagai contoh, teknologi untuk menangkap dan menyimpan karbon, serta pemanfaatan hidrogen yang telah dipisah dari unsur karbon akan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, dan saat ini teknologi sudah dalam genggaman untuk melakukan 40% dekarbonisasi di dunia (WBCSD, 2021).

Bagaimanapun, Iptek konvensional bukan satu satunya cara dari banyak sekali inovasi dibutuhkan untuk menanggulangi kebencanaan. Belakangan ini meningkat kesadaran (dan pengakuan) akan pengetahuan tradisional dan lokal (indigenous and local knowledge).

 

Kekuatan pengetahuan tradisional

Kearifan tradisional dari masyarakat tradisional dan komunitas lokal mampu berkontribusi pada penguatan lanskap dan kehati termasuk pengayaaan berbagai spesies alami maupun yang didomestikasi. Sistem pengetahuan lokal terbukti dapat menyebar secara kewilayahan (regional) dan bahkan menjadikan pengetahuan itu relevan di berbagai belahan dunia.

Contohnya, antara lain pencegahan deforestasi dalam kawasan yang dikuasai masyarakat tradisional di Amazon, Brazil; identifikasi berbagai tumbuhan serta tanaman bermanfaat dalam ekosistem dengan kehati bernilai tinggi, misalnya kebun talun di Indonesia; dan restorasi lahan terdegradasi di Nigeria (IPBES, 2019)

baca juga : Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga

 

Foto Udara topografi Kampung Naga dengan latar Gunung Cikuray dan perbukitan di Wilayah Selatan Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sains warga untuk keberlanjutan

Dengan meningkatnya kesadaran akan kekuatan pengetahuan tradisional dan local (indigenous and local knowledge, atau ILK) maka inilah saatnya diberikan apresiasi yang layak. Artinya, ILK perlu ditempatkan setara dengan ilmu pengetahuan. Sistem kelola sasi misalnya menginspirasi agar waktu pemanenan dibatasi sehingga tercapai pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan. Sebagai contoh pengumpulan keong lola di Maluku hanya dapat dilakukan pada bulan bulan tertentu sehingga terbukti memberi pembatasan terhadap resiko pemanenan tak terbatas (unlimited entry), dan bahkan membangun spirit pengelolaan bersama terhadap sumber daya terbatas (governing the commons, Ostrom E., 1990).

Saatnya sudah tiba agar ILK dapat dimasukkan ke dalam domain sains warga. Pendekatan yang dikenal juga dengan istilah “ilmu khalayak” ini merupakan bentuk riset yang dilakukan oleh khalayak (dan tidak harus melulu peneliti atau ilmuwan profesional) (Gura, T., 2013).  Seandainya masyarakat tidak terlibat dalam rancangan pengumpulan data maupun interpretasi dan penulisan hasil riset tersebut, maka setidaknya mereka dapat membantu pengumpulan data. Inilah partisipasi masyarakat dalam riset ilmu pengetahuan.

Sangat menggembirakan bahwa dalam journal bereputasi Bioscience baru baru ini, para ilmuwan dapat membuktikan membangun sains warga terhadap pengetahuan tradisional dan lokal adalah efektif (Tengo, M dkk, 2021). Artinya membangun sinergi antara berbagai macam pengetahuan, dan penerapannya sangat bermanfaat bagi keberlanjutan ekosistim dan lanskap.

Salah satu contoh sains warga adalah “warung ilmiah lapangan” oleh Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia (Winarto, 2016). Melalui program ini petani dilatih untuk mengukur dan mendokumentasi perubahan cuaca bahkan perubahan iklim sehingga dapat mempersiapkan diri terhadap berbagai bencana banjir dan kekeringan.

baca juga : Masyarakat Adat, Krisis Iklim dan Konflik Pembangunan. Bagaimana Solusinya?

 

Masyarakat Adat Kajang, dengan kearifan lokal menjaga kelestarian hutan. Untuk mengambil kayu di hutan tak bisa sembarangan, dan dilakukan lewat ritual tertentu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Kesempatan emas sains warga

Mengembangkan pengetahuan tradisional dan lokal kemudian menerapkannya adalah suatu langkah sangat strategis bagi penghindaran dan penanggulangan bencana. Pemerintah termasuk pihak BRIN dapat menggalakkan agar pengetahuan tradisional dan lokal yang sangat berharga dapat diterapkan pendokumentasian dan penyebarannya melalui sains warga.

Produksi pengetahuan bersama tentunya akan lebih efektif dibandingkan pengetahuan hanya dihasilkan satu pihak saja.

Inilah saatnya seluruh elemen bangsa membangun kembali kearifan lokal. Seperti disampaikan pepatah Minangkabau: Basasok bajarami, bapandam pakuburan, soko pusako kalau tadalami, mambayang cahayo diinggiran (Bila ajaran adat dapat diresapi dan dimaknai kemudian diamalkan, maka masyarakat itu semakin tinggi mutunya).

 

***

 

*Mochamad Indrawan, peneliti ekologi pada Pusat Riset Perubahan Iklim Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, dan pegiat Yayasan KEHATI Indonesia

 

Exit mobile version