Mongabay.co.id

Lubang Bekas Tambang Timah Dijadikan Lokasi Wisata, Benarkah?

Lubang sisa penambangan timah di Desa Mapur, yang menurut warga mempunyai kedalaman sekitar 30 meter. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Kepulauan Bangka Belitung memiliki banyak lubang bekas tambang timah atau kolong. Sebagian dijadikan lokasi wisata, benarkah?

“Lokasi bekas galian tambang sebaiknya dilakukan reklamasi, sesuai perundangan yang berlaku. Setiap pemilik IUP dan IUPK memiliki kewajiban untuk menyediakan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang serta melaksanakan reklamasi sesuai rencana yang telah disetujui pemerintah,” kata Muhammad Rizza Muftiadi dari Simbang Institut kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [12/02/2022].

“Jadi, menurut saya kolong dijadikan lokasi wisata apalagi disebut ekowisata merupakan wujud kurang bertanggungjawabnya pemilik IUP, IUPK, dan pemerintah daerah dalam melakukan reklamasi lahan bekas tambang,” lanjutnya.

Dijelaskan Rizza, yang juga dosen di Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi [FPPB] Universitas Bangka Belitung, reklamasi dilakukan untuk mengembalikan kondisi lahan atau lokasi bekas penambangan menjadi seperti sebelum dilakukannya eksploitasi. Kondisi yang baik dari segi struktur tanah, komunitas, kelimpahan hingga keanekaragaman organisme yang hidup di lokasi tersebut, atau menjadi seperti semula sebelum dilakukan eksploitasi.

Reklamasi dilakukan sesuai perundangan yang berlaku, seperti UU No 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba dan Batubara, serta Peraturan Menteri ESDM No. 07 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Baca: Tambang Timah yang “Melubangi” Jejak Rempah Nusantara di Pulau Bangka

 

Lubang sisa penambangan timah di Desa Mapur, Kecamatan Riausilip, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Seperti diberitakan Mongabay Indonesia sebelumnya, di Kepulauan Bangka Belitung terdapat ratusan hingga ribuan kolong.

Penelitian berjudul “Analisis Sebaran Kegiatan Pertambangan Timah Menggunakan Sistem Informasi Geografi di Daerah Bangka, Provinsi Bangka Belitung” oleh Mustafa Luthfi dan Bambang Sunarwan, yang diterbitkan Jurnal Teknologi Vol. I, Edisi 13, Periode Juli-Desember 2008, menunjukkan di Pulau Bangka tahun 2006 terdapat 1.021 kolong.

Sejumlah kolong tersebut tersebar di Kabupaten Bangka [413], Bangka Selatan [124], Bangka Tengah [208], Bangka Barat [244], dan Pangkalpinang [32]. Disebutkan, kolong-kolong itu bukan hanya di lokasi eks tambang ilegal, tapi juga di wilayah KP [Kuasa Pertambangan] PT. Timah Tbk.

Pada 2015, jumlah kolong di Kepulauan Bangka Belitung tercatat 192 lubang. Setiap kolong luasannya antara 1-22 hektar. Data ini dikutip dari artikel “Pemulihan dan Pemanfaatan Lahan Bekas Penambangan Timah” yang dikutip dari bappeda.babelprov.go.id.

Baca: Rempah dan Jejak Peradaban Bahari di Kepulauan Bangka Belitung

 

Bentang alam Desa Mapur sekarang, dulunya berupa hutan dan kebun masyarakat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Direklamasi, baru jadi wisata

Rizza menilai, ekowisata atau wisata pada kolong tidak jelas wawasan lingkungan yang akan dijual. Sebab, ekowisata mengutamakan aspek konservasi alam, pemberdayaan sosial budaya, ekonomi masyarakat lokal, serta pembelajaran atau pendidikan.

“Jika lahan tersebut dijadikan kawasan wisata, sebaiknya ada regulasi yang jelas dalam peningkatan kualitas lingkungan, sosial budaya, serta ekonomi masyarakat dengan cara menyusun Rancangan Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah [RIPPARDA]. Ini mengatur kawasan eks tambang dapat dijadikan kawasan wisata ketika lahan tersebut sudah tidak akan dieksploitasi kembali,” katanya.

Sebab jika tidak ada perbaikan, wisata di lahan eks tambang, sama artinya menjual objek bekas eksploitasi yang menampilkan betapa buruknya dampak pertambangan yang seharusnya dikembalikan ke fungsi ekologisnya.

“Diperbaiki atau direklamasi dulu, baru dijadikan lokasi wisata jika sebelumnya berada di kawasan hutan. Atau, dikembalikan kepada masyarakat jika sebelumnya merupakan lahan pertanian atau perkebunan rakyat,” kata Rizza.

“Intinya, eks tambang itu harus direklamasi, bukan dijadikan wisata atau lainnya. Itu amanah undang-undang,” ujarnya.

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, kolong di Kepulauan Bangka Belitung sebagian dijadikan lokasi objek wisata, tempat mandi dan mencuci masyarakat, kolam ikan, serta sumber air baku perusahaan daerah [PDAM].

Baca: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

 

Aktivitas penambangan timah di sekitar pantai Tanah Merah, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah kolong yang populer sebaga lokasi wisata, misalnya Kolong Biru di Pulau Bangka. Kolong ini berada di antara Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah dengan Desa Air Bara, Kecamatan Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan.

Selain itu, ada Taman Kolong Wisata di Bukit Intan, Pangkalpinang; Taman Kolon Beguruh di Beluluk, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah; Wisata Kolong Bakung di Teladan, Toboali, Kabupaten Bangka Selatan; Danau Pading, Desa Perlang, Kabupaten Bangka Tengah.

Sementara di Pulau Belitung, kolong yang dijadikan lokasi wisata yakni Open Pit Nam Salu. Bahkan kolong ini menjadi geosite yang terdaftar di UNESCO Global Geopark. Kolong ini berada di Kampung Gunung, Desa Senyubuk, Kecamatan Kelapa Kampit, Kabupaten Belitung Timur.

Baca juga: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

Warga mandi di salah satu kolong di Desa Cambai, Kabupaten Bangka Tengah. Masyarakat Pulau Bangka sudah lama memanfaatkan air kolong sebagai andalan utama. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Banyak kerugian

Henri, peneliti biologi dari Universitas Bangka Belitung, menyatakan berbagai kerugian didapatkan jika kolong tidak direklamasi, atau langsung dijadikan lokasi wisata.

Pertama, upaya memperbaiki ekosistem yang rusak tidak lagi menjadi prioritas. Kedua, akan meningkatkan pencemaran lingkungan, misalnya persoalan sampah yang dibawa wisatawan. Ancamannya pencemaran tanah dan pencemaran air kolong.

Ketiga, menghambat tumbuhan-tumbuhan pionir untuk tumbuh sebagai bentuk suksesi secara alami di lokasi eks tambang.

“Tepatnya kolong dijadikan wisata, justru menambah kerusakan lingkungan,” tegasnya.

“Jadi, dari tiga alasan tersebut, saya tidak setuju kolong dijadikan lokasi wisata. Kolong merupakan kondisi ekosistem rusak, secara hakiki perlu kegiatan reklamasi sebagai upaya memperbaiki ekosistem yang telah rusak.”

Kolong biasanya akan menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang. Terutama, dari segi kualitas dan kuantitas air yang ada, bahkan logam berat yang terkandung di air yang tercemar tersebut sangatlah tinggi, seperti Pb, Cu, Zn dan beberapa logam berat lainnya.

Suatu kolong, apabila dijadikan sebagai wisata perlu kajian mendalam, terlebih daya dukung lingkungannya. Misal, harus mengedepankan upaya konservasi lingkungan dibandingkan aspek ekonominya.

“Walaupun aspek pada ekowisata terdiri aspek konservasi, peningkatan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Kolong memerlukan waktu bertahun, bahkan puluhan tahun untuk bisa dimanfaatkan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version