Mongabay.co.id

Apa Kabar Pembangunan Waduk Lambo? Kenapa Masyarakat Masih Menolak?

 

Padang rumput di lahan berbukit nampak menghijau. Dari kejauhan lereng bukit, terlihat seorang warga sedang menggembalakan sapi di lembah. Beberapa ekor sedang minum air di sungai.

Lowose nama tempat tersebut masuk dalam rencana lokasi yang akan dibangun Waduk Lambo oleh pemerintah. Waduk ini merupakan satu dari tujuh waduk yang direncanakan dan masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

Tampak beberapa lahan kebun sudah mulai dipagari warga menggunakan kayu. Depan areal jalan masuk ke lokasi pembangunan, warga membuat pos penjagaan dan memasang portal dari kayu.

Masyarakat adat Rendu, Ndora dan Lambo yang tergabung dalam 3 desa yakni Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa dan Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) tetap menolak rencana pemerintah itu.

“Kami tidak menolak pembangunan Waduk Lambo tapi kami menolak lokasi pembangunannya. Kalau dibangun di tempat tersebut maka lahan produktif masyarakat hilang,” ucap Wilybrodus B Ou.

Sekretaris Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) ini saat ditemui Mongabay Indonesia di kegiatan Konsolidasi Gerakan Masyarakat Sipil Se-Daratan Flores dan Lembata di Desa Rendubutowe, Selasa (18/1/2022) mengakui masyarakat sudah menyiapkan lahan alternatif untuk disurvey.

Lahan di Lowo Pebhu dan Malawaka tersebut ditawarkan kepada pemerintah namun tidak diindahkan. Pemerintah tetap bersikeras membangun di lahan yang ditentukan dan tidak mengindahkan protes warga.

“Pemerintah bersama BPN melakukan pengukuran secara sepihak dan masyarakat melakukan protes tapi tidak dihargai. Bahkan sekarang ada intimidasi kepada warga oleh mafia tanah,” ungkapnya.

baca : Masyarakat Menolak Lokasi Pembangunan Waduk Lambo, Kenapa?

 

Masyarakat adat Rendu membangun pos penjagaan di pintu masuk jalan tanah menuju lokasi perencanaan pembangunan Waduk Lambo di Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Wily sapaannya meminta agar KPK melakukan penyelidikan dan menangkap para mafia tanah. Ia juga meminta agar Presiden Jokowi bisa mendengar suara masyarakat juga jangan hanya mendengar masukan dari Pemda Nagekeo yang selalu mengatakan tidak ada masalah dalam pembangunan waduk ini.

“Kami sampai sekarang terus mendapatkan intimidasi agar bisa menyetujui pembangunan Waduk Lambo. Kami tidak mengerti kenapa pemerintah tetap memaksa membangun waduk di tanah kami,” ucapnya.

 

Warga Mengaku Bingung

Ketua FPPWL Bernadinus Gaso mengatakan sejak tim pemerintah mulai melakukan pengumuman dan survey pada 2001, masyarakat yang merasa keberatan diberikan kesempatan menyampaikan pendapat.

Masyarakat bersepakat menolak dan membangun solidaritas dengan desa-desa terkena dampak. Dibentuklah forum penolakan pembangunan waduk dan melakukan aksi protes serta surat menyurat.

“Pemerintah saat itu bisa menerima masukan, tapi sekarang berbalik tidak mendengarkan usulan masyarakat. Masyarakat ditindas, diintimidasi dan itu kami rasakan sampai sekarang,” ungkapnya.

Bernadinus katakan forum pun bertemu berbagai pihak di pemerintah termasuk Menteri PUPR namun tidak ada jawaban sampai sekarang. Dalam perjuangan ini para perempuan lebih dominan dan setiap hari selalu berjaga di pos penjagaan di dekat lokasi pembangunan.

“Kami hanya mempertahankan tanah ulayat kami, tanah yang selama ini memberi kami kehidupan. Kami hanya ingin agar suara kami juga didengar pemerintah karena kami bukan menolak pembangunan waduk ini,” ungkapnya.

baca juga : Tolak Rencana Lokasi Awal Waduk Lambo, Masyarakat Adat Rendu Berikan Alternatif

 

Areal yang direncanakan untuk genangan air Waduk Lambo di Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan warga Ndora, Kecamatan Nangaroro, Aloysius Sina yang menerima pembangunan waduk, merasa bingung dengan luas areal genangan Waduk Lambo yang sejak 2015 sampai 2021 luasnya selalu berubah-ubah setiap ada sosialisasi.

“Saya bertanya penetapan luas areal genagan ini ditetapkan oleh BWS, BPN ataukah Kementerian PUPR. Kenapa lokasi alternatif yang ditawarkan masyarakat tidak diterima,” terangnya.

Aloysius katakan, pemerintah menjawab pembangunan melihat beberapa aspek seperti akses jalan masuk dan ketersediaan debit air memungkinkan. Dia juga mempersoalkan ganti rugi yang tidak disampaikan secara transparan.

Dalam sosialisasi dikatakan ada 15 syarat ganti rugi seperti disampaikan tim apraisal atau tim penilai. Ia pun bingung kenapa ada masyarakat yang sudah menandatangani kwitansi pembayaran meskipun uangnya belum diterima.

“Banyak warga yang sudah tanda tangan kwitansi uang pembayaran ganti rugi lahan tapi fisik uang belum diterima sama sekali. Ada warga yang tanya dimana uang kami, tapi dikatakan sabar saja,” ucapnya.

 

Masyarakat Harus Tahu

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam kegiatan konsolidasi masyarakat sipil di Desa Rendubutowe mengatakan, dalam UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ada musyawarah bila ada keberatan dari masyarakat.

Dewi sesalkan adanya Undang-Undang Cipta Kerja yang menghapus berbagai pasal termasuk soal keberatan warga dan bila ada keberatan maka uang ganti rugi diambil di pengadilan. Warga dipersilahkan menempuh jalur hukum.

“Adanya Undang-undang Cipta Kerja membuat pengadaan tanah bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria. Tidak boleh mengambil tanah masyarakat dengan cara paksa,” ungkapnya.

baca juga : AMAN Minta Pengukuran Tanah Adat untuk Waduk Lambo Dihentikan. Kenapa?

 

Para perempuan dari komunitas adat sedang berjaga di depan pintu masuk lokasi pembangunan Waduk Lambo di Lowose, Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, NTT. Foto : AMAN Nusa Bunga

 

Dewi sebutkan, terkait pengadaan tanah, seharusnya masyarakat adat terdampak diberi kesempatan mengetahui rencana pembangunan seperti apa, berapa luas lahan hingga mekanisme penyelesaian ganti kerugian.

Lanjutnya, ganti rugi bukan saja dalam bentuk uang tapi masyarakat memilih tanah pengganti dan pemerintah yang akan membayarnya. Bila tidak ada kesepakatan maka masyarakat tidak boleh digusur.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan pihaknya mendapatkan laporan dari komunitas adat Rendu, Ndora dan Lambo terkait rencana pembangunan Waduk Lambo.

Rukka sebutkan,ternyata ada banyak laporan dari komunitas masyarakat adat tentang upaya-upaya perampasan wilayah adat yang dilegalisasi dengan peraturan tetapi sarat dengan manipulasi, politik pecah belah,penipuan dan intimidasi.

“Masyarakat adat bekerja di kampung menghidupi keluarganya, mencari makan dari alam.Mereka tidak mengetahui ketika kampungnya sudah berubah menjadi milik orang lain hanya karena selembar izin,” ucapnya.

 

Tahap Pembayaran Lahan

Bupati Nagekeo, Johannes Don Bosco Do dalam dalam konferensi pers di Aula VIP Kantor Bupati Nagekeo, Jumat (17/12/2021) seperti dikutip dari kupangtribunnews.com mengatakan, Kementrian PUPR telah menunjuk dua perusahaan nasional Waskita Karya dan Brantas untuk mengerjakan proyek pembangunan Waduk Lambo.

Don sapaannya sebutkan, kegiatan pembangunan direncanakan akan berakhir tahun 2024. Soft launching dilakukan pada akhir semester satu masa berakhir jabatan Presiden Jokowi.

“Kita mempunyai waktu 3 tahun dan berusaha agar suasana kondusif sehingga dua BUMN yang ditunjuk dan satu perusahaan lokal ini bisa menyelesaikan proyek ini dengan baik,” ucapnya.

 

Para perempuan dari komunitas adat sedang menggelar aksi di depan pintu masuk lokasi pembangunan Waduk Lambo di Lowose, Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, NTT. Foto : AMAN Nusa Bunga

 

Don mengakui identifikasi lahan sudah sejak awal dilakukan secara terbuka. Pemerintah telah menyiapkan kompensasi ganti rugi maupun pendampingan terhadap warga yang terdampak pembangunan waduk.

Dia jelaskan, setelah selesai survei maka Gubernur NTT mengeluarkan penetapan lokasi dan dilanjutkan dengan proses tender. Semuanya sudah dilakukan sejak Agustus 2021.

Lanjutnya, proses identifikasi lahan dan penetapan ganti rugi oleh tim apraisal  sudah berjalan. Hasilnya pun sudah disampaikan kepada masyarakat sehingga sedang memasuki tahap pembayaran ganti rugi.

“Bagi masyarakat yang masih merasa tidak puas dan ingin mencari keadilan, pemerintah menyiapkan salurannya melalui lembaga pengadilan. Silahkan diadukan ke sana, tapi tidak menghambat pekerjaan yang sedang berjalan,” tuturnya,

 

Exit mobile version