Mongabay.co.id

Krisis Lingkungan Makin Parah, Begini Masukan Walhi

 

 

 

 

Walhi menilai krisis lingkungan makin parah, antara lain terlihat dari bencana ekologis beruntun di berbagai wilayah. Baru pertengahan Februari 2022 ini saja, bencana seperti banjir, longsor dan cuaca ekstrem sudah lebih 600 kejadian. Organisasi lingkungan ini pun memberikan masukan atau solusi kalau ingin selamat dari krisis lingkungan ini, apakah itu?

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, prasyarat keselamatan rakyat antara lain, pemulihan lingkungan hidup berbasis capaian, perubahan sistem perundangan sektor lingkungan dan sumber daya alam. Kemudian, penyelesaian konflik melalui pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat.

Langkah lain, katanya, mengembalikan kedaulatan dan pengelolaan ruang ruang hidup rakyat, sampai perlu UU Perubahan Iklim sebagai satu solusi keluar dari krisis iklim.

Dia bilang, satu contoh bencana ekologis seperti banjir di Kalimantan Selatan, awal 2021. Bencana ekologis ini dorongan cuaca ekstrem dan pembukaan lahan besar-besaran serta akumulasi masalah dari tahun sebelumnya.

 

 

 

Luas Kalsel 3,7 juta hektar dengan setengah buat izin tambang, sawit, hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH)).

“Sementara di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, banjir menimpa wilayah yang tak pernah banjir sebelumnya,” kata Zenzi dalam temu media soal tinjauan lingkungan hidup Walhi 2022, akhir Januari lalu. Dia mengacu banjir bandang di Sintang, Kalbar, November tahun lalu.

Mengutip Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang 2021 terjadi 1.288 banjir. Kemudian 623 longsor dan 677 puting beliung. Ketiganya, kata Zenzi, merupakan bencana hidrometeorologi yang dipengaruhi iklim dan lingkungan yang rusak.

“Faktor utama krisis ini adalah proses perampasan dan akumulasi ketimpangan sumber daya alam.”

Ketimpangan ini dapat dilihat dari peruntukan kawasan hutan. Dari catatan Walhi, 33.448.501,37 hektar hutan Indonesia terbebani izin usaha pemanfaatan yang dikuasai 1.502 perusahaan.

Sejak 1984-2021, terjadi pelepasan 7,3 juta hektar kawasan hutan dengan 94% atau 6,9 juta hektare jadi perkebunan.

Kondisi ini, katanya, juga terjadi di masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sekitar 1,2 juta hektar atau 94% pelepasan kawasan hutan dialokasikan untuk perkebunan.

 

Baca juga: Nasib Kota Gorontalo Kala Lahan Terus Terdegradasi

 

Keberpihakan pemerintah pada korporasi juga terlihat di sektor pertambangan. Pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) lebih besar ketimbang IPPKH untuk sektor non pertambangan.

Walhi mencatat, terdapat 343.000 hektar IPPKH pertambangan, sektor non pertambangan 36.000 hektar.

Puspa Dewi, Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Walhi, menyebut, IPPKH pertambangan ini jauh dengan data konsesi IUP kawasan hutan mencapai 4,5 juta hektar.

“Patut dicurigai, perusahaan tambang ini beroperasi tanpa IPPKH.”

Saat ini, katanya, pertambangan juga marak di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini mengkhawatirkan, mengingat kawasan ini terancam perubahan iklim.

Berdasarkan data izin usaha pertambangan (IUP) per November 2021, ada 2,9 juta hektar pesisir dan 687.000 hektar wilayah laut kena kapling dengan 1.405 IUP dan 324 IUP.

“Kebanyakan tambang emas,” kata Puspa.

 

***

Bencana ekologis dan kesenjangan kuasa serta pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, Zenzi sebut justru dilegalkan dengan berbagai regulasi. Dua tahun beralakangan, regulasi lahir bukanlah mandat rakyat. Dia sebutkan, seperti UU Cipta Kerja (omnibus law), UU Pertambangan Mineral dan Batubara sampai UU KPK. “[UU] yang dianggap sebagai pengawal sumber daya alam dan kekayaan negara justru diperlemah.”

Padahal, kata Zenzi, pemerintah diberi mandat konstitusi untuk menjalankan pengusahaan sumber daya alam yang memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi rakyat. Regulasi yang keluar, malah bentuk pembangkangan terhadap UUD 1945.

Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas menyatakan hal serupa. Dia khusus merujuk putusan Mahkamah Konstitusi tahun lalu yang menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Dengan putusan itu, katanya, seharusnya dipahami pemerintah kalau UU Cipta Kerja tidak boleh dijalankan maupun memiliki aturan turunan. “Anehnya, ada PP 113/2021 tentang Bank Tanah.”

 

Foto Udara: Melihat Langsung Penyebab Banjir di Aceh Utara

 

Banjir bandang karena luapan Kali Rejoso, menggenangi Desa Kedawung Kulon, Pasuruan. Desa terendam lebih semeter. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Kementerian Dalam Negeri juga mengeluarkan peraturan Nomor 28/2021 tentang tindak lanjut putusan MK itu. Isi Permendagri itu justru meminta seluruh kepala daerah menindaklanjuti UU Cipta Kerja, alih-alih memuat putusan MK.

“Jadi lucu, seperti ‘ayo jangan pedulikan putusan MK, jalankan UU Cipta Kerja ini.”

Selain pembangkangan konstitusi, terjadi dua masalah lain yang menurut Feri juga serius yakni penyimpangan tata kelola pemerintahan dan norma.

Penyimpangan tata kelola pemerintahan ini, katanya, bisa terlihat pada kasus pengembangan lahan pangan skala besar (food estate) yang menyimpang secara struktural dengan menunjuk Kementerian Pertahanan sebagai penanggungjawab program.

Untuk penyimpangan norma, contoh UU Cipta Kerja. UU ini, katanya, tidak memiliki konsep pembangunan peka lingkungan hidup yang bersandar pada Pasal 28H UUD 45.

 

Konflik dan konflik

Selain bencana alam, konflik lahan dan sumber daya alam juga terus terjadi. Cara negara mengelola sumber daya alam ini bisa membuat konflik meluas dan laten. Walhi menilai, salah satu pemicu kondlik adalah proyek strategis nasional (PSN), kawasan strategis nasional dan kawasan strategis pariwisata nasional.

Proyek-proyek seperti ini, kata Puspa, berpotensi merampas lahan, menghancurkan lingkungan hidup, penggusuran hingga perampasan wilayah kelola rakyat. “Ada 211 proyek dan program strategis nasional.”

Belum lagi, katanya, praktik pengelolaan sumber daya alam ini akan melanggengkan kriminalisasi pada para pejuang lingkungan hidup.

Menurut Feri, UU yang dipaksakan kerap membuat jurnalis, pejuang lingkungan dan aktivis HAM terseret ke ranah hukum ketika bersikap kritis.

Dalam catatan Walhi, ada tipologi kriminalisasi yang terjadi belakangan ini. Pertama, pembatasan ruang-ruang publik dalam konteks digital dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sering diikuti fabrikasi suara media sosial melalui buzzer.

Kedua, dalam protes aksi langsung bisa dilihat dari penangkapan saat protes langsung. Ketiga, kriminalisasi dengan pendekatan UU sektoral.

 

***

Keputusan pemerintah mencabut ribuan izin pertembangan, kehutanan, hak guna usaha maupun izin pinjam pakai kawasan hutan awal tahun itu mendapat sambutan positif berbagai pihak. Namun, Walhi menilai belum jadi solusi komprehensif atas ketimpangan pengelolaan sumber daya alam.

Hanya, 77 izin usaha pemanfaatan hutan dicabut dengan luas 2,1 juta hektar. Angka itu mencakup 5% perusahaan dari seluruh izin di hutan Indonesia.

Untuk pencabutan izin pelepasan kawasan hutan terhadap 129 izin seluas 1,7 juta hektar juga hanya mencakup 25% dari total pelepasan kawasan hutan sejak 1984.

Untuk IPPKH pun demikian. Pencabutan 21 izin seluas 18.000 hektar hanya 4% dari luas pemberian izin jenis ini sejak 1992.

“Izin yang dicabut tak begitu signifikan dengan luas dan banyaknya entitas perusahaan yang ada,” kata Puspa.

Longsor di Deli Serdang, Sumut yang terjadi November 2021. Foto: BNPB
Bnjir yang terjadi di Ketapang, Kalimantan Barat, Febrari 2022. Bencana ekologis, seperti banjir, longsor dan lain-lain datang bertubi di Indonesia menandakan krisis lingkungan makin parah. Foto: BNPB

 

 

Exit mobile version