Mongabay.co.id

Pangan Lokal Nusantara, Semua Pihak Harus Dilibatkan Menjaganya

 

 

Ekosistem hutan dan jenis tumbuhan di Daerah Aliran Sungai Rungan, tidak jauh berbeda dengan kondisi di aliran sungai lainnya di Kalimantan Tengah. Pengetahuan masyarakat dalam mengolah dan memanfaatkan sumber bahan makananlah yang membedakannya.

Karondam, makanan khas dari Kelurahan Bukit Sua, Kecamatan Rakumpit, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ini sungguh menggugah rasa. Makanan tersebut dibuat dari olahan ikan hasil fermentasi selama enam hari.

Ikan sungai itu diracik dengan berbagai bumbu khas seperti umbut potok atau kecombrang, jeruk nipis, kunyit, jahe, kemiri, dan tomat yang kemudian dimasak hingga airnya mengering. Setelah itu, ikan siap disantap.

Karondam juga dapat dibuat menjadi abon ikan, jika dimasak hingga kering. Dengan begitu, selain tahan lama, juga memberikan manfaat ekonomi sebagai oleh-oleh khas dari Kelurahan Bukit Sua.

Baca: Sagu, Sumber Pangan Nasional yang Belum Dimaksimalkan

 

Masakan Karondam dari olahan ikan yang difermentasi selama enam hari. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Ada juga masakan khas bernama Lawas Humbang. Cara mengolahnya, ikan segar dimasak dalam ruas bambu. Lalu, diberi daun kalapimping, daun yang memberi cita rasa asam pada ikan.

Daun ini, selain digunakan untuk memasak oleh Suku Dayak di jalur Sungai Rungan, juga berfungsi sebagai obat herbal, pegal linu, dan mengobati luka.

Martalisa, warga Kelurahan Bukit Sua menyatakan, di Sungai Rungan masih terdapat jenis ikan seperti belida, baung, dan tampahas [tapah]. Namun, populasinya kini tidak sebanyak beberapa tahun sebelumnya.

“Kondisi ini dikarenakan ada yang menangkap dengan cara menggunakan setrum, yang tentunya dapat mematikan segala jenis dan ukuran ikan,” terangnya pada acara “Adaptasi Perubahan Iklim Terhadap Pangan Lokal” di Palangkaraya, Rabu [16/02/2022].

Meski begitu, menurutnya, kecintaan masyarakat terhadap pangan lokal tidak pernah luntur. Meski ikan mulai berkurang, namun warga giat bercocok tanam, terutama di pekarangan rumah.

“Kami menanam sayuran dan tanaman lain, dengan begitu kecintaan kami terhadap pangan lokal tetap terjaga,” ujarnya.

Baca: Pandemi Corona: Perkuat Keragaman Pangan, Indonesia Sehat Bukan Hanya Beras

 

Masakan Lawas Humbang, yaitu ikan segar dimasak dalam ruas bambu. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Ragil Imam Wibowo atau Chef Ragil dari Nusa Indonesia Gastronomy, yang hadir di acara tersebut menyatakan, berdasarkan hasil dialog dengan warga, banyak tumbuhan pangan hutan yang mulai sulit dicari. Saat ini, masyarakat masih bisa mendapatkan sayuran dari lingkungan sekitar.

“Sebagai Chef, hal paling sedih adalah bila bahan-bahan makanan alami di masyarakat semakin hilang. Semoga ini tidak terjadi,” tuturnya.

Menurut Ragil, dari menu makanan masyarakat Sungai Rungan, sangatlah menarik dan berbeda dengan daerah lain, dari segi teknik [pengolahan] dan bahan. Namun, jika lahan untuk tanaman  dan bahan pangan ini berkurang, terlebih tidak ada, otomatis makanan mereka juga akan tinggal kenangan.

“Rasa ikan yang difermentasi itu sangat khas. Intinya, makanan bersifat universal dan bisa dinikmati siapa saja,” terangnya.

Baca: Pandemi Corona, Akankah Terjadi Krisis Pangan di Indonesia?

 

Jenis ikan ini masih ditemukan di Sungai Rungan. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Makanan lokal

Manager Permbedayaan Masyarakat Borneo Nature Foundation [BNF], Nona mengatakan, dari festival pangan lokal diharapkan terjadi pertukaran pengetahuan antara masyarakat, petani, dan nelayan dalam hal mengolah pangan lokal. Terutama, menghadapi ancaman perubahan iklim.

“Pangan lokal, diharap kembali diperhatikan masyarakat luas,” terangnya.

Dengan begitu, masyarakat percaya diri dan bangga dengan produk pangan dan makanan khas mereka.

“Bicara hutan itu tidak hanya kayu, ada banyak bahan pangan. Dengan menjaga sumber pangan, masyarakat juga menjaga hutan sebagai sumber penghidupan mereka,” paparnya.

 

 

Exit mobile version