Mongabay.co.id

Terpilih sebagai Kepala Desa, Awaluddin Fokus Perbaiki Mangrove dan Terumbu Karang

 

Sesaat setelah salat Jumat, Awaluddin (34) naik ke podium mengumumkan hal penting kepada warga. Kepala Desa Tompotana, Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan ini, mengumumkan agar setiap warga pemilik lahan mangrove melaporkan ke kepada dusun masing-masing ketika ingin menjual lahan atau tanaman mangrovenya.

Di desa ini, berbeda dengan daerah lain, mangrove menjadi aset pribadi warga. Hampir 80 persen warga memiliki lahan yang ditumbuhi mangrove. Tanaman ini biasanya dijual untuk bahan pembuatan arang, yang akan dijual ke rumah makan di Makassar.

Awaluddin baru sebulan dilantik sebagai kepala desa, tepatnya 22 Desember 2021, setelah sebulan sebelumnya memenangkan kontestasi pemilihan kepala desa. Ia mengalahkan kepala desa yang menjabat sebelumnya.

Awaluddin memutuskan untuk maju sebagai calon kepala desa setelah mendapat dorongan masyarakat dan keluarga. Pengalaman sebagai fasilitator dan aparat desa membuat masyarakat merasa yakin dengan kemampuannya mengelola desa.

“Awalnya saya tidak langsung mengiyakan karena kami ini satu rumpun keluarga, ada kekhawatiran akan menimbulkan perpecahan keluarga. Namun setelah melalui pertimbangan matang dan melihat banyak hal yang harus diperbaiki di desa, saya akhirnya merasa terpanggil,” katanya kepada Mongabay, Jumat (28/1/2022).

baca : Tantangan dan Harapan Keberlanjutan Mangrove di Tanakeke

 

Awaluddin (34), Kepala Desa Tompotana, Kepulauan Tanakeke, Takalar, Sulsel yang baru akan fokus pada perbaikan mangrove dan terumbu karang serta pemberdayaan perempuan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Awaluddin menyelesaikan pendidikannya di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Negeri Makassar (UNM) pada tahun 2018 silam. Setelah lulus, ia sempat menjadi guru honorer dan petani rumput laut, sebelum akhirnya bergabung dengan Blue Forests dalam implementasi program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam di Tanakeke.

Meski belum menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), ia segera menempuh langkah strategis menyelesaikan sejumlah masalah di desanya, sebagaimana dijanjikan pada masa kampanye. Salah satu janjinya adalah bagaimana pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan pemberdayaan kelompok perempuan dan marginal.

“Perempuan akan mendapatkan porsi dalam pemerintahan dan pemberdayaan, termasuk dalam pengelolaan BUMDes yang semuanya melibatkan perempuan. Selain karena melihat peran penting mereka terkait pengelolaan desa, mereka juga lebih telaten, rapi dan fokus dalam bekerja.”

Alasan lain memilih banyak melibatkan perempuan, karena sebagian perempuan di desa Tompotana juga telah terdidik dan kritis, alumni program RCL Oxfam beberapa tahun silam. Sebagian di antaranya masih aktif berkegiatan dalam Womangrove yang secara aktif melakukan penanaman, pengawasan dan edukasi terkait mangrove.

Terkait pemberdayaan perempuan, hal yang akan dilakukan adalah peningkatan kapasitas ekonomi kelompok perempuan, pemberian bantuan modal usaha untuk perempuan dan mendukung penuh kegiatan Womangrove. Semuanya akan dituangkan dalam RPJMDes sebagai program kerja untuk tahun 2022-2028.

“Untuk mendukung Womangrove sendiri, kami telah membeli lahan bekas tambak seluas 1,5 hektar yang nantinya akan ditanami mangrove dan dikelola oleh Womangrove. Kami melihat antara perempuan dan mangrove memiliki relasi yang kuat. Sama halnya dengan hal-hal domestik rumah tangga, kalau ingin mangrove dikelola dengan baik maka perempuan lah yang paling berkontribusi.”

perlu dibaca : Setelah 6 Tahun, Bagaimana Kiprah Womangrove di Tanakeke?

 

Perempuan diberi ruang yang luas untuk program pemberdayaan desa Tampotana, termasuk dilibatkan sebagai aparat desa dan pengelolaan BUMDes. Salah satu kelompok perempuan, Womangrove, akan mendapat perhatian besar untuk pemberdayaan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Ia juga fokus pada pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Permasalahan besar adalah pengelolaan sumber daya alam, terkait mata pencaharian dari hasil laut yaitu rumput laut dan nelayan ikan dan kepiting.

“Masalahnya adalah cara pengelolaan masyarakat yang tidak berkelanjutan. Meski masih kecil, ikan dan kepiting sudah diambil. Ini yang perlu kita perhatikan dari pemerintah desa, bagaimana supaya masyarakat betul-betul memahami pengelolaan secara berkelanjutan.”

Awaluddin juga akan melakukan penataan dan penguatan kembali aturan desa terkait pengelolaan mangrove dan terumbu karang. Pada tahun 2016 silam, desa Tompotana dan sejumlah desa lainnya menyepakati aturan tentang pengelolaan mangrove.

Meski sempat berjalan efektif selama beberapa tahun, namun implementasinya melemah seiring dengan masifnya penebangan mangrove di kawasan-kawasan yang telah disepakati sebagai wilayah konservasi.

“Untuk mangrove, kami tidak melihat sepenuhnya aktivitas warga sebagai hal negatif, karena masyarakat kami sekitar 80 persen bergantung pada mangrove karena nilai ekonomisnya sangat besar. Kami sebagai pemerintah desa perlu mengatur masyarakat dan tidak melarang secara langsung, tetapi mengatur supaya penebangan di desa dengan sistem tebang pilih sesuai Perdes yang dibuat pada tahun 2016.”

Terkait terumbu karang, sebagai wilayah yang awalnya merupakan kawasan koral yang luas, terjadi kerentanan terkait aktivitas warga melakukan pengambilan karang untuk kebutuhan bangunan dan diperjualbelikan. Inilah yang akan diperketat aturannya.

baca juga : Murniati, Guru Honor Penyelamat Mangrove di Tanakeke

 

Sebagian warga Desa Tompotana adalah nelayan, rumput laut, dan usaha arang mangrove. Mereka akan diberdayakan agar mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Awaluddin menjadi kepala desa setelah melewati proses inisiasi yang panjang, dan berkat pengalaman mengorganisir warga sebagai fasilitator Blue Forests di desanya pada 2015-2019. Setelah keterlibatannya sebagai fasilitator, ia kemudian memanfaatkan keahlian dan pengalamannya dengan menjadi bendahara desa Tompotana.

“Pengalaman yang diperoleh dari hasil keterlibatan program RCL Oxfam banyak sekali, tidak hanya membentuk karakter, tapi juga menambah pengetahuan dan pengalaman, dan paling penting mengubah pola pikir. Dulu saya terlibat program hanya semata menyambung hidup atau mencari pembeli rokok, namun seiring waktu tertanam rasa tanggung jawab bagaimana membangun desa.”

Dampak program RCL Oxfam juga berkontribusi mengubah pola pikir masyarakat agar mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Meskipun sempat mengalami perubahan akibat pandemi, yang kemudian memaksa sebagian masyarakat untuk kembali ke kebiasaan lama, yaitu pengelolaan sumber daya alam yang tak ramah lingkungan.

Meski demikian, Awaluddin optimis bisa memperbaiki kondisi yang ada dengan pendekatan kekeluargaan dan komunikasi yang intens dengan masyarakat.

“Kami pendekatan ke pemilik mangrove, para pengusaha arang. Saya umumkan di masjid kalau ada masyarakat yang menjual mangrove agar melapor ke kepala dusun, kalau ada yang melapor maka akan dipengaruhi agar jangan dijual semua karena disimpan sebagian untuk kepentingan kampung.”

Selain itu, dilakukan pendekatan untuk mengalihkan pekerjaan warga menjual arang dari kayu mangrove dengan bantuan desa.

“Pemerintah desa tidak memaksakan namun kami lakukan, tapi kami banyak sosialisasi dan berdialog bahwa mangrove juga penting untuk dijaga dan dipertahankan, karena ini terkait kepentingan bersama.”

baca juga : Situs Mangrove Bangko Tappampang Takalar Terancam Industri Arang

 

Industri arang dari kayu mangrove berkembang pesat seiring meningkatnya permintaan dari warung-warung makan di Makassar. Jika dulunya hanya terdapat 4 dapur arang kini jumlahnya sekitar 12 dapur arang, meningkatkan tekanan terhadap mangrove di Tanakeke, Takalar, Sulsel. Foto: Blue Forests

 

Awaluddin juga tengah merancang program pengelolaan hasil laut agar tidak lagi terfokus penjualannya ke daratan Takalar.

“Selama ini produk ikan harus bawa ke Takalar dan manfaat ekonomi bukan dinikmati sepenuhnya orang Tanakeke tapi orang daratan. Kalau diubah bagaimana supaya orang daratan bisa ke Tanakeke untuk membeli ikan supaya nilai ekonominya meningkat. Kalau sekarang di daratan gampang dimainkan harga, kalau di sini maka terputar roda ekonomi, orang pulau yang tentukan harga.”

Desa Tompotana sendiri adalah salah satu desa di Kepulauan Tanakeke, dibangun di atas kawasan coral yang luas. Desa berpenduduk 1.128 jiwa dan 339 KK ini tak memiliki banyak sumber daya yang bisa diharapkan selain dari mangrove, rumput laut dan ikan-ikan yang mulai terbatas.

Desa ini juga tak memiliki sumber daya air tawar yang memadai, hanya mengandalkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk masak dan minum. Meski belum ada kajian, namun konsumsi air hujan ini dikhawatirkan memberi dampak kesehatan bagi warga untuk jangka panjang.

 

Exit mobile version