- Enam tahun silam puluhan perempuan membentuk wadah yang disebut Womangrove. Mereka banyak terlibat dalam aktivitas penanaman hingga edukasi mangrove.
- Para aktivis Womangrove ini sendiri umumnya adalah ibu rumah tangga berasal dari sejumlah kelompok usaha bentukan program Restoring Coastal Livelihood Oxfam berjumlah sekitar 20-an orang dan telah mengikuti Sekolah Lapang yang difasilitasi oleh Mangrove Action Project (MAP) atau sekarang bernama Blue Forests.
- Meski gencar melakukan penanaman dan sosialisasi mereka dihadapkan pada kondisi masih maraknya penebangan mangrove, apalagi di masa pandemi.
- Mereka berharap peran pemerintah daerah dalam hal pengawasan ditingkatkan dan ada sanksi hukum berat bagi warga yang melakukan penebangan liar.
Tahun 2015 silam puluhan perempuan di Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, berkumpul membentuk sebuah wadah yang disebut Womangrove. Sesuai dengan namanya, Womangrove adalah perempuan penjaga mangrove. Gabungan kata ‘woman’ dan ‘mangrove’. Mereka banyak terlibat dalam aktivitas penanaman hingga edukasi mangrove.
Seperti apa kiprahnya kini?
Dalam sebuah kunjungan ke Kepulauan Tanakeke akhir Oktober 2021 lalu, saya bertemu dengan beberapa aktivis Womangrove yang hingga saat ini masih aktif dalam kegiatan-kegiatan penanaman mangrove. Salah satunya adalah Hayati (30). Ia perempuan yang saya temui 6 tahun silam ketika itu sedang melakukan pencatatan di dalam tambak yang diubah menjadi kawasan mangrove di Dusun Tompo Tana, Desa Tompotana, Kecamatan Kepulauan Tanakeke.
“Tambak-tambak yang dulu ditanami mangrove dan sebagai tempat penelitian sudah sangat bagus kondisinya. Pemilik tambak bahkan sudah bisa mendapatkan hasil berupa ikan dan kepiting yang semakin banyak,” katanya.
Tambak yang dia maksud adalah tambak yang terlantar karena tidak produktif lagi. Melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam bersama mitranya Mangrove Action Project (MAP) yang kini berganti nama menjadi Blue Forests atau Yayasan Hutan Biru (YHB), tambak itu diubah menjadi kawasan mangrove melalui pendekatan yang disebut Ecological Mangrove Restoration (EMR).
Lahan tambak dikembalikan ke kondisi awal sebelum dijadikan tambak. Para perempuan Womangrove menebar mangrove dan menghitung pertumbuhannya. Mereka juga mencatat perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk jumlah dan jenis ikan yang mulai muncul sejak dilakukannya upaya pemulihan.
baca : Womangrove, Para Perempuan Penyelamat Mangrove di Tanakeke
Para aktivis Womangrove ini sendiri umumnya adalah ibu rumah tangga berasal dari sejumlah kelompok usaha bentukan program RCL Oxfam berjumlah sekitar 20-an orang. Mereka awalnya didampingi membentuk kelompok usaha dan mengusahakan produk-produk tertentu, termasuk budidaya rumput laut. Mereka juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas diri dan terlibat dalam program-program desa. Mereka juga diikutkan dalam Sekolah Lapang Mangrove.
Sayangnya kelompok-kelompok usaha yang mereka bentuk tidak berkelanjutan dan hanya produksi pada waktu-waktu tertentu.
“Kendala utamanya pada pemasaran, apalagi kami tinggal di pulau yang jauh dari akses kota,” ungkap Rabbasiah Nutta, anggota Womangrove lainnya.
Terlepas dari ketidakaktifan usaha-usaha tersebut, mereka merasa mendapat manfaat secara jangka panjang dari keterlibatan mereka dalam program RCL Oxfam dan Womangrove.
“Secara jangka panjang terbangun kesadaran kritis dari para perempuan. Kami banyak terlibat dalam berbagai program desa atau kritis pada program yang ada. Sesuatu yang tak ada sebelumnya,” ujar Hayati.
Beberapa perempuan yang pernah terlibat dalam program ini bahkan ada yang menjadi aparat desa, karena kecakapan mereka dalam hal administrasi dan berbicara berkat keterlibatan mereka dalam berbagai workshop yang dilaksanakan oleh program RCL Oxfam.
baca juga : Saat Perempuan Bajo Melestarikan Mangrove untuk Cegah “Musim Janda”
Dampak lainnya adalah kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian mangrove karena selama ini mereka hanya melihat mangrove sebagai kayu bakar atau bahan bangunan.
“Ada kesadaran yang muncul betapa pentingnya menjaga mangrove untuk menjaga pulau dari abrasi dan terjangan ombak besar. Peran perempuan sangat penting karena memang sangat terkait dengan kehidupan sehari-hari. Ini juga terkait kesetaraan.”
Meski keberadaan Womangrove tidak lagi sesolid dulu, namun dalam momentum tertentu mereka kadang berkumpul dan melakukan aktivitas bersama. Bahkan dalam setiap kegiatan mangrove perempuan lah yang paling banyak terlibat.
“Terakhir di tahun 2020 lalu bersama BPDAS, kami tanam sekitar 110 ribu bibit mangrove. Sebagian besar yang terlibat adalah perempuan khususnya dari Womangrove ini,” kata Hayati.
Kelebihan melibatkan aktivis perempuan Womangrove ini karena mereka sangat paham di wilayah mana mangrove bisa tumbuh dengan baik dan cara menanam yang baik. Mereka juga tidak hanya terlibat dalam penanaman namun juga dalam hal pemeliharaan dan pengawasan.
perlu dibaca : Cerita Perempuan Penyelamat Mangrove dari Nagalawan
Pemahaman mereka akan pentingnya mangrove menjadikan mereka secara aktif ikut mengawasi mangrove dari upaya-upaya penebangan liar yang biasanya dilakukan secara diam-diam.
“Setidaknya kalau kami lihat ada penebangan mangrove bisa diingatkan agar tidak dilakukan meskipun kadang juga kami dapatkan orang yang keras kepala tak mau ditegur.”
Marwanti atau Daeng Lebong, aktivis Womangrove lainnya yang berasal dari Dusun Lantampeo Desa Minasa Baji, Kecamatan Tanakeke, mengakui banyak pengetahuan setelah terlibat dalam Womangrove.
“Dulu bekas tambak yang ditinggal orang tua tidak kami fungsikan, namun kemudian terlibat dengan Womangrove dan kerja sama dengan program RCL Oxfam dan MAP untuk pemanfaatan bekas tambak itu untuk ditanami mangrove. Kami belajar juga bahwa biota-biota laut yang ternyata akan muncul kalau mangrovenya bagus.”
Melalui sebuah kerja sama dengan program RCL Oxfam dan MAP atau Blue Forests, warga sekitar menyerahkan lahannya untuk ditanami mangrove dan tidak digunakan selama kurun waktu tertentu. Kini, mangrove di puluhan hektar bekas tambak itu tumbuh lebat. Marwanti sendiri menyerahkan sekitar dua hektar tambaknya dalam kesepakatan tersebut dan belum ada keinginan untuk memfungsikannya kembali menjadi tambak.
“Kami sudah rasakan manfaatnya kalau mangrovenya bagus. Dulu kalau mau dapat kerang biri-biri harus jauh mencari, sekarang di sekitar mangrove itu mudah diperoleh apalagi kalau musim hujan. Pada waktu tertentu bisa dapat sampai 5 ember, harga per ember Rp50 ribu, padahal hanya dalam waktu jam,” jelasnya bersemangat.
Marwanti kemudian menunjukkan bekas tambak di belakang rumahnya yang dipadati tanaman mangrove. Keberadaan mangrove bisa mencegah kawasan Lantampeo dari ombak dan abrasi. Menjadi semacam benteng kampung.
baca juga : Para Perempuan Pencari Kepiting dari Hutan Mangrove Merauke
Meski Womangrove telah berupaya keras dalam mempertahankan mangrove di Tanakeke namun mereka juga harus berhadapan pada realitas yang berbeda dengan harapan mereka. Tantangan tersebut adalah masifnya penebangan mangrove.
“Kondisi ekonomi yang buruk menjadi alasan sebagian warga untuk melupakan komitmen mereka menjaga kelestarian mangrovenya. Apalagi sebagian besar mangrove di kepulauan tersebut diklaim sebagai milik pribadi,” ungkap Rabbasiah Nutta.
Tantangan lain adalah pada keinginan warga untuk mengaktifkan kembali tambak yang telah ditanami mangrove.
“Kalau tidak ada program yang masuk untuk mereka, kemungkinan 1-2 tahun mendatang bekas tambak itu akan diaktifkan kembali, apalagi kalau ada yang bisa memodali. Satu-satunya alasan kondisi itu tetap bertahan karena faktor ketiadaan modal,” ungkap Awal Nompo, salah satu tokoh pemuda setempat.
Peluang mengaktifkan tambak itu cukup besar karena harga udang yang semakin membaik sementara sumber penghasilan warga dari melaut semakin terbatas.
Terkait kondisi ini, Hayati berharap peran pemerintah daerah dalam hal pengawasan ditingkatkan dan ada sanksi hukum berat bagi warga yang melakukan penebangan liar.
“Kalau pengambilan batu karang di laut itu ada larangannya dan polisi bisa masuk menangkap pelaku. Seharusnya itu juga berlaku untuk penebangan mangrove secara liar dan tak bertanggung jawab,” katanya.
Kepulauan Tanakeke sendiri adalah sebuah gugusan pulau kecil yang berada di pesisir selatan Sulawesi Selatan. Terdapat lima desa dan satu desa persiapan di kepulauan ini berpenduduk sekitar 7000 jiwa. Meski kaya dengan hasil laut dan daratan yang subur, namun sebagian besar kepulauan ini tidak memiliki sumber air bersih untuk konsumsi, sementara untuk kebutuhan MCK mereka menggunakan air tadah hujan yang di sebuah tandon penampungan air.