- Puluhan tahun, para perempuan di Merauke, seperti dari Jl Sesate dan Gak ini sehari-hari mencari kepiting di bawah hutan mangrove di perairan sekitar Merauke.
- Kalau melihat lingkungan perumahan, hidup mereka tampak sangat sederhana, rumah semi permanen dan sebagian beralas tanah. Meskipun begitu, para perempuan tangguh ini bisa memenuhi keperluan hidup keluarga termasuk biaya anak-anak sekolah dari mencari dan berjualan kepiting.
- Setiap pagi para perempuan mencari dengan mengandalkan besi pengait bergagang kayu mirip gancu. Ada juga tangkap kepiting pakai pancing dengan umpan seonggok daging ikan. Gancu dan serok, dan karung ini bikinan mereka sendiri.
- Ronny Tethool, dari WWF Indonesia wilayah selatan Papua mengatakan, potensi kepiting Merauke cukup tinggi. Sayangnya, habitat mereka terancam dengan pembukaan hutan bakau untuk pelabuhan perikanan, pelabuhan peti kemas, pemukiman penduduk, maupun tempat tambatan perahu dan lain-lain.
Agnes Asiam, mengenakan topi sulaman khas Papua berwarna coklat. Dia tampak sibuk jual beli kepiting dengan seorang pembeli. Rata-rata harga satu kepiting Rp50.000. Perempuan Papua usia 62 tahun ini sehari-hari mencari kepiting di hutan mangrove Merauke.
Asiam sudah menetap di Merauke sejak 1972. Sejak itu, dia sudah mencari kepiting bersama suami untuk menghidupi keluarga.
“Saat itu, belum ada orang mencari kepiting, saya giat sekali mencari kepiting,” katanya.
Kini, sang suami sudah meninggal dunia, hingga dia harus mencukupi sendiri keperluan hidup bersama ketiga anaknya.
Sebelum mencari kepiting, dia terlebih dulu menyiapkan makanan untuk tiga orang anaknya. Setelah itu, dia menyiapkan peralatan untuk mencari kepiting. Pukul 07.00 waktu Merauke, Asiam bersama perempuan lain menuju ke kapal motor tempel. Mereka menuju Kampung Kondo, perbatasan Indonesia-Papua New Guinea.
Kelompok perempuan lain memakai kendaraan roda empat bak terbuka (pickup), dengan membayar kepada biaya kendaraan Rp200.000 per orang dengan tujuan sama, mencari kepiting.
Rumah warga di Jalan Sesate dan Gak. Para perempuan pencari kepiting banyak tinggal di sini. Mereka berjuang menghidupi keluarga dari menangkap dan berjualan kepiting dari hutan mangrove. Foto: Agapitus Batbual. Mongabay Indonesia
Para perempuan ini tinggal di Jalan Sesate dan Jalan Gak, Merauke. Kehidupan mereka tampak sangat sederhana. Rumah banyak semi permanen, ada juga gubuk. Ada yang beratap seng biru tetapi berlantai tanah.
Beberapa rumah tampak berhimpitan, tanpa halaman rumah. Di sebelah, terdapat pondok tergantung berbagai jaring dari benang dan sebuah tungku api. Ada sekitar 600 keluarga mendiami lahan sempit itu. Lahan itu pun atas kemurahan pemilik tanah yang memperbolehkan mereka tinggal dan membangun rumah.
Terpisah dari rumah mereka, ada sebuah meja panjang dengan atap seng untuk jualan kepiting. Awal mula pondok berdiri karena Federikus Gebze, Bupati Merauke, mau membangun pasar tradisional.
Clara Bisme, bilang, sejak dulu sebagai pencari kepiting. Setiap pagi mereka mencari dengan mengandalkan besi pengait bergagang kayu mirip gancu. Mereka masuk dalam lumpur demi mencari lubang-lubang kepiting berada.
Kalau sudah menemukan lubang kepiting, gancu itu mereka masukkan ke liang. Bila kepiting menggigit langsung tarik ke luar lubang. Kepiting pun ditangkap dengan posisi terbalik, lalu diikat tali rafiah atau tali akar pohon.
Ada juga yang tangkap kepiting pakai pancing dengan umpan seonggok daging ikan. Gancu dan serok, dan karung ini bikinan mereka sendiri.
Kala kepiting memakan umpan, para pempuan ini langsung menyerok dengan jaring kecil.
Dia bilang, bila umpan termakan kepiting biasa sulit lepas hingga mudah ditangkap dengan serok.
Menurut Bisme, sebelum pondok kecil berdiri, para perempuan menggelar dagangan di tanah beralas karung.
Rafael Bisme, tokoh pemuda asal Suku Wiyagar, Kabupaten Mappi bilang, berhasil mengenyam pendidikan tinggi hasil menjual kepiting.
Hasil jual kepiting warga Merauke, walaupun mendapatkan dengan berenang lumpur tetapi cukup menggiurkan. Per kepiting Rp50.000.
Di wilayah selatan Papua, katanya, hutan mangrove cukup luas, sebagai habitat kepiting dan ikan.
Bisme berharap, orang Papua membuka warung atau restoran kepiting hingga pasar jadi lebih luas.
Elisabeth Fofid, Kepala Kelurahan Bambu Pemali mengatakan, kehebatan para perempuan pencari kepiting ini menghidupi keluarga.
Agnes Asiam, pencari kepiting sejak tahun 70-an. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indknesia
Fransikus Suhono Suryo, Kepala Dinas Perikanan Merauke mengatakan, pernah ada kelompok pencari kepiting di Merauke, tetapi setop karena keterbatasan anggaran.
Dia berencana, menghidupkan lagi kelompok pencari kepiting itu agar ada pembinaan.
“Di Distrik Merauke dan Distrik Noukenjerai sudah ada tapi terbentur anggaran. Mereka membentuk kelompok kepiting masing-masing 10 anggota.”
Di Distrik Merauke, mereka mencari kepiting di Muara Kali Maro terutama Kelurahan Kamahedoga. Di Distrik Noukenjerai, mereka cari kepiting di Kali Torasi Kampung Kondo .
Permintaan kepiting dari luar Merauke, katanya, cukup tinggi. Ke depan, katanya, Dinas Perikanan akan memikirkan ulang langkah apa untuk membantu pencari kepiting.
Beragam ancaman
Ronny Tethool, dari WWF Indonesia wilayah selatan Papua mengatakan, potensi kepiting Merauke cukup tinggi. Sayangnya, habitat mereka terancam dengan pembukaan hutan bakau untuk pelabuhan perikanan, pelabuhan peti kemas, pemukiman penduduk, maupun tempat tambatan perahu dan lain-lain.
Parah lagi, katanya, kebiasaan masyarakat Merauke masih membuang sampah plastik hingga kepiting dan biota lain kehilangan tempat hidup. Ancaman lain, penebangan mangrove untuk bikin bangunan atau rumah. “Juga penebangan hutan untuk pembangungan di Kota Merauke,” kata Tethool.
Keterangan foto utama: Para perempuan pencari kepiting di hutan mangrove sedang menjual hasil tangkapan mereka. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia
Elisabeth Fofid, Kepala Kelurahan Bambu Pemali . Foto: Agapitus Batbua;/ Mongabay Indonesia