Mongabay.co.id

Kegiatan Tambang di Pesisir Pulau Kecil adalah Pelanggaran Konstitusi

Petugas dari Ditjen PRL KKP melihat kapal pengangkut pasir laut di di perairan Pulau Rupat, Provinsi Riau, Senin (14/2/2022). KKP menghentikan operasional tambang pasir tersebut terkait aspek legalitas dan diduga menimbulkan kerusakan pesisir. Foto : KKP

 

Penghentian paksa aktivitas tambang pasir di pulau Rupat yang masuk Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, dinilai sudah tepat. Kegiatan tersebut, karena secara konstitusi dinilai akan merusak wilayah pesisir dan laut Indonesia.

Dalam penilaian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pulau tersebut masuk dalam kelompok pulau-pulau kecil terluar (PPKT) dan semua perizinan untuk pemanfaatan area pulau harus diproses melalui Pemerintah Pusat, yaitu KKP.

Penilaian tersebut keluar, karena KKP menemukan fakta bahwa pengoperasian tambang pasir di pulau tersebut dilakukan oleh PT Logomas Utama tanpa dilengkapi dengan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

Namun demikian, dalam penilaian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), kegiatan tambang pasir di pulau tersebut memang seharusnya dihentikan dengan alasan apapun. Hal itu, karena semua kegiatan yang merusak pesisir dan laut Indonesia bertentangan dengan konsitusi apapun.

“Ini sebenarnya bukan pada pertambangan itu legal atau ilegal, tapi tentang konstitusi,” ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati kepada Mongabay, Rabu (23/2/2022).

Menurut dia, jika persoalan tambang pasir di pulau Rupat masih terjebak pada legal dan ilegal, maka itu akan berakhir pada program prioritas yang tengah dijalankan oleh KKP sekarang, yaitu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kegiatan tersebut didorong untuk bergerak sangat cepat agar nilai PNBP membengkak dengan cepat.

Pada aturan yang berkaitan dengan PNBP, dia menyebutkan bahwa ada narasi yang tidak beres namun sengaja dibangun oleh para pemangku kebijakan. Narasi tersebut menjelaskan seolah-olah kegiatan penambangan pasir adalah legal, selama membayar pajak dengan benar.

Padahal, sebesar apapun nilai PNBP yang dihasilkan dari kegiatan penambangan pasir di pesisir, itu tidak sepadan dengan akibat yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut, yaitu kerusakan lingkungan. Jika itu terjadi, maka proses pemiskinan nelayan tradisional juga akan mulai berjalan di saat yang sama.

baca : Korupsi Reklamasi, Raperda RZWP3K Kepulauan Riau Harus Dibuat Ulang

 

Petugas dari KKP menghentikan kapal pengangkut pasir hasil dari penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang dilakukan oleh PT Logomas Utama. Foto : KKP

 

Susan Herawati menjelaskan lebih detail bahwa pertambangan pasir laut yang sudah ada di pulau Rupat atau pulau lainnya di Indonesia adalah kegiatan yang melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Dengan merujuk kepada UU tersebut, segala kegiatan berupa konsesi lahan yang dibebankan kepada pulau rupat adalah terlarang dan bertentangan. Hal itu, karena pulau tersebut adalah pulau kecil dengan luas mencapai 1.524,85 kilometer persegi (km²).

Dari hasil penelusuran KIARA, Susan menyebut kalau pulau kecil tersebut sudah dikuasai hingga 61,7 persen untuk kepentingan korporasi. Setidaknya, ada tujuh perusahaan perkebunan dan kehutanan yang beraktivitas di pulau tersebut.

“Artinya, masyarakat pesisir di pulau Rupat akan menjadi penonton di pulaunya sendiri dengan segala aktivitas pertambangan yang merusak,” tegas dia.

Apa yang terjadi di pulau Rupat, bagi Susan seperti pengulangan peristiwa yang terjadi di pulau lain di Indonesia. Dia meyakini, masih banyak pulau, terutama pulau kecil yang dimanfaatkan untuk kegiatan tambang dan sudah berdampak pada kerusakan lingkungan pesisir.

Salah satu contoh yang sudah terjadi, adalah di pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di sana, kegiatan tambang nikel dilakukan oleh PT Gema Kreasi Perdana dan memicu kerusakan ekosistem pesisir di pulau tersebut.

 

Dari hasil penelusuran yang dilakukan KIARA, akibat kerusakan ekologi di pesisir pulau, nelayan lokal menjadi kesulitan untuk menemukan ikan saat melaut. Kesulitan terjadi, karena limbah dari tambang nikel akan berakhir di pesisir atau laut dan memicu kerusakan terumbu karang yang menjadi habitat ikan.

Kesulitan menemukan ikan dan biota laut lainnya, menyebabkan nelayan lokal mengalami kesulitan tangkapan saat melaut. Kondisi itu memaksa nelayan harus mencari ikan dengan jarak yang semakin jauh dan membuat biaya operasional menjadi lebih mahal.

Namun, persoalan tersebut tidak serta merta menjadi selesai, karena akibat tangkapan ikan menyusut, pendapatan nelayan secara ekonomi juga langsung turun secara drastis. Akibatnya, untuk bisa melaut dengan jarak yang jauh dan biaya besar, itu dirasakan sulit oleh nelayan.

Dengan segala dampak buruk yang ditimbulkan, Susan Herawati menilai seluruh kegiatan tambang di pulau kecil dalam bentuk apapun harus segera dihentikan. Jika tidak, bukan saja ancaman kerusakan seperti di atas, namun juga akan mengancam keruasakan ekologi dalam bentuk lainnya.

 

Degradasi Pesisir

Berkaitan dengan penambangan pasir laut, khususnya di pulau Rupat, KKP sudah melarang kegiatan tersebut dilakukan oleh siapapun. Untuk menegaskan larangan tersebut, KKP memasang papan larangan penambangan dan pengangkutan pasir.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Adin Nurawaluddin mengatakan, selain pulau Rupat, larangan aktivitas serupa juga diberlakukan di pulau Babi, dan pulau Beting Aceh yang letaknya masih ada di sekitar pulau Rupat.

Selain larangan penambangan, KKP juga melarang aktivitas pengangkutan pasir di ketiga pulau tersebut untuk kepentingan apapun. Itu menjadi penegas bahwa penanganan kasus penambangan pasir laut yang merusak di pulau Rupat, akan terus diungkap.

Tentang penyegalan lokasi tambang pasir laut tersebut, itu sudah sesuai dengan amanat Pasal 101 ayat (3), Pasal 188, Pasal 195 dan Pasal 196 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 jo Pasal 11 ayat (2) huruf f Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan.

Oleh karena itu, pengenaan paksaan untuk berhenti operasi menjadi sangat peting agar pelanggaran bisa berhenti dan tindakan pemulihan kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan juga bisa dilakukan dengan segera.

Bukan tanpa alasan jika KKP menyimpulkan aktivitas penambangan di ketiga pulau tersebut sudah merusak ekologi pesisir. Kesimpulan itu muncul, karena ada hasil survei yang dilakukan tim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Universitas Halo Oleo dari Kendari, Sulawesi Tenggara.

“Ketiga pulau tersebut diduga mengalami kerusakan pesisir akibat penambangan pasir yang dilakukan PT Logomas Utama,” jelas dia.

baca juga : Simpang Siur Data dan Kerusakan Mangrove Riau, Bagaimana Upaya Pemulihan?

 

Petugas dari KKP melihat pasir dalam kapal hasil dari penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang dilakukan oleh PT Logomas Utama. Foto : KKP

 

Demi menggali informasi lebih dalam, KKP juga melakukan pemeriksaan terhadap Direktur PT Logo Mas Utama Indrawan Sukmana di Jakarta pada awal pekan ini. Saat ini, hasil pemeriksaan tersebut tengah didalami, utamanya berkaitan dengan perizinan penambangan pasir dan kerusakan pesisir.

Selain dari keterangan Indrawan Sukmana, KKP juga terus mengumpulkan data, bahan, dan keterangan yang diperlukan dalam penanganan kasus penambangan pasir laut. Dengan demikian, KKP akan bertindak tepat dalam penanganan permasalahan yang terjadi di wilayah pulau Rupat ini.

Diketahui, pulau Rupat mendapat status sebagai Pulau-pulau Kecil Terluar (PPKT) setelah diterbitkan Keputusan Presiden RI No 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-pulau Kecil Terluar. Sebagai PPKT, merujuk pada Peraturan Pemerintah RI No 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau Pulau Kecil Terluar, pemanfaatannya dibatasi hanya untuk pertahanan dan keamanan.

“Untuk kesejahteraan masyarakat, serta untuk pelestarian lingkungan,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Pamuji Lestari.

Menurut dia, agar pemanfaatan ruang laut dan pesisir bisa tepat dan tidak ada pelanggaran, KKP akan melakukan pengawasan dengan lebih ketat. Selain itu, setiap aktivitas yang ilegal dalam bentuk apapun, akan langsung ditindak dengan tegas.

Pengawasan tersebut menjadi bagian dari implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ruang Laut. Dengan demikian, pemanfaatan ruang laut tidak hanya sekedar untuk manfaat ekonomi saja, namun juga manfaat untuk masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Merujuk pada aturan tersebut, seluruh pemanfaatan ruang laut yang sifatnya menetap atau lebih dari 30 hari, maka wajib memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dalam bentuk Konfirmasi Kegiatan Pemanfatan Ruang Laut (KKPRL) atau Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

baca juga : Tambang Pasir Laut Galesong Rusak Ekosistem Laut dan Sebabkan Abrasi

 

Dirjen PSDKP KKP dan Dirjen PRL KKP melihat kapal pengangkut pasir hasil dari penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang dilakukan oleh PT Logomas Utama. Foto : KKP

 

Khusus untuk persoalan di pulau Rupat, Pamuji Lestari mengatakan kalau pihaknya saat ini sedang memantau dan mengevaluasi kegiatan penambangan pasir laut di bagian utara pulau tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan, karena wilayah perairan pulau Rupat seluas 14.133,50 hektare masuk dalam usulan kawasan konservasi perairan di Kepulauan Riau dengan total luas mencapai 90 ribu hektare.

Masuknya wilayah perairan pulau kecil tersebut, karena di sana ada banyak ekosistem lamun, mangrove, terumbu karang, serta biota laut seperti dugong, penyu, dan pesut. Oleh karena itu, jika menjadi kawasan konservasi, maka kelestarian ekosistem dan kelangsungan hidup biota laut akan tetap terjaga dengan baik.

Pamuji Lestari menambahkan, pulau Rupat sendiri adalah bagian dari Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) karena merupakan pulau kecil terluar dan menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

“Untuk mengatur ruangnya, KKP juga sudah menyiapkan draf Rencana Zonasi KSNT pulau Rupat yang sedang diintegrasikan dengan Rencana Tata Ruang Perbatasan,” terang dia.

Dia menegaskan, merujuk pada Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, semua kegiatan pemanfaatan ruang di laut secara menetap 30 hari wajib memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dalam bentuk KKPRL atau PKKPRL.

Adapun, KKPRL dan PKKPRL akan dievaluasi berdasarkan rencana tata ruang/rencana zonasi, kondisi lingkungan dan kondisi sosial sekitar lokasi ruang yang dimohonkan. Namun, tidak semua pengajuan atau permohonan KKPRL maupun PKKPRL dapat disetujui.

Pamuji Lestari mengungkapkan, dari hasil evaluasi yang dilakukan pihaknya, selain tidak ada PKKPRL, aktivitas tambang pasir di pulau kecil itu juga mendapatkan protes dari beberapa kelompok masyarakat karena dinilai merusak lingkungan seperti abrasi, kerusakan ekosistem serta mengganggu aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan.

 

Exit mobile version