Mongabay.co.id

TN Gunung Maras, “Oase” Pulau Bangka yang Harus Dijaga

 

 

Gunung Maras merupakan wilayah tertinggi di Kepulauan Bangka Belitung. Gunung yang sebenarnya bukit ini tingginya sekitar 705 meter, disucikan sejumlah suku Melayu tua di Pulau Bangka. Pemerintah menetapkannya sebagai Taman Nasional Gunung Maras. Mampukah wilayah ini bertahan sebagai “oase” di tengah maraknya aktivitas ekonomi ekstraktif di Pulau Bangka?

Taman Nasional Gunung Maras ditetapkan berdasarkan SK No.576/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2016 tertangal 27 Juli 2016, yang luasnya mencapai 16.806,91 hektar. Lanskapnya berupa tiga tipologi ekosistem; hutan primer daratan, area berbukit, serta mangrove.

Wilayahnya dari Gunung Maras hingga ke pesisir Teluk Kelabat Dalam. Secara administratif, Taman Nasional Gunung Maras masuk Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Barat. Yang paling dominan masuk ke Kabupaten Bangka.

“Wilayahnya dibagi lima zona, yakni zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona khusus, dan zona rehabilitasi,” kata M. Dedi Susanto, Kepala Resor Konservasi Wilayah XVI Bangka-Balai KSDA [Konservasi Sumber Daya Alam] Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [15/02/2022].

Hingga saat ini, kewenangan pengelolaan Taman Nasional Gunung Maras menjadi tanggung jawab Balai KSDA Sumatera Selatan hingga terbentuknya UPT TN Gunung Maras.

Baca: Suku Maras, Penjaga Sejati Lanskap Gunung Maras

 

Gunung Maras yang dilihat dari Teluk Kelabat Dalam. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Adapun pembagian luasan zonasi ini yakni zona inti [526,48 hektar], zona rimba [4.453,52 hektar], zona pemanfaatan [1.505,22], zona khusus [315,89 hektar], dan zona rehabilitasi [10.005,80 hektar].

Dijelaskan Dedi, di Taman Nasional Gunung Maras terdapat 53 spesies pohon. Sebut saja Trema orientalis, Eugenia polyantha, Pithecolobium sp, Palaquium odoratum, Ficus sp., Arthocarpus integra, Arthocarpus chempeden, Havea braziliensis, Nephelium lapaceum, Castanopsis acuminate,  Garcinia mangostana, Terminalia cattapa, Lancium domesticum, Lancium sp, Lagestroemia laudoni, Cassia siamea, Leucaena glauca, yang penyebarannya berkelompok. Paling menonjol adalah keberadaan pelawan [Tristaniopsis sp.].

Sementara satwa yang banyak ditemukan adalah kancil [Tragulus javanicus], musang [Paradoxurus hermaphroditus], ayam hutan [Gallus varius], monyet [Macaca fascicularis], babi hutan [Sus scrofa], trenggiling [Manis javanica], biawak [Varanus sp], lutung [Tracypithecus auratus], mentilin [Tarsius bancanus], serta berbagai jenis ular.

Baca: Perjuangan Tanpa Lelah Suku Maras Menjaga Wilayah Adatnya

 

Tiram, potensi hasil laut di sekitar perairan Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Wilayah suci

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, berbagai suku Melayu tua di Pulau Bangka seperti Suku Mapur [Orang Lom], Suku Jerieng dan Suku Maras, menjadikan Gunung Maras sebagai wilayah suci. Mereka sangat melindungi Gunung Maras dari berbagai kerusakan.

Bagi Suku Mapur yang hidup di wilayah Pesisir Utara Pulau Bangka, Gunung Maras menjadi arah makam Suku Mapur yang masih memeluk kepercayaan leluhurnya.

Sementara Suku Melayu yang hidup di sekitar Gunung Maras disebut “Suku Maras’. Hingga saat ini, masih ditemukan keturunan dari Suku Maras. Keturunan suku ini bukan hanya menetap di sejumlah dusun yang berada di kaki Gunung Maras, juga berbagai dusun di wilayah pesisir sekitar Teluk Kelabat Dalam.

Suku yang mengaku keturunan seorang pangeran dari Kesultanan Banten ini, selama beberapa abad telah menjaga Gunung Maras. Terutama, dari penambangan timah yang dilakukan Kesultanan Palembang hingga pemerintahan kolonial Belanda.

Baca: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

Gunung Maras yang tingginya sekitar 705 meter, merupakan gunung yang sangat disakralkan Suku Maras sehingga dijadikan wilayah adat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bagi suku ini, termasuk juga Suku Mapur dan Suku Jerieng, jika Gunung Maras rusak atau hancur, maka dipercaya berbagai bencana akan dialami bangsa Indonesia. Mulai dari bencana alam hingga serangan penyakit mematikan.

“Jika Gunung Maras hancur, bukan hanya berdampak bagi masyarakat Bangka, juga Indonesia dan seluruh dunia,” kata Abok Geboi, Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Air Abik, pertengahan Februari 2022 lalu. “Bencana itu misalnya banjir, kekeringan, juga berbagai penyakit mematikan. Jadi, saya berharap semua orang menjaga keberadaan Gunung Maras,” lanjutnya.

Sebelumnya, hal yang sama disampaikan Umran [74], tokoh Suku Maras, yang menetap di Dusun Rambang, Desa Berbura, di kaki Gunung Maras. “Bencana besar akan kita alami, bukan hanya Bangka, Sumatera, Jawa, dan seluruh dunia akan merasakan dampaknya jika Gunung Maras rusak dan dikotori,” katanya.

Abok Geboi dan Umran, sangat mendukung hadirnya Taman Nasional Gunung Maras. “Jika pemerintah [Taman Nasional Gunung Maras] bertujuan melindungi Gunung Maras, kami sangat senang. Sebab, kami mendengar hutan di Gunung Maras sudah mulai rusak karena penebangan liar, perkebunan sawit, juga penambangan timah di wilayah pesisirnya,” kata Abok Geboi.

Dijelaskan Umran, sejak para leluhurnya datang dari Kesultanan Banten sekian abad lalu, wilayah Gunung Maras, sudah didiami berbagai makhluk hidup. “Jika rusak, kita semuanya akan kecewa dan tentu saja marah,” jelasnya.

Baca juga: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

 


Laboratorium alam bersama

Arthur M. Farhaby, peneliti mangrove dari Universitas Bangka Belitung [UBB], menuturkan keberadaan Taman Nasional Gunung Maras merupakan berkah bagi masyarakat dan pemerintah di Kepulauan Bangka Belitung.

“Taman nasional ini memberikan harapan, adanya wilayah yang terjaga dari berbagai aktivitas ekonomi ekstraktif, yang merusak bentang alam. Dengan begitu, kekayaan flora dan fauna Kepulauan Bangka Belitung tetap lestari, termasuk keberadaan masyarakat adat yang arif dengan alam,” terangnya, Rabu [16/02/2022].

“Pemerintah daerah bersama perguruan tinggi dan pegiat lingkungan hidup, dapat menjadikannya laboratorium alam bersama. Menjadi tempat belajar bersama, mulai dari wilayah perbukitan hingga pesisir, sebagai komitmen menjaga Pulau Bangka untuk masa depan,” ujarnya.

 

Rusa sambar, satwa yang mulai sulit ditemukan di TN Gunung Maras. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Henri, peneliti biologi dari Universitas Bangka Belitung menuturkan, “Taman Nasional Gunung Maras dapat menjadi perpustakaan untuk menyimpan berbagai pengetahuan luhur masyarakat Bangka terkait alam. Misalnya dari dunia obat-obatan, menata DAS [Daerah Aliran Sungai], hingga kearifan menjaga keberadaan flora dan fauna.”

“Saya pikir, pemerintah dapat segera membentuk Balai Taman Nasional Gunung Maras. Dengan begitu, sejumlah agenda kerja dapat dilakukan, termasuk membangun kerja sama dengan berbagai pihak,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version