Mongabay.co.id

Menjaga Hutan Melancarkan Orang Mapur Menuju Surga

 

 

Selama perjalanan menuju kebunnya di kaki Bukit Semedang di Dusun Aik Abik, Abok Geboi atau Buyut Geboi [53], yang mengenakan baju dan ikat kepala adat Suku Mapur berwarna hitam, menjelaskan sejumlah tanaman yang dapat dijadikan obat.

“Rebus beberapa putik daun simpor [Dillenia suffruticosa] dicampur akar ilalang [Imperata cylindrica], tapi jumlahnya harus ganjil. Biasanya tujuh atau sembilan. Airnya diminum sebagai obat penyakit ginjal,” kata Abok Geboi, yang juga Ketua Adat Mapur Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, pertengahan Februari 2022.

Baca: Tergerusnya Hutan Adat Suku Melayu Tua di Pulau Bangka

 

Abok Gedoi [53], Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Aik Abik. Menurut dia, menjaga hutan larangan dan hutan adat, akan memudahkan jalan ke surga. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Simpor, tanaman perdu dengan daun berbentuk oval. Lebar daunnya hingga sekilan tangan orang dewasa. Susunan tulang daun seperti tulang ikan. Ilalang adalah rumput berdaun kecil, panjang dan tajam. Mirip serai [Cymbopogon citratus].

Saat bertemu pohon pule [Alstonia scholaris.] yang tumbuh di tepi jalan setapak, dia menjelaskan kegunaan pohon yang batangnya lurus, berkulit keras, dan daunnya bersusun melingkar, sebagai obat malaria.

“Caranya ambil akar pule, kemudian campur dengan akar medang mencena [Dapnipyllum laurinum] dan akar kebentak [Wikstroemia androsaemifolia]. Akar-akar itu dicuci, lalu ambil dua gengam campuran akar, direbus dengan tiga gelas air. Biarkan hingga menjadi satu gelas. Minum dua kali sehari selama tiga hari. Semoga sembuh malarianya,” kata bapak tiga anak yang dikenal sebagai dukun.

Pasien yang berobat dengan Abok Geboi bukan hanya dari Pulau Bangka, juga Palembang, Lampung, Jambi, dan Jawa. “Umumnya mereka yang berobat itu sakit ginjal, stroke, dan jantung. Semua bahan obatnya didapatkan dari hutan dan kebun,” ujarnya.

“Banyak sekali tanaman yang dapat dijadikan obat. Tapi, setelah banyak hutan kami diambil perusahaan sawit, ya, sejumlah tanaman mulai sulit didapatkan di dusun ini.”

 

Asih Harmoko [40], generasi muda Suku Mapur menunjukkan sejumlah jenis tanaman obat di sekitar hutan tersisa di Dusun Aik Abik. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Henri, peneliti biologi dari Universitas Bangka Belitung, memperkirakan ada seratusan tanaman yang digunakan sebagai bahan obat oleh Suku Mapur.

“Hampir 50 persen tanaman obat itu berada di hutan, sisanya dari kebun atau ladang, pekarangan rumah, rawa, dan pantai,” kata Henri yang melakukan riset tanaman obat di Dusun Aik Abik dan Dusun Pejem, pertengahan Februari 2021.

Tanaman obat dari hutan, misalnya medang mencena [Dapnipyllum laurinum], rukem [Flacourtia rukam Zool. & Mor.], seru [Schima wallichii (Coisy)], pelawan punai [Tristaniopsis whiteaana (Griff.) P.G. Wilson & J.T Waterhouse], ulin [Eusideroxylon zwageri],  pelawan mira [Tristaniopsis merguensis (Griff) Peter G. Wilson & J.T. Waterh], dan mentangor perit [Callophyllum pulcherrimum].

Di kawasan hutan Benak, di kaki Gunung Pelawan [300-an meter] dan Gunung Cundong [300-an meter], masih banyak ditemukan tanaman obat.

Mulai dari pakcong [Phsycotria sp.], bambu kuning [Bambusa vulgaris], medang mencenak [Dapnipyillum laurinum (Benth) Baillon], pasak bumi [Eurycoma longifolia Jack], lunding [Baccaurea lanceolata (Miq).Mull.Arg.Di.Dc], ketuyut [Nephentes sp.], hingga sepiding [Anisophyllea disticha Jack.].

“Jika batuk ambil akar dan kulit batang lunding. Caranya mudah, hanya direbus. Minum airnya, sehari dua kali diminum. Ciri pohon lunding berbuah seperti langsat atau duku, tapi rasanya asam,” kata Atuk Sukar [67], Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka.

Menyembuhkan penyakit malaria dengan minum air rebusan pasak bumi. Mengobati koreng dengan menempelkan daun muda dan tua pakcong yang sudah ditumbuk.

“Syukurlah, belum terdengar orang Mapur di Dusun Pejem dan Dusun Aik Abik yang terkena Corona [COVID-19]. Mungkin karena kami rajin mengonsumsi obat-obatan ini,” ujar Atuk Sukar.

 

Simpor, tanaman perdu yang daunnya dijadikan bahan pengobatan oleh Suku Mapur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari buku “Tumbuhan Obat Suku Lom” dengan editor Eddy Nurtjahya dan Eka Sari yang diterbitkan Universitas Bangka Belitung tahun 2013, tercatat sedikitnya 50 jenis tanaman yang digunakan sebagai bahan obat oleh Suku Mapur di Dusun Aik Abik dan Pejem.

Tanaman itu digunakan daunnya [35 persen], akar [29 persen] dan buah [8 persen]. Famili  tumbuhan obat yang ditemukan sebanyak 34 dari 43 jenis tumbuhan yang teridentifikasi. Tiga famili tumbuhan dengan jumlah jenis terbanyak Rubiaceae, Myrtaceae dan Poaceae.

Pengobatan dengan resep tunggal [satu jenis tumbuhan] dan resep campuran [berbagai jenis tumbuhan]. Tercatat sekitar 65 cara pengobatan.

 

Binturong [Arctictis binturong] satwa yang hidup di hutan Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Harmonis dengan alam

Kepercayaan Suku Mapur murni [Orang Lom], satwa atau hewan merupakan salah satu guru pengobatan. “Menurut leluhur kami, obat-obatan ini salah satunya diajarkan hewan. Kami belajar bagaimana hewan mengobati dirinya. Misalnya dari monyet ekor panjang, kami belajar soal tanaman yang dikonsumsi ibu setelah melahirkan. Monyet betina makan akar mengkeles  [Stephania japonica(Tumb) Miers.] setelah melahirkan,” kata Abok Geboi.

Kucing juga guru pengobatan. “Kucing kan makan rerumputan kalau sakit. Dari perilaku itu kami tahu jika tanaman dan rumput bisa jadi obat,” jelasnya.

Suku Mapur murni adalah keturunan Suku Mapur yang masih memeluk ajaran atau kepercayaan leluhur [belum beragama Islam, Buddha, Kristen, dan lainnya].

Sebagai rasa hormat terhadap satwa, Suku Mapur murni berpantang memakan sejumlah hewan. Misalnya kucing rumahan [Felis silvestris catus], anjing [Canis lupus familiaris], musang lingsang [Prionodon linsang], mentilin [Tarsius bancanus], trenggiling [Manis javanica], buaya muara [Crocodylus porosus], dan monyet ekor panjang [Macaca fascicularis Raffles].

“Jika kita makan kucing atau anjing, kesehatan kita akan turun. Kulit kita akan rusak, tubuh kita akan lemah,” ujar Abok Geboi.

Burung yang tidak boleh dibunuh yakni burung mak-mak atau bubut alang-alang [Centropus bengalensis]. Burung keramat. Jika membunuhnya akan terancam keselamatan pelaku dan keluarganya.

“Mak-mak diganggu, maka sehelai bulunya yang jatuh sama dengan hidup sial selama setahun.”

Pantangan paling keras dilakukan Suku Mapur murni yakni merusak hutan di bukit. Jika itu dilakukan sama dengan memberi bencana terhadap kampung, seperti banjir dan kekeringan.

Lalu, dilarang menangkap ikan di sungai atau rawa dengan racun dari tanaman tuba [Derris elliptica] atau menombak saat musim kemarau. Sebab, dapat meracuni dan mengotori sungai atau rawa, yang berdampak buruk bagi kesehatan manusia.

“Hewan juga tidak boleh disiksa, termasuk ikan atau yang hidup di air. Jika mau dimakan, ya dibunuh. Jangan disiksa. Sebab hewan juga makhluk hidup,” kata Abok Geboi.

 

Hidup sederhana dan selaras dengan alam, membuat sebagian besar orang Suku Mapur usianya panjang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Langka Sani, Ketua Yayasan Pelestarian Flora Fauna Bangka Belitung [Alobi Foundation], membenarkan jika Suku Mapur hidup harmonis dengan satwa di wilayah adatnya.

“Sampai saat ini, kita belum mendapatkan data atau informasi mengenai konflik antara manusia dengan satwa. Termasuk, soal perburuan atau penjualan satwa liar yang dilakukan masyarakat Suku Mapur.”

“Di dalam hutan sekitar Suku Mapur terdapat sejumlah satwa dilindungi seperti mentilin, trenggiling, buaya muara, binturong [Arctictis binturong] dan kukang bangka [Nycticebus bancanus]. Dan sejauh ini kondisi satwa dilindungi tersebut relatif terjaga di wilayah Suku Mapur,” kata M. Dedi Susanto, Kepala Resor Konservasi Wilayah XVI Bangka-Balai KSDA [Konservasi Sumber Daya Alam] Sumatera Selatan.

 

Umumnya orang Suku Mapur usianya panjang. Seperti Nek Aso [68], yang mengaku rajin mengonsumsi obat-obatan dari hutan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Melancarkan jalan ke surga

Inti kepercayaan Suku Mapur murni yakni menghormati kekuatan roh-roh gaib.

Kekuatan gaib itu berada di Gunung Cundong, Rebang Telang [pintu air], Bukit Kasak Tade, Tujuh Mata Kakap, dan Bukit Tabun. Lima kekuatan gaib tersebut ada di wilayah perbukitan Gunung Pelawan, titik tengah Karang Lintang, wilayah adat Suku Mapur.

Dijelaskan Abok Geboi, jika lima lokasi gaib tersebut rusak, maka Pulau Bangka akan tenggelam. Umat manusia di dunia akan diserang bencana dan berbagai penyakit.

Lima lokasi gaib itu disebut hutan larangan. Tanaman, batuan, satwa, air, maupun benda-benda [makam] dilarang atau tidak boleh diganggu. Harus dijaga.

Di luar hutan larangan adalah hutan adat, seperti kawasan Benak. Di hutan adat dibolehkan membuat pondok atau rumah panggung, serta beume [berkebun] seperti menanam padi, palawija, sahang [lada], karet, atau membuat kelekak [kebun buahan seperti durian, cempedak, dan manggis]. Tapi, hutan adat tidak boleh dirusak sebab sebagai sumber obat-obatan, air, dan tempat hidup makhluk lainnya.

“Menjaga hutan larangan dan hutan adat melancarkan perjalanan ke surga,” kata Abok Geboi.

 

Sukardi [53], tokoh masyarakat Suku Mapur di Dusun Tuing. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Setelah meninggal dunia, makam Suku Mapur murni menghadap Gunung Maras [705 meter] atau sebelah barat dari Gunung Pelawan. Gunung Maras merupakan bukit tertinggi di Pulau Bangka. Jarak Gunung Pelawan dengan Gunung Maras sekitar 70 kilometer.

Suku Mapur murni percaya setelah meninggal dunia, roh dan jiwa mereka naik burung merak berbulu emas, menuju Gunung Maras. Berkumpul dengan para leluhurnya.

Sukardi [53], keturunan ketiga Suku Mapur yang beragama Islam menyatakan, “Budaya leluhur kami yang menjaga alam tetap kami teruskan. Sebab, Agama Islam juga memerintahkan untuk menjaga alam. Tidak merusak alam.”

“Jika alam rusak, manusia bukan hanya berdosa, juga merugi karena akan menerima dampaknya seperti bencana dan wabah penyakit,” ujar tokoh masyarakat Dusun Tuing, Desa Mapur, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka.

“Kami ini Suku Melayu. Suku yang sangat arif dengan alam. Jadi, apa pun kepercayaan kami, alam harus dijaga. Peduli dengan hutan itu sudah bagian dari hidup kami. Tidak ada Tuhan yang memerintahkan manusia merusak Bumi,” kata Asih Harmoko [40], Ketua Lembaga Adat Mapur [LAM]. LAM adalah organisasi yang melestarikan budaya Mapur dan menaungi penghayat kepercayaan Mapur.

 

Hutan adat Suku Mapur di perbukitan Gunung Pelawan dan Gunung Cundong di Kabupaten Bangka, merupakan sumber obat-obatan dan wilayah suci Suku Mapur. Kini, perlahan dirusak penambangan timah dan perkebunan sawit. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Sebagian besar orang Suku Mapur berusia panjang, dan jarang terkena penyakit mematikan, seperti kanker.

“Emak kami [Nek Ya] usianya sudah 110 tahun. Meskipun jalannya sudah membungkuk, dia masih mampu mandi dan masak sendiri. Syukur, kami tidak pernah sakit berat. Paling demam dan pusing kepala. Umumnya, kami [Suku Mapur] berusia panjang,” kata Nek Aso [68], anak bungsu Nek Ya, yang menetap tidak jauh dari hutan larangan Bukit Tabun.

“Kami ini makan yang ada di hutan. Tidak menggunakan bumbu penyedap, cukup belacan [terasi], gula, dan garam. Kami juga tidak stres memikirkan harta. Kami di sini hidup tenang. Hutan membuat kami sehat,” kata ibu tiga anak ini.

“Bukan mau mendahului Tuhan, orang Mapur rata-rata usianya hingga 80-an dan 90-an tahun. Ibu saya meninggal dunia dalam usia 91 tahun pada 2021 lalu. Sakit tuanya hanya beberapa bulan. [Gaya] Hidupnya sehat, makan apa yang ada di alam. Tidak dipusingkan dengan urusan dunia. Sulit mencari orang Suku Mapur terkena penyakit kanker, dan semoga tidak ada,” kata Sukardi.

 

*Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center.

 

 

Exit mobile version