Mongabay.co.id

Potret Perusahaan Izin Dicabut di Riau, dari Konflik Sosial, Kebakaran Hutan sampai Korupsi

 

 

 

 

Hampir 30 izin perusahaan kehutanan, perkebunan, maupun pinjam pakai kawasan hutan di Riau dicabut awal Januari lalu. Rekam jejak sejumlah perusahaan ini dari masalah konflik sosial, mengancam habitat dan satwa, kebakaran hutan, penebangan liar sampai korupsi. Beberapa perusahaan juga beraktivitas pada ekosistem gambut dilindungi bahkan bersebelahan dengan kawasan konservasi. Kehadiran perusahaan juga memusnahkan mata pencarian asli masyarakat, seperti kelapa, pinang, sagu dan karet.

“Jangan sampai juga pemerintah menerbitkan izin baru di atas izin yang dicabut itu,” kata Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru, belum lama ini.

Dia tak kaget terbitnya surat menteri ini. Termasuk kepada PT Riau Bara Harum (RBH) yang sudah lama tak beroperasi, sejak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) tak diperpanjang Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (KESDM).

Masalahnya, RBH meninggalkan sekitar 12 lubang tambang yang sampai saat ini tidak direklamasi. “Intinya, bukan soal pencabutan izin. Siapa yang bertanggungjawab pasca tambang dan pencabutan izin itu? Ke mana dana jaminan reklamasinya? tanya Andi.

LBH Pekanbaru pernah gugat KLHK, KESDM Gubernur Riau dan Bupati Indragiri Hulu melalui gugatan warga negara. PN Rengat tak menerima gugatan karena hakim anggap LBH tak menembuskan pemberitahuan somasi terlebih dahulu ke pengadilan. LBH Pekanbaru juga mengadukan RBH ke Dirjen Gakkum LHK, namun tak ada tindak lanjut hingga kini.

Yayasan Riau Madani pernah layangkan gugatan yang sama sampai kasasi. Mahkamah Agung menghukum RBH dan KESDM menimbun kembali lima bekas lubang tambang seluas 525 hektar. Kemudian menanam tanaman hutan di atasnya. Sampai saat ini belum ada eksuksi atas putusan itu.

Lubang tambang itu pernah menelan dua korban. Seorang meninggal dunia, satu lagi luka-luka karena tertimbun longsoran saat memancing ikan di bawah lubang tambang. Bukan mereklamasi, pemerintah daerah justru menabur benih ikan di dalamnya dan berencana jadikan lubang-lubang itu tempat wisata.

Ada juga PT Lestari Unggul Makmur (LUM). Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan Nomor: 217/Menhut-II/2007 untuk areal 10.390 hektar yang saat itu masih masuk Bengkalis.

 

Dokumen: SK Pencabutan Izin di Kawasan Hutan

Abdul Manan, memperbaiki sekat kanal, di  Desa Sungai Tohor, Riau, November 2014. Warga berupaya menahan air agar tak lepas dengan membuat sekat-sekat di kanal. Warga menolak kehadiran  PT LUM dan minta izin perusahaan dicabut. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2009, pemekaran wilayah jadi Kabupaten Kepulauan Meranti. Setelah itu, masyarakat tujuh desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur—Sungai Tohor, Tohor Barat, Nipah Sendanu, Sendanu Dahrul Iksan, Tanjung Sari, Lukun dan Kepau Baru—menolak perusahaan tanaman industri kelompok Asia Pacific Resources International Holding Limited (APRIL) ini.

Sebelum izin dicabut, LUM sempat dapat izin penebangan atau rencana kerja tahunan. Bahkan sudah membangun dan menggali kanal.

Penolakan masyarakat antara lain galang dukungan lewat petisi online dengan penandatangan lebih 20.000 orang. Presiden Joko Widodo turun langsung blusukan lihat kebakaran hutan dan lahan. Menteri Siti Nurbaya pun mengalihkan konsesi itu jadi hutan desa.

Lalu, PT Hutani Sola Lestari (HSL), pemilik izin usaha pemanfaatan hutan kayu hutan alam pada 1999 seluas 45.990 hektar. Juga Grup APRIL. Dalam laporan pemantauan pembakaran hutan dan lahan Eyes on the Forest, konsesi HSL pernah terbakar sepanjang Juli-September 2015 seluas 400 hektar. Polda Riau menghentikan penyidikan pada 2016 dengan alasan antara lain izin perusahaan dicabut atau tidak beroperasi lagi.

Kemudian, perusahaan yang turut mengancam kelestarian satwa dilindungi dan berkonflik dengan manusia adalah PT Bhara Induk, Grup APP, Sinarmas.

Pada Agustus 2019, harimau Sumatera menerkam Darmawan, warga Desa Batu Ampar, Kecamatan Sira Pulau Padang, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Kala itu, korban sedang mencari kayu pada areal perusahaan yang terlantar. Dia meninggal dunia di Desa Tanjung Simpang, Pelangiran, Indragiri Hilir. Terjadi pendarahan luka robek, terkaman pada tengkuk, patah leher, putus tangan kanan dan sebagian lengan dimakan. Juga, luka bekas gigitan pada kaki kanan.

Ada juga perusahaan terlibat pembalakan liar dan korupsi kehutanan, seperti PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL). KLHK menggugat perusahaan ini karena menebang hutan alam di dalam maupun di luar izin. Pada 17 Desember 2019, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali MPL dan mewajibkan perusahaan bayar denda Rp16,2 triliun dampak perusakan lingkungan hidup.

MPL, merupakan 14 perusahaan tersangka pembalakan liar pada masa Kapolda Riau Brigjen Sutjiptadi. Perkaranya setop saat Kapolda pengganti, Brigjen Hadiatmoko. Komisi Pemberantasan Korupsi pun menetapkan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar dan Bupati Siak Arwin AS, gara-gara menerbitkan izin di hutan alam, termasuk PT National Timber Forest Product.

KPK juga ikut menetapkan sejumlah Kepala Dinas Kehutanan Riau, Syuhada Tasman, Asral Rahman dan Burhanuddin Husin termasuk Gubernur Riau Rusli Zainal. Perkara mereka sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi korporasi tak kunjung kena pidana.

 

Baca juga: Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan

Izin-izin konsesi maha luas ini juga menggerus habitat satwa seperti harimau Sumatera. Ini harimau berhasil dievakuasi di Riau, beberapa waktu lalu. Foto: BBKSDA RIau

 

Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengatakan, keputusan cabut izin oleh menteri sejalan dengan tuntutan evaluasi perizinan yang disuarakan Walhi. Paling tidak, katanya, upaya menurunkan dominasi korporasi di kawasan hutan menurun secara legal.

Namun, kata Boy, pekerjaan rumah KLHK belum selesai karena masih ada 30 juta hektar lebih kawasan hutan terbebani izin korporasi. Dia bilang, masih banyak perusahaan berkonflik dan punya riwayat deforestasi hingga kerusakan hutan signifikan.

Dia juga mendesak, KLHK membuka data pertumbuhan izin baru dalam kawasan hutan sepanjang 2015-2022. “Agar publik dapat cermat menilai, sejauh mana realiasi komitmen perluasan wilayah kelola rakyat dan aksi korektif yang dijanjikan pemerintah.”

Merujuk lampiran keputusan yang ditandatangani Siti Nurbaya pada 5 Januari 2022 itu, Boy mengelompokkan perusahaan dalam beberapa kriteria. Yakni, operasi perusahaan digagalkan masyarakat, perusahaan tambang tak memenuhi kewajiban reklamasi.

Juga, perusahaan tak lagi menguasai konsesi, perusahaan sekadar ambil kayu tetapi mengerjakan sebagian kecil areal, perusahaan eksisting mengerjakan areal untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan. Kemudian, perusahaan dengan sebagian besar areal sudah jadi perkebunan sawit.

“Butuh analisa lebih lanjut dan dalam untuk mengetahui kondisi tutupan areal yang dicabut atau sedang dievaluasi itu.”

Boy usul lokasi dengan izin dicabut jadi areal perhutanan sosial dan tanah obyek reforma agraria. Jangan sampai, katanya, pencabutan izin diikuti kebijakan legalisasi keterlanjuran, baik melalui pelepasan kawasan hutan atau izin penggunaan kawasan hutan. “Skema itu malah melanggengkan dominasi korporasi atas daratan Indonesia atau tuan tanah skala besar,” katanya.

Selain itu, areal-areal itu sebaiknya jadi obyek reforestasi guna memperkuat komitmen iklim Indonesia. Janji jangka benah, kata Boy, tak boleh jadi dasar membiarkan korporasi yang terus meraih untung dari kawasan hutan.

Dalil satu daur atau durasi 25 tahun, kata Boy, sebaiknya dengan cara pemulihan berbasis masyarakat dan tegas pada pelaku kejahatan lingkungan.

 

Lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Bengkalis,Riau pada Maret 2014. Kebakaran hutan dan lahan di Riau, menyebabkan bencana asap, antara lain terbesar pada 2015 dan 2019. Foto : Zamzami/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version