Mongabay.co.id

ICEL Soroti Aturan Turunan UU Cipta Kerja, Makin Lemahkan Perlindungan Lingkungan Hidup?

 

 

 

 

Analisis Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) memperlihatkan, Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11/2020, menunjukkan relaksasi terhadap perlindungan lingkungan hidup. Hal ini makin terlihat dari peraturan turunan dari UU yang Mahkamah Konstitusi nyatakan inkonstitusional bersyarat baru-baru ini.

Dalam 2021, ICEL mencatat, beberapa peraturan turunan UU Cipta Kerja yang mengebiri muruah UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Salah satu yang jadi sorotan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 22, 23 dan 24.

Untuk PP 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ICEL melihat peraturan ini makin memperkuat dugaan pengerdilan partisipasi publik yang dibatasi lewat UU Cipta Kerja.

“Ada keran partisipasi dibuka, tapi itu tidak cukup,” kata Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL dalam Indonesia Environmental Law Outlook 2022 secara virtual baru-baru ini.

Dalam PP itu disebutkan, masyarakat terlibat dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Hanya, definisi terbatas pada masyarakat terdampak langsung.

Sedang di luar masyarakat terdampak langsung, seperti pegiat lingkungan hidup, peneliti atau lembaga swadaya masyarakat hanya dibatasi pada mereka yang melakukan pendampingan pada masyarakat terdampak.

Kondisi ini, katanya, khawatir mengurangi peran organisasi lingkungan hidup sebagai wali lingkungan. Terlebih, bisa mengerdilkan makna oragnisai lingkungan hidup.

“Kami harap tetap ada diskursus lebih besar dalam pembahasan lingkungan hidup dalam amdal,” katanya.

Raynaldo G Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL menyebut, ruang partisipasi publik ini jangan membuat pemerintah berpuas diri. Terpenting, partisipasi masyarakat didengar dan terakomodir.

“Banyak peraturan berhenti pada penyediaan forum. Padahal, yang penting jaminan bahwa ide-ide dari forum ditindaklanjuti.”

 

Aksi berbagai elemen masyarakat protes rencana tambang emas Trenggalek, 25 Oktober lalu. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, mengatakan, pengabaian partisipasi publik tengah jadi tren. Keadaan ini berpotensi menyebabkan tata kelola lingkungan tidak baik.

Apalagi, pemerintah tengah mendorong berbagai proyek strategis nasional. Proyek-proyek yang kerap mendapat keistimewaan ini berpotensi melahap kawasan hutan, bahkan hutan lindung.

“Karena proyek-proyek strategis ini arahnya pada pertumbuhan investasi dan ekonomi,” kata Hariadi.

Padahal, jika melihat beberapa PSN dalam bentuk pembuatan waduk, seharusnya pemerintah melihat hutan lindung yang memiliki fungsi sama dengan waduk sebagai suatu hal strategis. “Tidak ada statemen yang menyebut kalau hutan lindung itu strategis,” katanya.

 

Persoalan hukum

ICEL pun menyorot PP 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Denda Administratif Bidang Kehutanan. Hal ini berkaitan dengan penyelesaian keterlanjuran kegiatan di kawasan hutan yang tak ada izin kehutanan maupun berusaha.

Dalam kebijakan ini mengedepankan penyelesaian keterlanjuran itu dengan pembayaran denda administratif. “Di luar tipologi pasal ini, seharusnya pemerintah lebih selektif untuk penegakan hukum pidana,” kata Grita.

Yazid Nurhuda, Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyampaikan masalah penegakan hukum yang berpotensi terhambat karena ultimum remidium sanksi administratif.

Dia bilang, ada pertentangan norma antara UU Cipta Kerja dan UU PPLH. Hal itu terlohat di Pasal 82B ayat 3– yang lagi-lagi mengedepankan sanksi administratif bagi pemegang izin usaha yang melebihi baku mutu kerusakan lingkungan.

Padahal, di UU PPLH, kegiatan seperti ini selalu masuk ranah pidana, sebagaimana termaktub dalam Pasal 99 ayat 1.

“Ini kaitan dengan kasus karhutla. Selama ini kita pakai Pasal 99 ayat 1 karena kelalaian. Kalau ini masuk ke sanksi administrasi, jadi hal yang menghambat hukum pidana,” kata Yazid.

 

KLHK segel konsesi perusahaan terbakar di Jambi, pada 2019. Ada UU Cipta Kerja dan aturan turunan, memperlemah penegakan hukum? Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Untuk mengatasi ini, katanya, KLHK sudah berkomunikasi dengan kejaksaan dan penegak hukum lain. Kejaksaan, di sini menyebut kalau azas hukum baru akan mengesampingkan azas hukum lama.

Dengan demikian, sanksi administratif akan didahulukan. “Tapi diksusi lain menyebut kalau ada pasal di UU PPLH yang menyebut sanksi administratif tidak mengesampingkan pidana,” kata Yazid.

Meskipun demikian, dia menyebut penegakan hukum terkait karhutla tak akan kendor. Pasalnya, ada nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara Jaksa Agung, Kapolri maupun Menteri LHK.

“Jadi, bisa terpadu dan percepat proses penegakan hukumnya.”

ICEL juga mencatat , dalam 2021, ada penegakan hukum lingkungan patut mendapat apresiasi. Paling utama, kemenangan perdana kasus anti strategic lawsuit against public participation (SLAPP).

Pengadilan Tinggi Bangka Belitung memenangkan enam warga Kenanga dari segala tuntutan dan memulihkan seluruh hak mereka. Sebelumnya, mereka kena vonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Sungailiat dan ditahan 22 hari.

Pengadilan Tinggi Bangka Belitung menginterpretasikan Pasal 66 UU PPLH dengan mengakui dan mengidentifikasi perbuatan warga sebagai bentuk partisipasi publik yang dijamin hukum.

“Putusan penting ini harusnya jadi momentum penguatan anti-SLAPP,” kata Grita.

Selain anti-SLAPP, putusan pengadilan lain yang bisa jadi moementum datang dari PN Jakarta Pusat. Pada 2021, pengadilan memenangkan gugatan warga atas pencemaran udara Jakarta.

Dalam putusan, Presiden, Gubernur Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan hingga Menteri Dalam Negeri bersalah dan mendapat hukuman beragam.

“ICEL mendorong para tergugat segera menjalankan putusan agar hak atas udara bersih bagi warga segera terpenuhi.”

Sayangnya, putusan-putusan pengadilan banyak belum eksekusi. Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, KLHK memenangkan gugatan Rp4,67 triliun sampai 2021.

“Hanya Rp13,1 miliar yang dibayarkan. Memastikan eksekusi putusan berjalan baik dan pemulihan perlu jadi prioritas,” kata Dodo.

Yazid bilang, salah satu kendala penegakan hukum lingkungan adalah sumber daya manusia terbatas. Di tingkat penyidikan, mereka hanya punya 129 penyidik pegawai negeri sipil.

Padahal, kejahatan lingkungan yang luar biasa dan kompleks itu banyak dan batasan penyidikan 90 hari. Kondisi ini, katanya, berpotensi membuat penegakan hukum mandek.

Kalau penyidikan tak selesai dalam waktu itu, kasus akan dilanjutkan kejaksaan. “Dalam praktiknya tidak serta-merta atau otomatis.’

Dampaknya, ada beberapa kasus berhenti atau tidak lanjut karena kewenangan penyidikan sudah habis. “Di UU Cipta Kerja kami usulkan agar dihilangkan, tapi tidak berhasil,” katanya.

 

Protes warga atas pemcemaran pabrik tapioka di Bangka, beberapa waktu lalu. Foto: Jatam
Exit mobile version