Mongabay.co.id

Di Hutan, Perempuan Suku Mapur Bahagia

 

  

Baca sebelumnya:

Tergerusnya Hutan Adat Suku Melayu Tua di Pulau Bangka

Menjaga Hutan Melancarkan Orang Mapur Menuju Surga

**

 

Pagi, sejumlah perempuan di Dusun Aik Abik, Desa Gunung Muda, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, sibuk ngetem [memanen padi] di sebuah ladang seluas seribu meter persegi, di kaki Gunung Cundong [300-an meter]. Menjelang siang, lima perempuan di sebuah pondok panggung di kaki Bukit Sumedang [200-an meter], bergegas memasukkan gabah ke sejumlah karung, yang baru dijemur sekitar satu jam di halaman pondok.

Di langit, hamparan awan hitam terlihat. “Mau turun hujan, jadi disimpan dulu. Besok dijemur lagi,” kata Nek Ma [60], pemilik pondok, pertengahan Februari 2022.

“Hasil panen padi tahun ini cukuplah untuk makan setahun. Mungkin jadinya 4-5 karung [400-an kilogram beras]. Tapi beberapa tahun terakhir, hasil panen kami kurang bagus. Banyak burung dan monyet [Macaca fascicularis Raffles] makan padi kami. Ini semua karena hutan habis, membuat banyak hewan sulit mencari makan,” ujar Nek Ma.

Setiap musim panen, ngetem dilakukan perempuan Suku Mapur secara gotong royong. Mereka ngetem pada semua ladang padi milik warga yang ikut gotong royong. Panen biasanya berlangsung setiap Februari. Dalam setahun, Suku Mapur hanya satu kali menanam padi.

 

Nek Ya, berusia sekitar 110, sebagian besar hidupnya berada di tengah Benak. Hutan adat Suku Mapur di Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sejak tahun 2006, PT. GPL [Gunung Pelawan Lestari] memperluas perkebunan sawit di wilayah hidup Suku Mapur di Desa Gunung Muda, Desa Gunung Pelawan, Desa Mapur, dan Desa Silip. Perusahaan ini mendapatkan izin perluasan dari pemerintah Kabupaten Bangka, seluas 13.565 hektar. Dusun Aik Abik yang masuk Desa Gunung Muda, banyak kehilangan hutan adatnya.

Perempuan Suku Mapur kembali gotong royong saat nugal atau menanam padi. Mereka menaburkan benih ke dalam lubang, yang dibuat para lelaki dengan cara menombakkan sebuah batang kayu ke tanah.

“Di sini [Orang Mapur] kalau beume itu sama-sama. Perempuan dan laki-laki bekerja di kebun. Kalau ke hutan juga sama. Di rumah juga seperti itu, semuanya kerja bersama. Kalau tidak, ya, susah hidup di kebun dan hutan,” jelas Nek Ma.

Padi yang ditanam yakni padi beras merah [Oryza sativa L.] lokal. Bibitnya diturunkan para leluhur Suku Mapur sejak ratusan tahun lalu.

Selain menanam padi, Suku Mapur di Dusun Aik Abik, menanam sayuran, umbi-umbian, tanaman rempah seperti jahe [Zingiber officinale var. Rubrum], kunyit [Curcuma domestica], dan kencur [Kaempferia galangal, L]. Serta, berkebun sahang [Piper nigrum L], karet [Hevea brasiliensis], dan buahan seperti durian [Durio zibethinus Murr.], cempedak [Artocarpus integer], juga manggis  [Garcinia mangostana].

 

Ladang padi yang dikelola Suku Mapur di Dusun Aik Abik, di tengah perkebunan sawit dan tambang timah. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Dalam adat Suku Mapur, hasil tanaman pangan, seperti padi, umbi-umbian dan sayuran, tidak boleh diperjualbelikan. Pangan ini hanya boleh dibarter dengan barang lainnya, seperti minyak sayur, gula dan kopi. Yang boleh dijual yakni sahang, karet, buah, serta tanaman rempah.

Sambil menunggu hasil dari beume, perempuan Suku Mapur bersama suami atau sesama perempuan [kelompok kecil] akan masuk ke hutan. Mereka mencari tanaman seperti rotan [Calamus rotang] dan daun rumbia [Metroxylon sagu] sebagai bahan anyaman, atau mencari tanaman obat, ikan di sungai dan rawa, jamur, dan madu.

“Tapi kami sudah jarang masuk hutan. Hutan kami sudah habis. Semua jadi kebun sawit perusahaan. Kalau terpaksa mencari rotan atau daun rumbia, kami harus ke Benak,” kata Nek Ma.

Benak merupakan kawasan hutan adat Suku Mapur di kaki Gunung Pelawan [300-an meter] dan Gunung Cundong [300-an meter], di antara Dusun Pejem dan Dusun Aik Abik. Luasannya sekitar 2,8 ribu hektar. Jarak Benak dengan permukiman di Dusun Aik Abik sekitar 15 kilometer.

Nek Aso [68], yang bersama ibunya, Nek Ya [110] menetap di Benak, menjelaskan jika hutan adat Benak hilang, maka hidup mereka berakhir. Sebab hutan yang membuat mereka dapat beume, mencari obat-obatan, madu, jamur, dan lainnya. Hutan ibarat guru dan keluarga bagi perempuan Suku Mapur. Jika dirawat dengan baik, hutan akan memberikan yang terbaik.

“Kalau hutan adat ini hilang, kami yang paling rugi. Perempuan Mapur itu hidupnya dari hutan. Kami bahagia hidup di dalam hutan,” kata Nek Aso.

 

Perempuan Suku Mapur di Dusun Aik Abik, Desa Gunung Muda, Kabupaten Bangka, tengah ngetem atau panen padi secara gotong royong. Foto: Nopri Ismi-Mongabay Indonesia

 

Menentukan agama

Posisi perempuan dengan lelaki Suku Mapur yang sejajar dalam memanfaatkan hutan adat, membuat perempuan Suku Mapur memiliki daya tawar dalam membangun sebuah keluarga.

“Suami harus mengikuti agama istri. Jika perempuan Mapur menganut kepercayaan adat, laki-laki yang menjadi suaminya harus ikut kepercayaan adat. Begitupun kepercayaan lainnya, seperti Islam, Buddha atau Kristen,” kata Abok Geboi atau Buyut Geboi [53], Ketua Adat Mapur Desa Gunung Muda.

Selain itu, mereka memiliki kebebasan untuk mencari pendapatan selain dari beume. Misalnya mendapatkan penghasilan dari membuat anyaman dari rotan, seperti julang [tempat membawa padi, yang diletakan di depan tubuh] dan keruntung [tempat membawa padi, yang diletakan di punggung], membuat tikar pandan duri [Pandanus tectorius], atau berjualan makanan.

“Dibebaskan mencari pendapatan, sejauh tidak melanggar adat atau etika sebagai perempuan,” kata Abok Geboi.

Umumnya, dalam rumah tangga, perempuan Suku Mapur yang mengatur keuangan keluarga. “Tapi, ada yang mengelola [uang] bersama. Tergantung kesepakatan keluarganya,” lanjut Abok Geboi.

Sementara posisi yang tidak disentuh perempuan Suku Mapur, yakni menjadi ketua adat atau memimpin musyawarah adat.

“Terkait penguasaan pengetahuan, seperti pengobatan dan ilmu kebatinan, perempuan boleh menguasainya. Bukan hanya laki-laki,” kata Asih Harmoko [40], Ketua Lembaga Adat Mapur [LAM].

 

Pada Suku Mapur, peran perempuan dan lelaki sama. Sejajar. Foto: Nopri Ismi-Mongabay Indonesia

 

Di Dusun Aik Abik, pernah hidup seorang dukun perempuan terkenal.

“Namanya Nek Mun [almarhum]. Suaminya, Mang Sikat [almarhum] juga seorang dukun. Tapi Nek Mun yang terkenal sakti. Banyak orang dari Sumatera maupun Jawa, berobat dengan Nek Mun. Dia bukan hanya mengobati penyakit di badan [tubuh] juga jiwa,” ujar Asih.

Salah satu kisah kesaktian Nek Mun, yang banyak diingat warga di Dusun Aik Abik, yakni memadamkan kebakaran hutan di Gunung Maras [705 meter].

Kisahnya, terjadi kebakaran hutan di Gunung Maras. Tahun 2015. Warga di sekitar Gunung Maras sudah berusaha memadamkannya. Setelah beberapa hari, api tidak juga padam. Lalu, ada seorang warga berinisiatif minta bantuan Nek Mun.

Nek Mun mengirimkan air yang dimasukan ke dalam sebuah botol. Air yang dikirim sudah dijampi atau dibacakan mantra yang memiliki kekuatan gaib. Air tersebut disiramkan pada lokasi kebakaran. Tidak lama kemudian api dan bara yang membakar hutan di Gunung Maras, padam.

“Kisah ini sudah diketahui banyak orang di Bangka,” kata Asih.

Lanjut Asih, Nek Mun tidak bersedia membantu bencana alam yang disebabkan oleh kerakusan manusia, atau tindakan manusia yang sengaja merusak. “Katanya, seperti yang saya dengar, bencana yang disebabkan ketamakan manusia, hanya Tuhan yang dapat mengatasinya. Misalnya, bencana akibat aktivitas tambang [mineral].”

Mengapa wilayah adat Suku Mapur di Dusun Aik Abik, tidak diampak oleh Nek Mun?

Asih terdiam sejenak. “Saya tidak tahu. Mungkin Nek Mun banyak pertimbangan. Sebab banyak orang Mapur yang juga mencari penghasilan dari menambang timah. Apalagi, jika suatu wilayah sudah kena ampak, tidak dapat lagi dikembalikan timahnya.”

 

Nek Ya [110], dan anaknya Nek Aso [68], mengaku hidup bahagia di dalam hutan adat Benak, Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi-Mongabay Indonesia

 

Ampak adalah tindakan meniadakan pasir timah pada sebuah wilayah, yang menggunakan ilmu kebatinan. Ilmu ampak ini cukup dikenal pada masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung. Para dukun yang menguasai ilmu tersebut.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda atau Kesultanan Palembang, sejumlah kelompok masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung menghilangkan pasir timah di kampungnya dengan cara ampak. Tujuannya, menghindari konflik di dalam keluarga [menjual lahan] atau menolak penambangan timah.

“Tapi saat ini sudah sulit menemukan dukun yang mengaku dapat melakukan ampak,” kata Teungku Sayyid Deqy, penulis buku “Korpus Mapur dalam Islamisasi Bangka”.

Salah satu persoalan perempuan Suku Mapur adalah pendidikan. Banyak perempuan Suku Mapur yang saat ini usianya di atas 40-an tahun, tidak memiliki pendidikan yang baik. Sebagian besar hanya mengecap pendidikan di sekolah dasar [SD].

“Cukup bisa membaca dan menulis,” kata Abok Geboi.

 

Sejumlah anak di Dusun Tuing, Desa Mapur, Kabupaten Bangka, yang pulang dari sekolah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tapi, anak-anak Suku Mapur yang dilahirkan mulai pertengahan tahun 1990-an mulai sekolah hingga SMP [Sekolah Menengah Pertama], SMA [Sekolah Menangah Atas] atau menjadi sarjana.

“Anak saya yang tertua [perempuan] baru selesai kuliah di UT [Universitas Terbuka]. Tapi dia tetap berkebun. Dia punya kebun sendiri. Persiapan buat dia berkeluarga nanti,” kata Abok Geboi.

Sekitar lima tahun lalu, masih banyak terjadi pernikahan usia muda di Suku Mapur. “Dulu, tamat SMP [Sekolah Menengah Pertama] banyak yang langsung menikah,” kata Yuk Su [44], warga Dusun Tuing, Desa Mapur, Kabupaten Bangka.

“Tapi sekarang mulai berkurang. Sebab banyak yang hidup susah. Kebun sudah tidak seperti dulu lagi. Sudah banyak berkurang, dijual ke perusahaan sawit.”

Meskipun sebagian besar orang Mapur di Dusun Tuing, Desa Mapur, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, bukan Suku Mapur murni [Orang Lom], tapi sehari-harinya kaum perempuannya banyak beraktivitas di kebun atau kegiatan yang menambah pendapatan keluarga.

“Di sini kan banyak dihasilkan ikan dan sotong [Sepia sp] dari laut. Perempuan di sini banyak membuat kerupuk dari ikan atau sotong. Sebagian juga mencari kerang-kerangan di pantai atau mangrove, buat dimakan atau dijual,” kata Yuk Su.

Jika membutuhkan obat atau mencari jamur, sebagian perempuan di Dusun Tuing pergi ke hutan. Seperti hutan di Gunung Tuing [300-an meter].

 

Bentang alam wilayah adat Suku Mapur yang berubah, dari hutan menjadi sawit, sebuah kesedihan bagi kaum perempuan Suku Mapur. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Mother earth

Dr. Fitri Ramdhani Harahap, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung, menilai perempuan Suku Mapur, seperti umumnya perempuan dari masyarakat adat di Indonesia. Perempuan berperan sebagai “ibu bumi” atau mother earth.

“Perempuan sebagai ibu bumi [mother earth], berperan mempertahankan sumber-sumber kehidupan. Bumi menjadi ruang hidupnya yang penuh dengan nilai-nilai dan pengetahuan mendalam, serta sistematis mengenai proses-proses alam.”

Secara spesifik, mengutip Rodda [1993], perempuan sebagai ibu bumi berperan; pertama, sebagai consumers yaitu penghasil pangan bagi keluarga dan komunitas adatnya dengan mengambil hasil dari tanaman atau hewan yang ada di alam.

Kedua, perempuan sebagai campaigners yaitu penyampai pesan betapa pentingnya menjaga ekosistem di wilayah adatnya. Ketiga, perempuan sebagai educators yaitu berperan dalam proses alih pengetahuan mengenai berbagai kegiatan produktif maupun reproduktif kepada anak-anak perempuannya. Keempat, perempuan berperan sebagai communicators yaitu pemasar hasil dari alam ke tempat lain.

Peran-peran perempuan pada masyarakat adat ditempatkan sebagai kelompok pemegang kekuasaan atas bumi atau alam yang memiliki hubungan sangat erat dan dekat. Perempuan-perempuan yang dikonstruksi dalam nilai-nilai ekologis terbentuk menjadi perempuan-perempuan yang kuat dan tangguh.

“Perempuan Suku Mapur sangat menonjol perannya sebagai penghasil pangan, penjaga ekosistem, dan penjaga tradisi seni atau kriya di komunitasnya. Perempuan Suku Mapur merupakan perempuan yang tangguh dan bahagia bersama hutan,” kata Fitri.

 

*Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center.

 

 

Exit mobile version