Mongabay.co.id

Sudah 10 Tahun, Limbah Minyak Hitam Cemari Laut Bintan

 

Pantai-pantai yang terkenal indah di perairan Kabupaten Bintan berubah seketika. Pasir-pasir putih yang dihempas ombak, menjadi hitam. Air laut tidak lagi jernih, tetapi bercampur gumpalan warna hitam pekat dan mengkilat.

Itu semua adalah limbah minyak (sludge oil) yang dibuang kapal asing di tengah laut kemudian mencemari pesisir Bintan. Limbah sludge oil adalah endapan minyak bumi berbentuk logam berat terdapat di kapal, yang banyak dibuang oleh pemilik kapal internasional di wilayah selat Singapura

Kejadian pencemaran laut karena limbah minyak hitam kembali terjadi, awal Maret 2022 lalu. Limbah yang diduga dibuang kapal asing di perairan perbatasan ini dibawa ombak pada musim angin utara ke pesisir Bintan. Kali ini, limbah minyak hitam mencemari pesisir pantai yang terdapat di Desa Malang Rapat, Kabupaten Bintan. Tepatnya mengarah ke Laut China Selatan.

Limbah itu pertama kali ditemukan Iwan Winarto pengelola objek desa Wisata Pengudang Kabupaten Bintan. Iwan mengatakan, limbah berbentuk cairan hitam yang menggumpal, tidak hanya mencemari pantai, limbah minyak hitam juga menempel di daun-daun mangrove dan di bebatuan sepanjang pesisir desa Malang Rapat. “Setidaknya sekitar 200 meter bibir pantai yang tercemar,” kata Iwan kepada Mongabay Indonesia awal Maret 2022 lalu.

Kawasan yang akan tercemari oleh limbah minyak hitam itu akan semakin meluas. Bahkan tahun-tahun sebelumnya hampir seluruh pesisir sebelah utara Bintan terimbas. “Ini baru awal, biasanya semakin meluas,” katanya.

Sama kejadian setiap tahunya, di beberapa sisi pantai terdapat kantong plastik berukuran besar yang menyankut di ranting-ranting pohon mangrove. Kantong plastik ini terlihat sudah pecah dan didalamnya masih menyisakan minyak hitam. “Seperti biasanya limbah itu dibuang menggunakan kantong plastik tersebut, ukurannya sekitar 50 kilogram beras,” ujar Iwan.

baca :Ekosistem Laut Terancam Pencemaran Perairan

 

Kantong plastik yang diduga tempat kapal asing membuang limbah di perairan internasional. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Pencemaran ini setiap tahunnya terjadi kata Iwan, terutama pada musim angin utara. “Setiap tahun selalu ada, palingan jumlahnya limbah minyak hitam yang mencemari itu saja yang berbeda, kadang banyak, terkadang tidak terlalu,” jelasnya.

Kejadian awal Maret itu belum dilaporkan Iwan kepada pemerintah setempat. Selain sudah bosan melaporkan, solusi dari pemerintah tidak kunjung ada. “Dari tahun ke tahun tetap tidak ada solusi,” katanya.

Iwan mengatakan, beberapa tahun belakangan pencemaran laut ini sudah dilaporkan ke pemerintah pusat, bahkan sudah sampai Kemenko Kemaritiman dan Investasi. “Tetapi belum ada solusi juga, kejadian ini biasa terjadi sepanjang Desember sampai bulan April,” ujar Iwan.

Pencemaran limbah oleh kapal asing ini tidak bisa dianggap remeh, karena dampaknya jelas merusak laut, mengurangi tangkapan nelayan, merusak destinasi pantai di Bintan. “Bahkan minyak tahun kemarin masih ada di batu-batu sampai sekarang, ini datang lagi,” kata Iwan.

 

Pemerintah Minim Anggaran

Sampai saat ini pemerintah daerah belum mempunyai langkah kongkrit bersama untuk mengatasi pencemaran minyak hitam di pesisir Bintan. Tidak hanya Bintan, kejadian ini juga sering terjadi di Kota Batam. Pemerintah setempat mengaku tidak punya anggaran untuk melakukan patroli khusus mengawasi kapal-kapal asing agar tidak membuang limbah di laut.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Hendri S.T mengatakan, sampai saat ini pemerintah setempat sudah melakukan antisipasi di hilir dengan cara membersihkan pantai setelah tercemari oleh minyak hitam itu. Tidak hanya masyarakat, biasanya pembersihan dilakukan juga bersama perusahaan terutama resor-resor yang terdampak.

Hendri melanjutkan, LHK provinsi bertanggung jawab mengumpulkan limbah-limbah tersebut, dengan dukungan biaya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pembersihan dilakukan berdasarkan petunjuk satelit yang dimilikinya. Satelit mampu mendeteksi lokasi minyak hitam yang terdapat di perairan Bintan. “Itukan terjadi di lepas pantai, kita punya satelit mendeteksi tumpahan minyak,” kata Hendri.

baca juga : Peran Baru Pelabuhan Laut Indonesia untuk Menurunkan Emisi Karbondioksida

 

Gumpalan-gumpalan minyak hitam yang memenuhi daun mangrove di Perairan Bintan. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Meskipun pemerintah bisa mendeteksi lokasi tumpahan minyak, tetapi tidak bisa mendeteksi kapal yang melakukan pembuangan minyak. “Padahal seharusnya itu masalah ini diatasi dari hulu (kapal asing), kalau hanya bersihkan pantai saja itu hanya seperti cuci piring, besok kotor lagi,” katanya.

Sampai saat ini sebenarnya pemerintah sudah punya tim khusus untuk mengatasi masalah ini, yaitu Tim Aksi Daerah. Terdiri dari Bakamla, Lanal, Polairud. “Semua itu untuk menjaga kapal-kapal tidak membuang limbah sembarang di laut,” katanya.

Tapi, pengamanan laut butuh anggaran operasional besar, beberapa instansi tidak memiliki anggaran itu. “Kalau dinas kita memang tidak punya kapal untuk itu,” kata Hendri.

Pencemaran laut Kepri ini oleh limbah minyak kapal asing sudah terjadi sejak 2012 lalu. Namun, sampai saat ini belum ada solusi yang betul-betul menghentikan kejadian sama agar tidak terulang. “Kalau solusinya mestinya duduk bersama semua instansi terkait membahas penanggulangan minyak hitam ini,” katanya.

Beberapa waktu belakangan, tim aksi daerah sudah pernah duduk bersama melakukan diskusi. Tetapi sampai saat ini belum ada lanjutan. “Kalau laporan ke saya, tidak hanya bulan Februari, tetapi Desember dan Januari 2022 sudah ditemukan minyak ini,” kata Hendri.

Pencemaran air laut Hendri bilang, sangat merusak lingkungan karena termasuk limbah B3, nelayan sudah berdampak, jaring rusak, alat tangkap rusak, berdampak pada wisata pantai. “Karena minyak hitam itu tidak ada lagi yang wisata di pantai,” katanya.

baca juga : Ini Dampak Berbahaya Jika Laut Tidak Sehat

 

Limbah minyak hitam terlihat disekeliling tambak ikan nelayan Bintan. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Jeremia Humolong Prasetya mengatakan, semua negara wajib melindungi dan memelihara lingkungan laut yang terdapat dalam konstitusi hukum laut, UNCLOS 1982. Salah satunya dari polusi yang bersumber dari kapal. “Kegiatan pembuangan ini banyak terjadi di Selat Malaka, yang merupakan selat untuk kepentingan pelayaran internasional,” katanya kepada Mongabay Indonesia baru-baru ini.

Ia melanjutkan, instansi keamanan laut Indonesia juga dapat melakukan penegakan hukum (appropriate enforcement measures) di wilayah laut Indonesia di Selat Malaka atas pencemaran minyak hitam dari kapal berdasarkan Pasal 233 UNCLOS 1982. “Untuk memenuhi persyaratan Pasal 233 UNCLOS 1982, instansi penegak hukum dapat menegaskan bahwa minyak hitam dari kapal dikategorikan sebagai zat/substance yang mengakibatkan kerusakan yang signifikan bagi lingkungan laut di Selat Malaka,” katanya.

Selain itu kara Jeremia, untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, Pemerintah Indonesia dapat belajar dari praktik penanggulangan pencemaran minyak di kawasan North Sea sebagaimana diatur dalam Bonn Agreement, yang mengkombinasikan penggunaan teknologi satelit dengan operasi pengawasan melalui udara (aerial surveillance) yang terkoordinasi dengan negara-negara pantai sekitar dan operasi pengawasan bersama. “Selain itu juga ada Pokmaswas yang telah terbentuk di sekitar Kepri untuk mengawasi dan melaporkan kejadian pencemaran minyak di wilayah Selat Malaka,” katanya.

Begitu juga kata Jeremia, Indonesia harus bekerjasama secara internasional dengan Malaysia, Singapura, dan negara-negara pengguna Selat Malaka untuk mewujudkan perlindungan lingkungan laut yang maksimal, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UNCLOS 1982.

“Untuk Selat Malaka, sebenarnya telah terdapat cooperative mechanism, forum dialog antara negara pengguna, negara pantai (Indonesia, Malaysia, Singapura), dan stakeholders terkait lain yang dapat digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mendiskusikan langkah konkrit (bantuan finansial, capacity building, dan lain-lain) dalam penanggulangan minyak hitam dari kapal,” ujar Jeremia.

baca juga : Laut Belitung yang Selalu Diperebutkan

 

Salah satu gugus pantai di pesisir Bintan yang memiliki pasir yang indah. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Terdapat juga forum dialog tripartit antara Pemerintah Indonesia, Singapura, dan Malaysia, Tripartite Technical Experts Group, yang bertujuan untuk kepentingan navigasi dan perlindungan lingkungan laut yang dapat didayagunakan untuk membahas operasi pengawasan dan penegakan hukum bersama.

Namun, belajar dari Bonn Agreement di North Sea, Pemerintah Indonesia dapat mengeksplorasi pembentukan perjanjian internasional (legally binding instruments) dengan Malaysia dan Singapura untuk kepentingan navigasi dan perlindungan lingkungan laut di Selat Malaka. Khususnya dalam hal finansial untuk kepentingan penegakan hukum dan pemulihan ekosistem akibat minyak hitam, Pemerintah Indonesia dapat mengeksplorasi pemanfaatan dana dari Revolving Fund to Combat Oil Pollution from Ships in the Straits of Malacca and Singapore, berdasarkan MoU antara Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Singapura, dan Malacca Straits Council.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemaritiman untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, pemerintah bisa melakukan dua hal untuk mengatasi pencemaran laut Selat Malaka oleh kapal asing yang berdampak kepada pesisir Kepulauan Riau.

Halim bilang, Indonesia harus menyusun pemerintah Indonesia bisa memberlakukan tarif pemeliharaan lingkungan untuk mengantisipasi terjadinya fenomena sludge oil seperti ini. “Indonesia juga perlu menggiatkan aktivitas pengawasan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi ALKI,” katanya.

 

 

Exit mobile version