Mongabay.co.id

Presidensi G20, Bagaimana Keseriusan Indonesia Lakukan Transisi Energi?

 

 

 

 

Indonesia presidensi G20 tahun ini. Agenda utama yang akan diadakan di Bali pada November 2022 ini bertajuk Recover Together, Recover Stronger. Salah satu isu prioritas dalam pertemuan ini adalah transisi energi berkelanjutan. Bagaimana peran G20 dalam transisi energi? Bagaimana Indonesia, sebagai tuan rumah bisa menunjukkan keseriusan untuk transisi ke energi terbarukan?

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan, kalau negara G20 bisa mengakselerasi transisi energi, maka kesempatan mencapai target dunia menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2050 bisa tercapai.

“Kemungkinan tercapainya tinggi,” katanya, baru-baru ini.

G20 adalah forum kerja sama multilateral terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa. Ia merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global dan 80% pendapatan bersih dunia. Sisi lain, negara-negara G20 juga jadi penyumbang emisi terbesar, hingga 85% karena pembakaran energi fosil, transportasi dan industri.

Pada bagian transisi energi, G20 merumuskan untuk melanjutkan upaya global memenuhi keamanan energi transisi ke energi terbarukan harus lewat pendekatan baru dengan memastikan energi bersih demi generasi mendatang.

Secara umum, kata Fabby, isu-isu yang digaungkan jadi prioritas diskusi dalam pertemuan G20 sudah tepat mengingat berbagai komitmen yang diteken sejak Perjanjian Paris hingga COP di Glasgow tahun lalu.

Dalam Transition Energy Working Group iven ini, Indonesia memandatkan pembahasan isu energi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Isu lingkungan hidup dan perubahan iklim kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ada tiga isu utama dalam pembahasan transisi energi, katanya, yakni, akses energi berkualitas, kerjasama teknologi bersih dan pembiayaan energi terbarukan.

Pembiayaan energi terbarukan, kata Fabby, penting kalau Indonesia ingin mendukung target global dalam transisi energi.

Meskipun Indonesia punya akses energi tinggi, elektrifikasi 99%, namun belum semua dapat mengakses energi berkualitas, termasuk energi bersih untuk listrik, memasak dan transportasi.

Untuk itu, kata Fabby, selain peningkatan akses, Indonesia juga perlu memperhatikan kualitas energi. Saat ini , sebagian besar akses listrik masih dari energi fosil, baik PLTU batubara maupun diesel untuk timur Indonesia.

 

Baca juga: Target Karbon Netral, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?

Indonesia presidensi G20 tahun ini dengan pertemuan puncak di Bali November nanti. Salah satu bahasan utama yang akan diusung mengenai energi berkelanjutan. Apakah Indonesia bisa memberikan contoh serius transisi ke energi berkelanjutan kalau melihat saat ini masih tergantung fosil? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Bisa berperan

Dalam meningkatkan bauran energi terbarukan di Indonesia, G20 dapat berperan dalam kerjasama teknologi dan pendanaan.

Indonesia, kata Fabby, perlu pendanaan murah agar harga listrik tetap terjangkau. Saat bersamaan, Indonesia harus bisa mendorong bauran energi agar sejalan dengan Kesepakatan Paris.

Untuk itu, katanya, perlu ada komunike yang memastikan Indonesia dapat menurunkan energi fosil dan meningkatkan energi terbarukan, karena Indonesia adalah pengemisi ke tujuh terbesar di dunia.

Tata Mustasya, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace mengingatkan, negara-negara G20 berperan dalam menyediakan platform untuk pembiayaan dan transfer teknologi.

“Dan mengarusutamakan tata kelola bersih melalui G20 ini,” katanya.

Maksudnya, akselerasi energi bersih harus menjadi momentum tata kelola energi yang bersih dari korupsi. Dia lihat, ada potensi besar energi bersih dan terbarukan ini menjadi lahan korupsi baru.

“Dari hulu ke hilir.”

Karena itu, perlu praktik transparansi dan akuntabilitas ke semua stakeholders. Pertemuan ini, mestinya juga berperan menghilangkan, perdagangan pengaruh (trading of influence), badan regulasi yang penuhi kepentingan politik dan bisnis (regulatory capture), maupun konflik kepentingan dalam akselerasi energi bersih.

Indonesia, katanya, tak bisa terus berlindung di balik sejumlah ‘energi baru’ yang diklaim bersih seperti co-firing PLTU maupun hilirisasi batubara jadi DME atau methanol.

Berbagai kajian menunjukkan energi ‘baru’ ini justru lebih mahal. Alih-alih meneruskan membangun industri yang masih memanfaatkan batubara, Tata meminta pemerintah serius mempensiunkan PLTU dan setop bangun yang baru.

Penghentian PLTU yang sudah beroperasi, katanya, praktis akan membuka ruang untuk energi terbarukan.

Sebelum ini, dalam side event G20, Ignatius Warsito, staf ahli Kementerian Perindustrian mengatakan. Indonesia menghadapi tantangan hilirisasi dalam transisi industri hijau, terutama batubara dan nikel, menjadi energi bersih.

Sebagai pengekspor batubara termal terbesar di dunia dengan tujuan Jepang, Vietnam dan India, Indonesia tercatat masih punya cadangan batubara 38.850 juta ton.

“Karena melimpah perlu gunakan batubara dengan nilai tambah,” katanya.

Kebutuhan batubara pada 2020 tercatat hanya 130 juta ton baik untuk energi maupun kebutuhan lain. Dengan cadangan batubara itu dia nilai bisa bertahan sampai 2091, Indonesia, katanya, masih bisa menambah rata-rata 600 juta ton per tahun, dengan asumsi tak ada sumber cadangan lain.

Sebanyak 66% untuk keperluan PLTU milik PLN, sisanya untuk keperluan industri.

 

Baca juga : Catatan Akhir Tahun: Transisi Energi Masih Setengah Hati?

PLTU Ombilin di Sumatera Barat. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Hilirisasi yang dimaksud Warsito yakni gasifikasi yang mengubah batubara menjadi DME pengganti LPG. Ini diklaim memberikan nilai tambah 5,7 kali lebih tinggi daripada batubara mentah. Kalau diolah jadi mentanol dan bensin punya nilai tambah masing-masing 4,5 dan 5,9 kali lebih tinggi.

“Ini krusial, karena 75% konsumsi LPG kita dari impor,” katanya.

Catatan Kemenperin, impor LPG pada 2020 mencapai US$2,5 miliar. DME bisa gantikan LPG karena dia klaim lebih ramah lingkungan dan tidak beracun dengan komponen mirip dengan LPG.

Methanol, katanya, bisa sebagai campuran untuk mengurangi defisit bensin. Konsumsi methanol juga bisa jadi bahan baku DME dan biodiesel.

Saat ini, ada dua proyek gasifikasi DME, di Kutai Timur dan Tanjung Enim. Pengolahan metanol baru akan beroperasi pada 2024.

Untuk mengurangi ketergantungan kendaraan pada minyak dia sebut soal mobil listrik. Mengutip kajian Mc Kenzie, kata Warsito, Indonesia punya potensi pasar besar mengembangkan kendaraan listrik. Pada 2030 diharapkan penjualan motor listrik 1,2 juta unit dan mobil 1,5 juta unit.

Pada kesempatan lain, Destry Damayanti, Deputi Gubernur Bank Indonesia mengingatkan, Indonesia perlu pendanaan berkelanjutan untuk pemulihan yang inklusif.

“Pembangunan energi terbarukan massif akan jadi kesempatan besar untuk tranformasi menuju ekonomi berkelanjutan,” katanya.

Ada banyak potensi besar energi terbarukan bisa dikembangkan di Indonesia, antara lain, 24.000 megawatt PLTA dan 23,6 gigawatt geothermal.

Transisi energi, akan membuka kesempatan bagi peningkatan berbagai produk industri yang bisa meningkatkan pendapatan perkapita 0,6-1,1% per tahun.

“Indonesia bisa jadi negara super power dalam investasi hijau.”

 

Energi terbarukan melimpah di Indonesia, salah satu energi surya. Kalau Indonesia mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan, yang berkelanjutan dan berkeadilan maka negeri ini bisa mandiri energi. Sementara batubara cair yang digadang-gadang sebagai ‘energi bersih’ itu tetap saja energi fosil. Foto: Shutterstock

 

Exit mobile version