Mongabay.co.id

Apa Kabar Lanjutan Setelah Pemerintah Cabut Izin Konsesi Perusahaan?

 

 

 

 

 

“Satu jengkal tanah Papua itu tidak ada yang kosong. Itu punya cerita, sejarah, pengetahuan yang berhubungan dengan masyarakat adat,” kata Ambo Klagilit, pemuda adat Suku Moi, Kabupaten Sorong, Papua Barat dalam webinar ‘Pencabutan Izin, Land Bank, dan Masa Depan Masyarakat Adat,” belum lama ini.

Awal 2022, masyarakat seakan mendapat ‘angin segar’ dengan kebijakan pemerintah mencabut lebih dari 2.000 izin pertambangan, kehutanan dan perkebunan, yang disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Dua bulan berselang, upaya baik dalam tata kelola lahan itu juga tidak ada kabar lanjutan. Baik data izin yang dicabut maupun skema peruntukan pasca pencabutan izin.

Ambo menanti keterbukaan dari proses izin-izin konsesi yang dicabut’ termasuk di Sorong itu. Mereka menantikan pengembalian tanah adat yang sebelumnya oleh pemerintah malah diberikan izin bagi investasi.

“Saat ini muncul pertanyaan besar di masyarakat adat Suku Moi. Apakah lahan yang izin konsesi sudah dicabut akan kembali ke masyarakat adat atau tidak?”

Hingga kini, belum ada informasi terbaru terkait kebijakan cabut izin  dan kembalikan tanah wilayah adat.

Informasi pencabutan izin usaha di wilayah adat Suku Moi, dia ketahui setelah ada gugatan yang dilayangkan perusahaan pemegang izin usaha kepada Bupati Sorong.

Ambo mendesak, pemerintah memastikan lahan-lahan dari pencabutan izin itu bisa kembali ke masyarakat adat. Masyarakat, katanya, perlu mandiri mengelola wilayah adat mereka.

Dia malah khawatir, kalau pencabutan izin ini hanya transaksional. “Masyarakat berpikir apakah (pencabutan) ini usaha untuk menggeser (izin) satu perusahaan lalu memasukkan perusahaan lain atau sengaja ditelantarkan kemudian dikuasai kembali melalui bank tanah,” katanya.

 

Baca juga: Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

Bank tanah

Mengenai bank tanah, ada Peraturan Pemerintah Nomor 64/2021 tentang Badan Bank Tanah. Ini merupakan badan hukum yang dibentuk untuk mengelola bank tanah.

Pada Pasal 6 dan 7 beleid itu menyebutkan, perolehan tanah dari tanah hasil penetapan pemerintah yang terdiri atas tanah negara dari tanah bekas hak, kawasan dan tanah terlantar, dan tanah pelepasan kawasan hutan. Juga tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang maupun tanah yang tak ada penguasaan di atasnya.

“Kurang kontrolnya pemerintah membuat masyarakat adat terus jadi korban atas nama investasi,” katanya.

Pengawasan terhadap investor maupun perusahaan yang memperoleh izin usaha pun minim.

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, menyebutkan, perlu ada kepastian realokasi dengan masyarakat adat/lokal mendapat prioritas juga pengembangan fasilitas umum.

Selama ini, katanya, antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan tata Ruang/BPN maupun Kementerian Dalam negeri belum sinkron menangani perubahan kawasan hutan jadi tanah negara.

Padahal, ketiga kementerian itu perlu terintegrasi bukan hanya sebatas administrasi juga pemetaan sosial kondisi lapangan yang sesungguhnya.

“Perlu memastikan ada pengelola di lapangan untuk menegah lebih besarnya penggunaan atau pemanfaatan hutan atau lahan yang tidak berhak atau free riders,” katanya.

Menurut dia, upaya pencabutan izin ini merupakan langkah bagi pemerintah mengkaji ulang dan memberi peringatan atau langsung mencabut izin sesuai kondisi.

Pencabutan izin, kata Hariadi, sebaiknya sebagai bagian dari proses perizinan biasa yang semestinya dilakukan. Terpenting lagi, katanya, kemungkinan penyimpangan baik dalam pencabutan izin maupun alokasi hutan atau lahan setelah ada pencabutan.

Maria Sri Wulan Sumardjono, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada mengatakan, kebijakan bank tanah dan hak masyarakat hukum adat itu jauh panggang dari api. Dia bisa memahami kekhawatiran masyarakat adat kehilangan tanah ulayatnya.

Dalam UU Cipta Kerja termasuk aturan pelaksana, seperti PP 64/2021 tak ada mengatur tentang masyarakat hukum adat dan hak ulayat.

Dengan begitu, katanya, yang kemungkinan terjadi dalam operasionalisasi bank tanah akan merugikan masyarakat adat, baik negosiasi langsung maupun melalui proses pengadaan tanah.

Dalam regulasi, katanya, posisi tawar masyarakat adat lemah dan tak ada jaminan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tanah untuk kepentingan investasi dan kepentingan masyarakat adat.

Dia mengusulkan, kalau tanah yang dulu dilepaskan, tanah ulayat tak perlu lepas menjadi tanah negara. “Perlu juga pengaturan tentang bentuk dan jenis ganti rugi kepada masyarakat adat jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum.”

 

Tata guna lahan, selesai Maret 2022?

Guna menindaklanjuti pencabutan izin, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres Nomor 1/2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Dalam rapat perdana satgas itu, Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, mengatakan, tugas dalam kepres itu antara lain, memetakan pemanfaatan lahan bagi pertambangan, perkebunan dan pemanfaatan hutan. Juga, memberikan rekomendasi kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM untuk pencabutan IUP, HGU, HGB, maupun izin konsesi kawasan hutan.

Kemudian, menetapkan kebijakan pemanfaatan lahan dengan perizinan sudah dicabut; dan klasifikasi lahan dan menetapkan peruntukan lahan secara berkeadilan dalam upaya memberikan nilai manfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Dia juga menargetkan seluruh proses pencabutan izin usaha atas lahan tak produktif selesai Maret 2022.

Mekanisme pencabutan izin usaha berasal dari kementerian maupun lembaga terkait. Kalau sudah clean and clear dari kementerian dan lembaga, katanya, segera disampaikan ke tim Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi untuk eksekusi pencabutan.

“Saya kalau tanda tangan hanya baca isinya. Saya teken. Ditujukan kepada siapa, saya tutup itu. Banyak yang kami cabut, teman-teman saya punya. Kalau da konflik kebatinan, bisa tidak jadi barang itu. Tapi kami cabut saja,” kata Bahlil dalam keterangan resmi Februari lalu.

 

Baca juga: Cabut Izin Tak Hentikan Perusahaan Sawit Buka Hutan Papua, Ini Foto dan Videonya


Berdasarkan perintah presiden, katanya, selanjutnya tim satgas melakukan klasifikasi dan mengusulkan penunjukkan langsung kepada organisasi atau kelompok masyarakat, badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik desa (BUMDes), koperasi, kelompok masyarakat, maupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah.

“Dasar penunjukan siapa yang dikasih, semua menunggu kewenangan presiden. Tugas kita sebagai eksekutor dan menyiapkan materinya.”

Rapat satgas ini dihadiri Wakil Ketua Satgas yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil.

Siri Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga Wakil Ketua Satgas II ini mengatakan, proses pencabutan izin merupakan rangkaian panjang melalui analisis dan dalam hal tertentu harus mengecek lapangan langsung. Selain itu, juga mencatat pelanggaran dan memerlukan proses penapisan.

Dia setuju proses pencabutan secara bertahap.

“Saya mendukung baik kerja sama ini. Saya setuju tenggat waktu Maret, setiap minggu harus diumumkan yang akan dicabut izin-izinnya.”

Sebelumnya, dalam Rapat Kerja KLHK dengan Komisi IV DPR, Siti mengatakan, pencabutan ini ada mekanisme klarifikasi.

“Jadi, kita punya indikasi berdasarkan foto satelit dan sudah ada dengan peringatan dan sebagainya. Nanti dari hasil klarifikasi di dalam desk klarifikasi verifikasi, akan keluar SK definitif pencabutan atau pengembangan kebijakan peningkatan produktivitas dan perlindungan,” katanya Februari lalu.

Posisi pemerintah, katanya, menjadi simpul negosiasi dari segala kepentingan. “Jadi tidak bermaksud menyusahkan perusahaan, juga tidak boleh menyusahkan kepentingan masyarakat dan pemerintah. Karena itu diperlukan desk klarifikasi.”

Togar Sitanggang, Wakil ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Sawit mengatakan, para pemilik izin masih bingung dengan pencabutan izin dalam surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan awal 2022.

“Tentu kami sebagai industri bertanya-tanya apa artinya ini?” dalam diskusi daring.

Meski demikian, perusahaan yang terkena dampak pencabutan izin belum ada indikasi apakah akan menempuh gugatan hukum atau tidak.

 

Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut

Wilayah adat Moi di Papua Barat seluas kurang lebih 400 ribu hektar. Suku Moi sendiri menyebar hampir di semua wilayah kepala burung Papua Barat. Selain sawit ancaman lain berupa tambang dan pengeboran minyak. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Transparansi

Grita Anindarini, Direktur Program Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, tindak lanjut pencabutan izin konsesi perusahaan belum terlihat. Untuk itu, penting proses lanjutan dari pencabutan izin ini terbuka dan transparan. “Hingga kita dapat memantau peruntukannya,” katanya.

Dia bilang, transparansi begitu penting dalam proses pencabutan izin ini agar tak ada penyalahgunaan kewenangan, misal, untuk percepatan proses pembangunan dan tidak menjawab konflik agraria selama ini.

Idealnya, kata Ninda, informasi keputusan pencabutan izin ini disertai kelengkapan lokasi wilayah hak guna usaha (HGU) dan izin. Hal ini untuk memastikan pengambilalihan konsesi oleh pemerintah yang bersih hingga dapat terdistribusi kembali ke masyarakat.

Dia juga mengingatkan, pecabutan izin ini tidak menghilangkan pertanggungjawaban terhadap lingkungan yang muncul akibat kegiatan atau usahanya.

Sahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia sependapat dengan Ninda. “Perlu evaluasi juga ke perusahaan yang izinnya dicabut dan harus transparan. Jika tidak menjadi ajang transaksional,” katanya.

Dia juga mempertanyakan mekanisme penyelesaian pemilik izin konsesi yang sudah membuka hutan dan mengambil keuntungan kayu, kemudian izin dicabut. Dia khawatir, cara cabut izin itu jadi pemutihan. “Mekanisme-mekanisme seperti ini yang perlu dibuka untuk publik agar bisa diawasi.”

Mengenai keterbukaan informasi terkait izin HGU tak pernah terlaksana padahal Mahkamah Agung telah memutuskan kalau data HGU adalah informasi publik yang bisa tersedia bagi siapa saja yang ingin mengakses.

“Keputusan pencabutan itu juga kami tidak tahu izin HGU mana yang dicabut, apakah pencabutan izin pelepasan hutan (ini) juga diikuti pencabutan izin HGU di sana atau tidak,” kata Sahrul.

 

 

 

*******

 

Exit mobile version