Mongabay.co.id

Menakar Komitmen Indonesia untuk Lingkungan di G20

Seorang petugas berlari menghindari asap saat terjadi kebakaran hutan Gunung Panderman, Kota Batu, Jawa Timur, pada Senin, (22/07). Berdasarkan laporan petugas di lokasi, ada satwa kera ekor panjang yang turun sampai ke kaki Gunung Panderman. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Indonesia membawa tiga prioritas isu di perhelatan pertemuan pemimpin negara-negara dengan kekuatan ekonomi, G20, tahun ini. Terkait isu perubahan iklim, solusi global yang diajukan adalah transisi energi.

Sejauh mana topik ini bisa jadi bagian mengatasi dampak krisis iklim? Sejumlah diskusi dan pertemuan untuk menakar pembahasan isu lingkungan sudah dimulai, baik dalam jaringan (online) maupun luar jaringan (offline).

Salah satunya dalam diskusi editor’s meeting Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) bertajuk Menakar Peran G20 Dalam Mengatasi Dampak Krisis Iklim pada 12 Maret 2022.

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai kepentingan ekonomi masih jadi prioritas dalam G20. Demikian juga di sektor lingkungan.

Ia menjabarkan, tujuh agenda prioritas presidensi G20 yang relevan terkait lingkungan adalah pembiayaan berkelanjutan, pembayaran lintas negara, dan perpajakan. Akumulasi uang korporasi sangat cepat meluas karena penegakan hukum lintas negara sangat lemah. Namun, ia menyayangkan kejahatan korporasi tidak dibicarakan di G20.

“Negara berdamai dengan pelaku penyebab emisi. Walau kita tahu nama perusahaannya, tapi melahirkan UU Tax Amnesty, pengampunan pajak dari pelaku kejahatan lingkungan dan keuangan,” urai Zenzi.

baca : Laporan IPCC Terbaru: Perubahan Iklim Ancam Kesejahteraan Manusia dan Kesehatan Bumi

 

Kebakaran hutan pada lahan konsesi sawit di Papua pada 2016. Sumber :  video Investigasi Greenpeace, dkk.

 

Indonesia berwacana mendorong transisi energi, di antaranya dari batu bara ke gasifikasi batu bara dan biofuel sawit. G20 juga dinilai bisa mendorong pembiayaan berkelanjutan ke kelapa sawit. Di sisi lain, korporasi tetap menambang batu bara, membuka hutan, dan melepaskan emisi. “Sama saja, bahkan lebih besar karena ada kimia yang terlepas,” jelasnya soal dua pilihan energi transisi itu.

Apakah agenda G20 bisa jadi solusi perubahan iklim?

Salah satunya komitmen zero batu bara pada 2045. Sejauh ini, sejumlah solusi dalam perundingan iklim, menurutnya, malah menyelamatkan bisnis yang sudah berjalan. “Ada atau tidak perjanjian batu bara, bisa jadi harus keluar karena materialnya sudah habis,” imbuhnya. Karena itu dalam G20 ini, menurutnya harus dibicarakan perubahan mendasar berkaitan dengan pangan dan energi. Karena kondisi saat ini, tujuan utama perusahaan mulitinasional adalah mengubah produsen jadi konsumen.

Zenzi mencontohkan, ketika Badai Seroja bergeser ke NTT, perubahan iklim makin terasa dampaknya ke khatulistiwa. Ini menyebabkan kerugian besar karena beban manusia menurutnya paling tinggi saat proses yang menyebabkan perubahan iklim. Namun, ketika lahan jadi kebun sawit dan batu bara, tak dihitung kerugian yang hilang itu.

Indonesia sebagai tuan rumah atau presidensi G20 menurutnya harus memimpin untuk membicarakan dampak langsung perubahan iklim. Substansi masalah lingkungan tak tergali karena masalah di masyarakat dengan topik konferensi dinilai sangat jauh. Misal istilah perubahan iklim di kawasan rural tidak familiar. Lebih mudah bagi warga memaknai sebagai perubahan musim atau cuaca.

baca juga : Presidensi G20, Bagaimana Keseriusan Indonesia Lakukan Transisi Energi?

 

Material banjir yang memenuhi pemukiman warga di bantaran kali di Kelurahan Waiwerang Kota, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT pasca Badai Seroja pada April 2021. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Zensi memaparkan bagaimana topik dampak iklim ini tak kunjung mendapat solusi konkrit karena kepentingan ekonomi lebih diutamakan. Perubahan suhu muka bumi mulai meningkat sejak industrialisasi sekitar 1960, dan Indonesia mulai eksploitasi hutan dan mineral pada 1965. Peningkatan 0,5 derajat terjadi di 20 terakhir. Kenaikan suhu disebut berbanding lurus dengan meningkatnya pembahasan solusi. Harusnya makin sering solusi dibahas, kenaikan suhu menurun.

Diperkirakan pada 2045 sampai pada titik akumulasi peningkatan 2 derajat. Ia mengutip data, kontribusi penduduk orang kaya pada kenaikan suhu sekitar 52%. Sekitar 100 perusahaan berkontribusi pada 70% emisi global. Tanggung jawab terbesar harusnya pada dua kelompok ini.

Di Indonesia, pada 2017, kontribusi perubahan iklim sekitar 49% dari sektor energi, sisanya akibat perubahan lahan misal deforestasi dan pengeringan lahan gambut. Pada 2006 dan 2015 dinilai paling signifikan karena terjadi kebakaran hutan dan gambut terparah yang melepas emisi ke udara. Ekosistem perairan dipaksa jadi daratan, dan mudah terbakar.

perlu dibaca : Menanti Babak Baru Transisi Energi

 

Peta sumber emisi gas rumah kaca di Indonesia pada 2015. Sumber : Walhi

 

Sedangkan Gracia Paramitha, Co-Chair Youth20 (Y20) juga mengakui dorongan kelompok muda untuk agenda dampak perubahan iklim dalam beberapa putaran pertemuan G20 kurang direspon.

Sepanjang 12 tahun terakhir, pemuda disebut hanya ornamen. Padahal jalan panjang pembangunan berkelanjutan sudah dimulai pada 1972, berlanjut pada 1992 di KTT Bumi atau Earth Summit di Brasil, MDGs pada tahun 2000, WSSD di Afrika Selatan, sampai dengan SDGs 2015-2030.

Sejarah G20 mulai dari pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral 7 negara maju (G7). Tiga agenda strategis tahun ini adalah arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi. Karena energi penyebab emisi tertinggi. Kelompok kerja membahas akses teknologi, energi bersih, dan pendanaan.

Gracia mengingatkan pentingnya mencari solusi dalam berbagai krisis lingkungan. Mengutip data IUCN pada 2020, kekerasan berbasis gender berbanding lurus pada krisis lingkungan. “Saat tak ada akses air bersih, ketika perempuan dan anak mencari berusaha mencari air, banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Sehingga isu gender dan iklim harusnya jadi prioritas pertama,” ujarnya.

Data BPS 2017 juga menyebutkan 9,9 juta rumah tangga dikepalai perempuan terdampak bencana alam. “G20 sejak 2009 implementasinya tidak kuat. Tak ada tata kelola dan monitoringnya. Tak ada keputusan mengikat. Perlu didobrak dan Indonesia punya potensi,” lanjutnya.

Survei yang melibatkan sekitar 5.700 anak muda di negara-negara G20 menyatakan anak muda makin sadar isu lingkungan dan perubahan iklim. Sekitar 45% berusaha update isu lingkungan. Masukan dan edukasi berbasis aksi nyata dinilai sebagai solusi penting. “Masukan yang kami berikan hanya formalitas. Rusia akan hadir, pasti disorot negara barat,” sergahnya. Green Blue Economy Circular bisa sebagai jembatan untuk pemetaan ulang negara anggota G20 selama konflik Ukraina-Rusia, serta pendanaan iklim untuk masyarakat sipil.

Sebagai kontribusi kelompok muda di G20, akan ada lagi penghitungan jejak karbon. Setiap sampah yang dihasilkan dihitung karbonnya. Ini menurutnya adalah langkah konkrit, tak hanya euforia.

baca juga : Krisis Iklim dan Gerakan Generasi Muda Peduli Bumi

 

Generasi muda yang terlibat dalam aksi peduli iklim ‘monster sampah’ di Makassar pada September 2021. Generasi muda yang paham dan perduli akan perubahan iklim dinilai akan lebih sukses dalam karier di masa yang akan datang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sementara, Irvan Imamsyah, Supervising Assignment Editor CNN Indonesia TV berharap media berperan dalam melaporkan informasi yang kuat dari G20 ini karena ada banyak paradoks antara kebijakan dan kondisi lapangan.

Pertama, anggota G20 adalah 19 negara dan Uni Eropa sebagai penyumbang terbanyak emisi global. Masalah di Indonesia dalam konteks transisi energi adalah transisi ini tidak murah, perlu pembiayaan. Pembiayaan hijau pun dinilai tidak optimal. “Oligarki batubara, usaha kehutanan dan sawit masih kuat. Transisi energi sulit karena kontrak jangka panjang batubara. Implementasi ekonomi hijau mulai dari pembangunan ramah lingkungan hingga pembiayaan hijau juga masih bermasalah,” urai Irvan.

 

Isu Transisi Energi

Tema Trade, Investment, and Industry Working Group (TIIWG) pada Forum G20 tahun ini adalah “Collective economic recovery: Aligning Trade, Investment and Industry Agenda with SDGs”. Tema ini mencoba untuk menyelaraskan agenda perdagangan, investasi dan industri G20 dengan SDGs (Sustainable Development Goals). Presidensi G20 Indonesia akan mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”. Tiga isu prioritas adalah penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital, serta transisi menuju energi berkelanjutan.

Negara-negara anggota G20 menyumbang sekitar 75 persen dari permintaan energi global. Karena itu, negara-negara G20 dinilai memegang tanggung jawab besar dan peran strategis dalam mendorong pemanfaatan energi bersih. Energy Transitions Working Group (ETWG) memfokuskan pembahasan pada keamanan energi, akses dan efisiensi, serta transisi ke sistem energi rendah karbon, termasuk juga investasi dan inovasi dalam teknologi yang lebih bersih dan efisien.

Mengutip Climate Transparency Report 2021, baru ada 11 negara G20 yang memiliki skema tarif emisi karbon eksplisit di negaranya, baik melalui pajak karbon atau emission trading system (ETS). Dalam forum G20, Indonesia dinilai memiliki kesempatan baik karena menjadi negara berkembang pertama yang memimpin perkumpulan negara-negara yang akan berdampak pada kebijakan ekonomi dan sosial secara global.

 

***

 

Keterangan foto utama : Seorang petugas berlari menghindari asap saat terjadi kebakaran hutan Gunung Panderman, Kota Batu, Jawa Timur, pada Senin, (22/07). Berdasarkan laporan petugas di lokasi, ada satwa kera ekor panjang yang turun sampai ke kaki Gunung Panderman. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version