Mongabay.co.id

Karbon Biru di Tengah Tantangan dan Hambatan

 

Memetakan potensi karbon biru (blue carbon) di perairan pesisir masih terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Upaya tersebut dilakukan dengan menggandeng banyak pihak dan dengan beragam cara. Termasuk, bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).

Pemetaan yang masih terus berlangsung tersebut dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengungkap seberapa besar potensi karbon biru yang ada di wilayah pesisir Indonesia. Sejak 2017, KKP bersama JICA melaksanakan kegiatan penelitan di wilayah pesisir dan laut.

Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP I Nyoman Radiarta mengatakan, kegiatan penelitian yang dilakukan bersama JICA berfokus pada ekosistem pesisir dan laut yang di dalamnya ada potensi karbon biru.

“Karbon biru bisa membantu Indonesia untuk memenuhi komitmen pada perubahan iklim dan sekaligus menjaga bumi,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.

Selain kegiatan penelitian, bersama JICA juga dilakukan kegiatan konservasi yang bertujuan sama untuk menjaga ekosistem pesisir dan laut. Dua kegiatan tersebut juga diharapkan bisa menjadi penopang kegiatan perekonomian, kesejahteraan, dan ketahanan bangsa secara terukur.

Adapun, kegiatan penelitian dan konservasi yang sudah dilaksanakan dalam lima tahun terakhir berfokus pada dua ekosistem terkuat di wilayah pesisir, yaitu padang lamun dan mangrove. Keduanya dikenal luas sebagai benteng pesisir karena mampu menyerap karbon.

baca : Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?

 

Sejumlah nelayan pulang dari melaut dan harus melewati hamparan lumpur di sekitar Pesisir Desa Batu Belubang yang sudah kehilangan mangrovenya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Resminya, KKP dan JICA menggelar program Science and Technology Research Partnerships for Sustainable Development (SATREPS) untuk Comprehensive Assessment and Conservation of Blue Carbon Ecosystems and their Services in the Coral Triangle (BlueCARES).

BlueCARES sendiri adalah salah satu proyek SATREPS dengan fokus penelitian karbon biru untuk pengembangan strategi nasional karbon biru yang akan mendorong konservasi ekosistem pesisir, sekaligus memberikan kontribusi pada program mitigasi perubahan iklim.

Secara teknis, I Nyoman Radiarta menjelaskan bahwa komponen kegiatan dalam kerja sama memiliki beberapa item. Di antaranya, adalah penghitungan (kuantifikasi) kapasitas simpanan karbon mangrove dan lamun sebagai penguatan sektor perubahan iklim Indonesia.

Kemudian, kuantifikasi dan valuasi layanan ekosistem yang dimanfaatkan masyarakat (perikanan, perlindungan pantai, ekowisata, badan lainnya); dan kuantifikasi dinamika ekosistem pesisir dan layanan ekosistemnya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari hulu ke hilir.

Dia mengakui, selama lima tahun terakhir, momen dua tahun terakhir dirasakan menjadi masa paling berat dibandingkan masa pada tiga tahun pertama. Hal itu bisa terjadi, karena kegiatan penelitian dan konservasi terkena dampak pandemi COVID-19 yang berlangsung di seluruh dunia.

Adapun, tantangan berat yang harus bisa dilewati selama masa pandemi COVID-19 itu, bagaimana seluruh pihak di tingkat regional bisa fokus pada output program untuk mendukung berbagai kebijakan di Indonesia berkaitan dengan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut.

“Termasuk, berkontribusi pada perencanaan pembangunan rendah karbon,” terang dia.

Menurut dia, tujuan akhir dari proyek ini adalah untuk mengembangkan dan menerapkan strategi pengelolaan karbon biru berbasis ilmu pengetahuan. Diharapkan, hasilnya bisa berkontribusi pada kebijakan yang terkait dengan konservasi dan perubahan iklim untuk skala lokal, nasional, dan regional.

baca juga : Begini Tantangan dan Strategi Pengelolaan Karbon Biru di Indonesia

 

Padang lamun di pesisir pantai Auki, Biak, Papua. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Tumpang Tindih Kewenangan

Seperti diketahui, ekosistem padang lamun dan mangrove adalah benteng utama yang selama ini menjadi pelindung wilayah pesisir, terutama berlindung dari dampak perubahan iklim yang makin nyata terjadi.

Akan tetapi, walau mengandung manfaat sangat besar, sampai sekarang kebijakan tentang tata kelola karbon biru masih belum juga ada. Meski pengembangan sedang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini, namun kebijakan ekosistem karbon biru (EKB) masih menghadapi tantangan yang kuat.

Di antara tantangan itu, adalah masih adanya duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa menjelaskan, keberadaan ekosistem mangrove dan padang lamun memang sudah saatnya untuk semakin diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Hal itu terjadi, karena penanganan dampak perubahan iklim semakin penting saat ini.

Dengan peran tersebut, permasalahan yang muncul di tengah pengembangan kebijakan EKB, sebaiknya harus segera diatasi. Tak terkecuali, permasalahan duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan yang bisa menghambat pelaksanaan, pengawasan, dan pengelolaan EKB menjadi lebih efektif.

Beberapa persoalan yang mendesak diselesaikan agar penataan ruang bisa melindungi EKB, adalah penyusunan tata ruang harus didasarkan pada inventarisasi lingkungan dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), percepatan penggabungan antara tata ruang darat dan laut sesuai mandat Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).

“Serta pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten terhadap pelanggaran kebijakan tata ruang,” jelas dia belum lama ini di Jakarta.

perlu dibaca : Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru

 

Perjalanan melintasi sekitar situs mangrove Bangko Tappampang, Tanakeke, Takalar, Sulawesi Selatan, menggunakan katinting. Kawasan seluas 51,55 hektar ini terancam antara lain oleh industri arang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Mas Achmad Santosa juga mengatakan bahwa akan ada potensi konflik tenurial antara Pemerintah dengan masyarakat yang menjadi pemilik lahan di kawasan pesisir dan sekaligus sebagai penjaga EKB. Potensi konflik tersebut harus diantisipasi dengan baik, karena bisa menghambat efektivitas perlindungan EKB dan memberikan manfaat ekonomi.

“Selain mangrove, data total luasan dan kondisi padang lamun di Indonesia (juga) belum tersedia sampai saat ini karena memang belum mendapat perhatian secara khusus dari Pemerintah,” tambah dia.

Menurut dia, permasalahan yang disebutkan di atas tersebut harus bisa diselesaikan, karena akan memengaruhi rencana kerja yang akan dilaksanakan pada 2022 ini. Itu terutama berkaitan dengan optimalisasi dan sinergi antar sektor serta kementerian dan lembaga (K/L).

Selain itu, agar pengelolaan EKB bisa menjadi lebih baik pada 2022, diperlukan integrasi pangkalan data (database), perencanaan, pengelolaan, pengawasan, kelembagaan, hingga pemberian manfaat ekonomi bagi Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.

 

Persoalan dan Target

Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Profesor Satyawan Pudyatmoko menyebut kalau permasalahan tumpang tindih kewenangan adalah hal yang perlu dibenahi. Persoalan tersebut tidak boleh dianggap sebelah mata, karena bisa menjadi berbahaya di kemudian hari.

Hal lain yang juga bisa dilakukan pada 2022 oleh Pemerintah, adalah pengembangan insentif ekonomi, terutama bagi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar EKB. Pemberian insentif akan mendorong motivasi keterlibatasan mereka, sehingga penguatan sosial dan ekologi bisa berjalan seimbang.

baca juga : Apakah Mangrove si Penyerap Karbon Bisa Tergantikan Teknologi?

 

Nelayan dari Suku Bajo di pesisir Teluk Tomini, tepatnya di kampung Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, memanfaatkan mangrove untuk mencari ikan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pentingnya menjaga keseimbangan, karena kedua ekosistem tersebut, utamanya mangrove masih ada dalam ancaman kerusakan. Selain perusakan secara langsung, ancaman juga ada karena pertumbuhan populasi manusia, penataan ruang yang tidak tepat, dan pembangunan infrastruktur maupun alih guna lahan.

“Pemerintah harus merespon penyebab yang dapat mengakibatkan mangrove menjadi rusak. Dalam menyelesaikan permasalahan mangrove ini perlu adanya dukungan dari berbagai institusi, tidak bisa hanya satu institusi saja,” papar dia.

Satyawan Pudyatmoko menerangkan, merujuk pada Peraturan Presiden RI Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, pemanfaatan karbon melalui dua ekosistem tadi, harus ditindaklanjuti dengan melaksanakan prosedur menghitung efektivitas penyerapan dan penyimpanan karbon.

Kemudian, juga harus ada mekanisme pemberian dan pendistribusian manfaat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga pelaksanaannya dapat memberikan manfaat yang besar untuk kepentingan masyarakat.

Di sisi lain, dengan tantangan dan segala keterbatasan yang ada, Pemerintah Indonesia tetap optimis akan bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang. Komitmen tersebut menjadi bagian kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang dihasilkan dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-21 (COP21) di Paris, Prancis, 2015.

baca juga : Melindungi Jejak Penyerap Karbondioksida di Kawasan Pesisir

 

Warga antusias tanam mangrove bersama Presiden Jokowi di Batam, Kepulauan Riau, pada September 2021. Foto: Yogi Eka Saputra/ Mongabay Indonesia

 

Dekarbonisasi Emisi Transportasi laut

Untuk bisa memenuhi target tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk bisa memenuhi komitmen. Di antaranya, adalah dengan melakukan dekarbonisasi atau pembuangan karbon dari suatu senyawa, baja, atau sistem, pada pengiriman dan pelabuhan (decarbonizing shipping and port).

Belum lama ini, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo menjelaskan, upaya dekarbonisasi akan dilaksanakan melalui pengisian bahan bakar yang digunakan pada transportasi laut atau marine fuel oil (MFO).

Saat MFO dilaksanakan, Indonesia menerapkan rendah sulfur di Selat Malaka dan Selat Sunda. Cara tersebut diharapkan bisa mempercaya upaya emisi menjadi nol bersih emisi (net zero) dan sekaligus menerapkan pelabuhan ramah lingkungan (green port).

Menurut dia, penerapan MFO rendah sulfur merujuk pada pemberlakuan batasan baru kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan pada kapal industri. Aturan tersebut diterbitkan Organisasi Maritim Internasional (IMO) dan mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2020.

Berdasarkan aturan tersebut, sulfur BBM dibatasi maksimal hanya 0,50 persen mass by mass (m/m). Sementara, dalam aturan sebelumnya, sulfur masih dibolehkan ada dalam BBM maksimal mencapai 3,5 persen m/m.

Dalam area kontrol emisi yang ditentukan saat ini, batasannya sudah lebih ketat menjadi maksimal hanya 0,10 persen saja. Batas baru ini diwajibkan setelah amandemen Lampiran VI Konvensi Internasional untuk Pencegahan Polusi dari Kapal (MARPOL) diterbitkan.

baca juga : Peran Baru Pelabuhan Laut Indonesia untuk Menurunkan Emisi Karbondioksida

 

Padatnya lalu lintas kapal-kapal kargo di Selat Malaka menuju Singapura. Perairan selat Malaka merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Foto : shutterstock

 

Dengan adanya amandemen tersebut, maka di tingkat nasional dilakukan penyesuaian aturan yang kemudian dituangkan dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan RI Nomor 35 Tahun 2019.

SE tersebut berisi tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar yang Tidak Memenuhi Persyaratan Serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang dari Kapal.

“Dalam SE Nomor 35 tahun 2019, tertuang bahwa kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 persen m/m,” papar dia.

Penerapan tersebut selaras dengan komitmen yang sedang dijalankan oleh negara-negara di dunia pada 2021 ini, di mana mereka semua sedang fokus untuk meningkatka perhatiannya terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan dan isu perubahan iklim.

baca juga : Upaya Menurunkan Emisi di Perairan Lintas Indonesia

 

Pemandangan udara dari dermaga kapal peti kemas di pelabuhan industri Tanjung Priok, Jakarta. Foto : shutterstock

 

Basilio menambahkan, penerapan rendah sulfur pada BBM untuk kapal industri, juga diyakini akan berdampak positif bisa meningkatkan pendapatan untuk negara, jika BBM rendah sulfur bisa dijual kepada kapal-kapal yang melintas di Selat Malaka dan Selat Sunda.

Dari informasi yang dirilis Kemenhub RI, Selat Malaka setiap tahunnya dilewati sebanyak 90 ribu kapal dari berbagai negara. Sementara, Selat Sunda dilewati sebanyak 53.068 kapal setiap tahun, dan Selat Lombok dilewati sebanyak 36.773 kapal setiap tahun.

Dengan jumlah kapal yang tidak sedikit melintas di perairan Indonesia, dia memandang penting bagi Indonesia untuk mendorong dan memastikan kapal-kapal tersebut menggunakan BBM dengan kandungan sulfur rendah maksimal 0,5 persen m/m.

Sejauh ini, Indonesia sudah menjamin ketersediaan BBM rendah sulfur dan bisa dijual kepada kapal-kapal asing yang melintas di perairan Indonesia. Salah satu kapal asing yang sudah membeli adalah MV Alona yang berbendera Siprus.

 

Exit mobile version