Mongabay.co.id

BMKG: Potensi Hujan Masih Ada, Puncak Kemarau Agustus

Banjir Toli-toli. Foto: BNPB

 

 

 

 

Saat ini,  La-Nina masih berlangsung hingga potensi hujan masih akan terjadi beberapa bulan ke depan meskipun sebagian daerah mulai memasuki kemarau. Masyarakat harus terus waspada terhadap potensi bencana banjir maupun kebakaran hutan dan kekeringan.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi La-Nina akan melemah sampai pertengahan 2022, kemudian memasuki musim kemarau yang diperkirakan mencapai puncak pada Agustus ini.

“Prakiraan puncak kemarau di Indonesia terjadi pada Agustus 2022 sebanyak 52,9% zona musim,” kata Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG dalam jumpa media akhir pekan lalu. Pada wilayah zona musim lain, katanya, akan memasuki puncak kemarau sejak Juli 2022.

Dia mengimbau, pemerintah daerah dan pihak terkait serta masyarakat tetap waspada pada wilayah yang akan memasuki kemarau lebih awal. Antara lain, sebagian Bali, sebagian Jawa, sebagian Sumatera, Kalimantan bagian selatan, sebagian Nusa Tenggara, Maluku dan Papua bagian timur.

Sejauh ini, katanya, pemantauan iklim oleh BMKG menunjukkan La-Nina masih berlangsung, hingga potensi hujan masih akan ada dalam beberapa bulan ke depan. “La-Lina akan terus melemah, beralih menuju netral pada periode Maret, April, Mei 2022,” kata Dwikorita.

Berdasarkan analisis rata-rata klimatologis awal musim kemarau mulai 1991-2020, BMKG mencatat, hampir setengah atau 163 wilayah zona musim (47,7%) di Indonesia terlambat memasuki musim kemarau. Sisanya, 89 zona musim memasuki kemarau lebih awal dan 90 zona musim lain memasuki kemarau normal, sama dengan rerata 1991-2020.

Bagi daerah rawan kekurangan air bersih, katanya, perlu waspada untuk peningkatan antisipasi dini menyimpan air pada masa peralihan hujan ke kemarau.

Adapun wilayah yang mengalami kemarau lebih awal, April ini seperti Nusa Tenggara, Bali dan sebagian Jawa akan memasuki kemarau dan sebagian Sumatera, Kalimantan, Maluku maupun sebagian Papua pada bulan berikutnya.

 

Banjir di Samarinda, pekan ini. Foto: BNPB

 

Urip Haryoko, Plt Deputi Klimatologi BMKG mengatakan, sektor pangan dan komoditas perkebunan pada masa musim kemarau mundur dan curah hujan normal ini akan berdampak baik. Meski demikian, perlu diwaspadai pertumbuhan hama pada kondisi iklim itu.

Dia mengingatkan, wilayah-wilayah yang memiliki musim kemarau lebih lambat bisa memanfaatkan untuk persediaan air. Misal, pembasahan gambut, pengairan sawah pada musim tanam kedua dan memanen air hujan untuk kebutuhan air.

Urip mengatakan, meski beberapa wilayah akan musim kemarau, juga perlu waspada potensi banjir di sebagian kecil wilayah yang masih memasuki musim hujan pada pertengahan 2022. Dia contohkan, sebagian wilayah Sulawesi dan Ambon.

“Perhatikan, kita tidak boleh hanya fokus pada penanganan kebakaran hutan dan lahan. Pada Juli 2020, misal banjir besar di Luwu, dimana sebagian besar wilayah Indonesia sudah memasuki kemarau namun beberapa justru banjir.”

Ardhasena Sopaheluwakan, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, mengatakan, La-Nina yang berurutan ini akan berakhir pada keadaan normal.

“Perkiraan musim kemarau mundur, tapi bisa dimanfaatkan untuk menyimpan keperluan adaptasi sektor-sektor terkait, misal, pertanian dan karhutla yang potensi lebih tinggi. Tahun sebelumnya kita dibantu dengan alam dengan lebih basah.”

 

 

Waspada kebakaran hutan dan lahan

Urip menyebutkan, dengan kecenderungan musim kemarau normal tahun ini, perlu ada peningkatan kewaspadaan soal potensi kebakaran hutan dan lahan.

Tahun ini, katanya, kemarau normal dengan sekitar 12% zona musim di wilayah Indonesia memiliki sifat hujan yang lebih kering dari normalnya. Antara lain, Sumatera Utara bagian utara, sebagian Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara, dan sebagian Jawa Timur. Juga, sebagian Bali, sebagian Nusa Tenggara, sebagian Kalimantan, sebagian Sulawesi dan Maluku.

“Kita tahu tahun sebelumnya, kemarau itu cenderung basah, dibandingkan 2021. Potensi karhutla 2022 ini lebih besar.”

Dia melaporkan hingga Maret 2022, terpantau beberapa titik api di Aceh, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat dan lain-lain. Kalau dibandingkan kemarau 2015, tahun ini tidak ada potensi El-Nino dan tak akan menimbulkan kondisi parah seperti 2015.

Dodo Gunawan, Kepala Pusat Iklim BMKG, mengatakan, siklus El-Nino dalam kurun 3-7 tahun. “Yang paling kuat memang 2015, jadi titik balik lebih banyak jalankan penanggulangan. Hingga, itu jadi titik balik pada pencegahan lebih awal.”

 

Banjir di Toli-toli, Sulawesi Tengah, pekan ini. Foto: BNPB

*******

 

Exit mobile version