Mongabay.co.id

Biodiversitas Indonesia Minim Sentuhan Sains

 

 

Indonesia merupakan negara megabiodiversitas. Sekitar 10 persen spesies tumbuhan berbunga, 15 persen spesies serangga, 16 persen spesies amfibi dan reptil, 17 persen spesies burung, dan 25 persen ikan ada di Nusantara. Namun, kekayaan hayati itu minim sentuhan sains.

Jatna Supriatna, Ahli Konservasi dan Biodiversitas dari Universitas Indonesia, dalam webinar “Meliput Ragam Biodiversitas Non-Ikonik Indonesia” menuturkan Indonesia kaya biodiversitas karena berada di kawasan Wallacea.

“Keunikan ini dipengaruhi iklim, sejarah geologi, bentuk pulau, ekosistem, evolusi, dan proses spesiasi. Riset menunjukkan, Indonesia ada di urutan kedua terkaya mamalia [700 spesies], dan keempat terbanyak keragaman burung [1.500 spesies] di dunia. Juga memiliki  1.400 spesies ikan air tawar, yang setengahnya endemik,” terangnya, Sabtu [05/03/2022].

Biodiversitas dapat dimanfaatkan langsung oleh manusia baik untuk pangan, serat, obat, produk industri seperti lemak dan minyak, serta dijadikan sumber energi alternatif. Ada 40 ribu spesies yang dapat digunakan sebagai bahan pangan dan obat-obatan, 60 spesies tanaman penyegar, dan 55 spesies tanaman rempah.

“Pada Suku Mentawai ada 150 jenis serangga dimakan. Ada juga katak yang bisa dikonsumsi berjenis Rana blythii seberat hampir 1 kilogram di Bengkulu, Jambi, dan Riau,” jelasnya.

Menurut Jatna, Indonesia merupakan produsen ikan ketiga terbesar di dunia setelah China dan Peru. Berdasarkan data FAO 2012, Indonesia memproduksi 6.7 juta ton ikan pada 2011.

“Ekonomi dari biodiversitas begitu besar, tapi belum dimanfaatkan dengan baik. Potensi bioprospeksi Indonesia juga besar tapi kurang sentuhan sains. Kita ini kaya pangan, tapi masih menjadi importir.”

Nilai komersial obat-obatan di negara maju melebihi 40 miliar Dolar per tahun. Melihat gambaran global, katanya, sekitar 80% bergantung pada sistem medis tradisional dan sekitar 85% pengobatan tradisional melibatkan penggunaan ekstrak tumbuhan.

“Kekayaan biodiversitas dapat berfungsi sebagai potensi medis, pustaka genetik, sumber inspirasi, bahan kajian sains dan pendidikan, wisata dan rekreasi alam, budaya dan spiritual, ketahanan masyarakat,” terangnya.

Baca: Tanpa Minyak Sawit, Kita Terus Masak dan Mandi

 

Buah saninten yang tidak begitu dikenal meski memiliki banyak manfaat. Foto: Yaya Sutirya/BTNGC/KLHK

 

Potensi belum dimaksimalkan

Arifin Surya Dwipa Irsyam, Kurator Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut  Teknologi Bandung [SITH-ITB] mengatakan, Indonesia kaya akan tumbuhan paku, jenis lumut, dan tumbuhan biji.

Namun demikian, potensi yang ada nyaris menghadapi ancaman akibat perubahan habitat, polusi, perubahan iklim, dan eksploitasi berlebihan.

“Selain itu, banyak masyarakat yang tidak mengenal jenis-jenis tumbuhan lokal, padahal hidup berdampingan.”

Ada beberapa contoh tumbuhan non-ikonik Indonesia yang secara umum belum dikenal dan tidak terdaftar dalam Permen LHK 2018. Seperti jahe liar atau Zingiber odoriferum Blume, yang oleh masyarakat Sunda diisebut tongtak. Persebarannya di Pulau Jawa.

“Penelitian Surnarti [2018] menjelaskan, masyarakat di Jawa bagian selatan, tepatnya daerah Sukabumi menggunakannya untuk perawatan rambut alami. Penelitian Sabu dan rekan [2019] menunjukkan, Zingiber odoriferum Blume hanya terdapat di Sumberjaya, Sukabumi, yang keberadaannya terancam karena alih fungsi lahan. Satu lagi hanya menjadi koleksi hidup di Kebun Raya Bogor,” ujarnya.

Saninten atau Ki Tunggereuk di Sunda, Castanopsis argentea Blume A.DC], sebarannya ada di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Biasanya tumbuh di hutan pada ketinggian hingga 1.920 mdpl. Di Jawa, jenis ini menjadi pohon khas seperti seperti di Gunung Halimun dan Gunung Patuha. Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan dan bijinya dapat dimakan.

Berdasarkan penelitian Barstow & Kartawinata [2018] dan Putri & Suhendri [2020], populasinya di alam menurun 30% dalam 20 tahun terakhir.

“Kini, terancam karena alih fungsi lahan, eksploitasi berlebihan, dan penebangan liar,” jelas Arifin.

Baca: Mujair, Ikan yang Bukan Asli Indonesia

 

Pohon saninten tengah berbunga. Foto: Kebun Raya Cibodas/BRIN

 

Brigitta Isworo Laksmi, jurnalis sains independen mengatakan, menjadi jurnalis sains dapat dilakukan oleh siapa saja. Berjalan di jalur itu bisa membantu masyarakat untuk dapat memahami penelitian-penelitian penting.

“Jurnalis sains harus mampu menyajikan hasil penelitian atau fakta ilmiah, menjadi tulisan yang bisa dibaca masyarakat umum. Kita sebagai jurnalis sains, dituntut menyederhanakan bahasa penelitian,” katanya.

Jurnalis sains dituntut menyajikan hasil liputannya dengan bahasa bertutur. “Agar menjangkau audiens yang lebih luas, dikaitkan dengan hal-hal bersentuhan dengan aspek sosial ekonomi pembaca,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version