Mongabay.co.id

Ini Hasil Lengkap Konferensi Minamata COP-4 tentang Merkuri di Bali

 

Konferensi Para Pihak (COP) Keempat dari Konvensi Minamata tentang Merkuri yang berakhir 26 Maret 2022 di Bali menyepakati sejumlah hal. Di antaranya para pihak tidak akan mengizinkan atau merekomendasikan penggunaan amalgam gigi berbahan dasar merkuri pada gigi sulung anak-anak di bawah 15 tahun serta perempuan hamil dan menyusui.

Namun, kesenjangan besar yang belum terselesaikan dalam konvensi ini adalah kurangnya dana untuk mengidentifikasi dan membersihkan lokasi yang terkontaminasi merkuri yang disebabkan oleh penambangan emas rakyat dan skala kecil. Demikian kutipan siaran pers dari International Pollutants Elimination Network (IPEN), jaringan LSM lintas negara yang memberi perhatian pada cemaran berbahaya.

Ledakan penambangan emas yang menggunakan merkuri ini merajalela di Amerika Latin, Afrika, dan Asia Tenggara. Tempat-tempat yang terkontaminasi merkuri meracuni penduduk desa dan berakumulasi dalam rantai makanan, mengakibatkan tingginya kandungan merkuri pada perempuan usia subur.

IPEN (The International Persistent Organic Pollutants Elimination Network) lead on ASGM (Artisanal and Small-scale Gold Mining,) Yuyun Ismawati, mengatakan Global Environmental Facility perlu memfokuskan kembali pendanaan konvensi untuk mengidentifikasi dan membersihkan situs yang terkontaminasi merkuri alih-alih mempromosikan penggunaan sianida yang bertujuan untuk mempertahankan produksi dan pasokan emas ke London, New York dan Swiss. “Tujuan konvensi adalah melindungi kesehatan manusia bukan melindungi rantai pasokan emas global,” kata Yuyun.

Yuyun yang dikonfirmasi pada Minggu (27/03/2022) menyebut Indonesia sudah menerbitkan regulasi menghentikan tambal gigi amalgam dan alat kesehatan mengandung merkuri pada 2015. Namun, hal ini masih terjadi di sejumlah negara-negara Afrika.

Namun, hal yang perlu diawasi di Indonesia, menurut Yuyun adalah monitoring pasca regulasi dan penarikan itu. Bagaimana penanganan tensimeter, termometer, dan alat kesehatan lain yang mengandung merkuri dan sudah ditarik itu? “Ini masalah lanjutan, tak hanya penghapusan dan pelarangan,” ingatnya.

baca : Jelang COP4 Minamata: Tantangan Indonesia Terbebas dari Merkuri

 

Ilustrasi. Tambang emas di Danau Serantangan, Kota Singkawang, Kalimatan Timur yang menggunakan senyawa merkuri dalam pengolahannya. Foto: Yohanes Kurnia Irawan

 

Sedangkan terkait pembersihan lokasi tambang emas, masih dibahas berapa nilai minimal sebuah limbah disebut terkontaminasi merkuri, berapa ppm? Sebagian besar negara berkembang tidak punya fasilitas penanganan merkuri. Dalam COP Minamata ke-4 ini juga menurutnya tidak banyak dibahas terkait aspek kesehatan di area terkontaminasi merkuri. “WHO hanya beri panduan umum, Harusnya lebih advance untuk mengenali gejala merkuri apa saja, Puskesmas harus tahu potensi penyakit di area tercemar merkuri,” sebut Yuyun.

Ia mencontohkan 2 lokasi kunjungannya sebelum dan sesudah konferensi yakni di area penambangan emas Mandailing Natal, Sumatera Utara dan Sekotong, Lombok. Ada anak-anak dan warga yang mendapat masalah kesehatan serius. Misalnya di Mandailing Natal ada ada bayi lahir cacat, ususnya di luar, namun tidak ada investigasi lebih lanjut untuk hasil tes pada sampel rambut dan darah, hanya air. “Harus dilihat rantai makanannya, merkuri terkontaminasi di tanah, udara, makanan, dan darah,” lanjut perempuan pendiri The Nexus Foundation for Environmental Health and Development (sebelumnya Bali Fokus).

Demikian juga di Sekotong, ada banyak warga dengan tekanan darah tinggi yang berpotensi karena paparan merkuri di sekitarnya. Ada juga ibu keguguran dan anak-anak dengan IQ rendah.

Pihaknya juga memantau pengolahan emas dengan sianida sebagai pengganti merkuri dengan dukungan dana besar yang menurutnya kurang optimal. Ia berharap program bantuan digunakan untuk menginventarisir lahan-lahan tercemar merkuri, terutama pencegahan dan pengobatan bagi warga terdampak. Agar tidak ada jilid-jilid baru gelombang penyakit Minamata. Apalagi di area tambang dengan akses kesehatan rendah.

baca juga : Mampukah Indonesia Penuhi Target Nol Merkuri di Tambang dan Kesehatan?

 

Dita, seorang anak yang menderita lumpuh layu, diduga terdampak merkuri dari pertambangan emas di wilayah Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara akhitrnya meninggal dunia pada tahun 2015. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Amalgam dan lampu fluorescent kompak

Keputusan soal amalgam yang diusulkan oleh kawasan Afrika, merupakan pengakuan oleh pemerintah global bahwa amalgam gigi berbasis merkuri dapat berdampak pada kesehatan manusia meskipun selama beberapa dekade industri mengklaim bahwa itu aman. IPEN Heavy-Metals Co-Chair, Gilbert Kuepouo, menambahkan terobosan keputusan pada COP4 ini adalah awal dari akhir penggunaan amalgam gigi di seluruh dunia.

Akhirnya ada pengakuan resmi bahwa tambalan merkuri dapat berdampak pada kesehatan yang merugikan perempuan dan anak-anak. Merkuri adalah racun saraf yang berbahaya, dan tidak dapat dibenarkan lagi untuk menempatkannya terutama di mulut wanita dan anak-anak. “Meskipun kami belum memiliki tanggal penghentian secara global, keputusan ini berarti bahwa penghentian secara penuh hanyalah masalah waktu,” sebutnya dalam siaran pers.

Dalam keputusan lain ada kesepakatan bahwa kategori terakhir dari lampu fluorescent kompak (CFL) dan lampu fluorescent katoda dingin (CCFL) akan dihapus secara bertahap pada tahun 2025 karena alternatif LED sekarang tersedia secara luas.

IPEN Policy Advisor on POPs and Mercury, Lee Bell, menyebut langkah maju yang penting ini mengurangi permintaan merkuri global, paparan merkuri pada manusia dan mencegah ratusan ton merkuri hilang ke lingkungan dari lampu yang rusak di tempat pembuangan akhir atau pembakaran terbuka di negara berkembang. Meskipun tidak ada kesepakatan tentang tanggal penghentian penggunaan lampu fluoresen linier (LFL) di COP4, para pihak harus berkomitmen untuk sepakat menghapuskannya pada COP5.

Sementara itu, dalam siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menekankan sejumlah hasil lain.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati yang juga selaku Presiden COP-4 Konvensi Minamata secara resmi menutup pertemuan COP-4 segmen kedua (COP-4.2) Konvensi Minamata di Bali pada Sabtu (26/03/2022), dini hari waktu setempat. Rapat Pleno yang harusnya dijadwalkan selesai petang hari sebelumnya, terpaksa diperpanjang hingga dini hari.

baca juga : Ombudsman Rekomendasikan Beberapa Langkah Rencana Penghapusan Merkuri

 

Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati selaku Presiden COP-4 Konvensi Minamata dalam konferensi COP-4 di Bali. Foto : Humas KLHK

 

Sebelumnya, pertemuan COP-4.2 di Bali dibuka secara resmi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya pada Senin (21/03/2022). Pertemuan ini dihadiri oleh kurang lebih 500 orang peserta yang merupakan perwakilan dari 103 negara pihak konvensi Minamata, badan-badan PBB, regional center, IGO, LSM, dan lainnya.

COP-4.2 di Bali ini disebut fokus membahas 2 isu substantif, yaitu review dan amendemen Lampiran A and B, dimana terdapat usulan dari beberapa negara untuk menambahkan pengaturan phasing-out produk-produk mengandung merkuri dan proses industri yang menggunakan merkuri. Kedua, effectiveness evaluation (EE), yang merupakan kerangka untuk menentukan bagaimana evaluasi terhadap pengaturan Konvensi dan langkah-langkah yang dilakukan oleh para negara pihak dalam mewujudkan tujuan konvensi.

Hasil utamanya adalah, mengadopsi keputusan terkait amendemen Lampiran A and B, mengenai produk mengandung merkuri dan proses yang menggunakan merkuri. Kemudian, pada isu EE, para negara pihak telah menyepakati bisnis proses framework on EE dan setuju untuk membentuk suatu scientific body bernama Open-ended Scientific Group (OESG), agar proses EE tetap bisa berjalan meskipun advisory group-nya belum terbentuk.

Hasil lainnya adalah peluncuran Bali Declaration to Combat Illegal Trade of Mercury (Deklarasi Bali) oleh Menteri LHK pada hari pertama pertemuan. Ketua Delegasi Republik Indonesia (DELRI) pada COP-4.2 Konvensi Minamata, Muhsin Syihab menjelaskan bahwa, Deklarasi Bali bersifat tidak mengikat (non-binding).

Yuyun menyebut Deklarasi Bali sebatas deklarasi politik dan tawaran pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah. Menurutnya harus ada strategi dan aksi nyata karena Indonesia pengekspor dan pengimpor merkuri. Salah satunya menindak penambangan ilegal cinnabar di Pulau Seram, Maluku.

Pertemuan COP berikutnya atau COP-5 akan diaksanakan pada 30 Oktober – 3 November 2023 di Jenewa, Swiss, di bawah presidensi Rumania.

baca juga : Merkuri, Bahan Berbahaya Terlarang Mematikan ini Marak Dijual Online

 

Suasana konferensi COP-4 Konvensi Minamata tentang Merkuri di Bali yang berakhir Sabtu (26/3/2022). Foto : Humas KLHK

 

Ratifikasi Konvensi Minamata

Pada tanggal 20 September 2017, Presiden Republik Indonesia secara resmi telah mengesahkan Undang-Undang No.11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri). Sebelumnya dalam Rapat Paripurna ke-5 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2017-2018, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menyetujui untuk mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang.

Demikian sejarah keterlibatan Pemerintah Indonesia ini seperti dikutip dari laman KLHK

Konvensi Minamata merupakan suatu instrumen global yang mengatur penggunaan merkuri/raksa secara global dengan tujuan untuk melindungi kesehatan dan manusia dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri maupun senyawa-senyawa merkuri yang bersifat antropogenik. Sebagai salah satu negara yang mengesahkan/meratifikasi Konvensi ini, Indonesia akan terikat dengan pengaturan-pengaturan yang terdapat dalam Konvensi Minamata.

Merkuri atau yang biasa disebut dengan raksa adalah unsur kimia dengan simbol Hg. Merkuri merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup oleh karena bersifat toksik, persisten, bioakumulasi dan dapat berpindah dalam jarak jauh di atmosfir. Dengan bantuan bakteri di sedimen dan perairan, merkuri berubah menjadi metil merkuri yang lebih berbahaya bagi kesehatan apabila masuk dalam rantai makanan sehingga menyebabkan keracunan merkuri.

baca juga : Ketika Rencana Aksi Penghapusan dan Penanggulangan Dampak Merkuri Dinilai Tak Ambisius

 

Mesin gelundung pengolah emas dengan menggunakan bahan Merkuri di Kasepuhan Adat Cisitu, Kecamatan Cibeber, Lebak, Banten Limbah merkuri dari proses pengolahan emas dibuang begitu saja di sekitar lokasi yang mencemari lingkungan, sumber air dan akhirnya masuk ke rantai makanan berdampak pada manusianya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Salah satu kasus keracunan merkuri yang sangat fenomenal adalah “Minamata Diseases” yang terjadi pada tahun 1950-an di Jepang. Kasus ini terjadi akibat pembuangan limbah yang mengandung methylmercury dari industri pupuk Chisso Chemical Corporation di prefektur Minamata. Tanda-tanda keracunan mulai terlihat pada tahun 1949 ketika tangkapan ikan mulai menurun drastis, yang ditandai dengan punahnya jenis karang yang menjadi habitat ikan andalan nelayan.

Penyakit Minamata adalah penyakit sistem syaraf dengan gejala utama meliputi gangguan sensorik, ataksia, penyempitan konsentris bidang visual, dan gangguan pendengaran. Jika seorang ibu terpapar methylmercury selama masa kehamilan, terdapat kemungkinan janinnya akan ikut terpapar.

Pada tahun 2001, United Nations Environmental Programme (UNEP) melakukan kajian global tentang merkuri dan senyawa merkuri terkait dengan aspek dampak kesehatan, sumber, transportasi dan peredaran serta perdagangan merkuri, juga teknologi pencegahan dan pengendalian merkuri. Berdasarkan hasil kajian tersebut UNEP menyimpulkan bahwa diperlukan tindakan/upaya internasional guna menurunkan resiko dampak merkuri terhadap kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup dari lepasan merkuri dan senyawa merkuri.

 

Exit mobile version