- Pertambangkan emas skala kecil disebut sebagai pengguna merkuri terbanyak dan berdampak pada lingkungan dan ditemukan di bagian tubuh manusia.
- Sejumlah program internasional berusaha mengajak transfer teknologi untuk mengurangi penggunaan merkuri dalam proses pemurnian bijih emas.
- Perdagangan merkuri juga dinilai masih belum banyak ditindak terutama di media sosial
- Target pengurangan merkuri dalam rencana aksi nasional adalah 100% di sektor Penambangan Emas Skala Kecil/PESK (2025) dan 100% di sektor kesehatan (2020).
Penelitian merkuri pada Penambangan Emas Skala Kecil (PESK) menunjukkan bahayanya bagi anak-anak dan ekologi seperti air, tanah, ikan, dan tumbuhan. Alih teknologi nonmerkuri terus diujicobakan di sejumlah lokasi PESK.
Riset oleh World Bank dan Nexus3 pada 2019 menunjukkan bahwa ada 24 provinsi melepaskan 99% emisi dan lepasan merkuri yang berasal dari sektor PESK.
Sampel lingkungan (air, tanah, sedimen, udara) dan biomarker pada manusia (antara darah, rambut, urin, atau kuku) dengan total sebanyak 1216 sampel dikumpulkan dari 5 lokasi kunci yakni Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, Minahasa Utara, Lombok Barat, Garut, dan Sukabumi. Hasilnya menyebutkan mengandung rerata umum konsentrasi merkuri di atas batas aman yang diakui secara global, kecuali pada rerata umum sampel ikan.
Dari jumlah sampel tersebut, sekitar 75% sampel biomarker orang dewasa yang bekerja di rantai sektor PESK memiliki konsentrasi merkuri di atas batas aman. Setidaknya pada salah satu indikator biomarkernya (antara darah, rambut, urin, atau kuku).
Selain itu 43% sampel anak-anak memiliki konsentrasi merkuri di atas batas aman, setidaknya pada salah satu indikator biomarkernya (antara darah, rambut, urin, atau kuku). Riset ini dipaparkan dalam webinar daring bertajuk Menyambut COP4: Perkembangan Kondisi Penghapusan Merkuri pada Sektor Penambangan Emas Skala Kecil kerjasama Nexus3 Foundation dan Bank Dunia, Rabu (06/10/2021).
baca : Ombudsman Rekomendasikan Beberapa Langkah Rencana Penghapusan Merkuri
Walau kontaminasi merkuri masih ada, beberapa titik yang diambil sampelnya menghasilkan nilai yang jauh lebih rendah daripada yang dilaporkan dalam literatur sebelumnya (misalnya, air, tanah, dan udara). David Evers peneliti dari Biodiversity Research Institute, USA, yang mempresentasikan hasil studi monitoring merkuri di Indonesia ini menyatakan tak banyak informasi dan data dari Indonesia dalam database global. Menurutnya perlu bio mercury monitoring berkelanjutan. Pemantauan pencemaran merkuri perlu ditindaklanjuti terutama di lokasi-lokasi yang diprioritaskan.
David menyebut, dampak paparan merkuri pada manusia ada dua hal, makanan yang terkontaminasi dan elemen lain seperti rambut yang bisa juga dari makanan atau paparan langsung. Pada tumbuhan, kebanyakan merkuri yang ditemukan bersifat toxic dan ini yang perlu dikhawatirkan. Demikian juga beberapa spesies ikan juga terkontaminasi dan berbahaya dimakan.
Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata Mengenai Merkuri melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata mengenai Merkuri) pada 20 September 2017. Konsekuensi pasca ratifikasi adalah menyusun Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM).
Dua tahun kemudian dokumen RAN itu ditetapkan menjadi Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (Perpres 21/2019). Penetapan dilakukan di Jakarta pada tanggal 22 April 2019 yang bertepatan dengan Hari Bumi Tahun 2019 oleh Presiden Joko Widodo.
baca juga : Ketika Rencana Aksi Penghapusan dan Penanggulangan Dampak Merkuri Dinilai Tak Ambisius
Dikutip dari laman pemerintah tentang merkuri, Pelaksanaan RAN PPM diprioritaskan pada 4 bidang prioritas yakni manufaktur, energi, pertambangan emas skala kecil (PESK), dan kesehatan.
Di bidang manufaktur, target pengurangan merkuri sebesar 50% pada 2030 dari jumlah merkuri sebelum adanya RAN PPM. Untuk bidang energi, pengurangan merkuri 33,2%. Sedangkan untuk PESK dan kesehatan pengurangannya ditetapkan sebesar 100% pada 2025 (PESK), dan 100% pada 2020 untuk kesehatan.
Merkuri dapat dijumpai berupa merkuri anorganik (merkuri elemental/logam) dan senyawa merkuri organik (metil merkuri). Merkuri elemental merupakan bahan kimia yang bersifat logam cair berwarna perak, mudah menguap pada suhu ruang dan uapnya dapat berpindah jauh melalui atmosfer. Merkuri di lingkungan berasal dari kegiatan manusia seperti kegiatan industri manufaktur, kegiatan pembangkit listrik dan sumber alam seperti aktifitas gunung berapi, pelapukan batuan dan kerak bumi.
UNEP (2012) mencatat bahwa dari 4.167 ton total konsumsi merkuri di seluruh dunia antara lain digunakan pada perawatan gigi sebesar 8%, perangkat kontrol dan pengukur 7%, peralatan listrik dan elektronik 7%, pertambangan emas skala kecil (PESK) 24%, vinyl chloride monometer 21%, produksi chlorine 15%, batere 13%, dan lainnya.
Mengapa merkuri menjadi pilihan para penambang emas skala kecil dalam pengolahan? Proses penggilingan bijih emas dengan merkuri di glundungan yang umum dilakukan hanya menunggu sampai 24 jam. Merkuri dapat digunakan untuk mengekstrak emas dalam berbagai kondisi lapangan. Mengolah emas dengan merkuri dianggap lebih ekonomis dibandingkan dengan alternatif lainnya.
Merkuri dicampur dengan bijih untuk memisahkan emas dari mineral lainya. Merkuri mengikat emas dan beberapa logam lainnya untuk membentuk campuran padat yang merupakan campuran dari setengah merkuri dan setengah emas. Merkuri yang kontak dengan partikel emas dalam sedimen atau bijih besi yang dihancurkan kemudian membentuk amalgam, yaitu campuran lunak antara merkuri sekitar 50% dengan emas 50%. Pada proses ini juga menggunakan air, dan air limbah hasil pengolahan emas dengan metode ini masih mengandung merkuri dalam konsentrasi yang tinggi dan sering dibuang ke sungai atau badan air lainnya tanpa pengolahan terlebih dahulu.
perlu dibaca : Merkuri, Bahan Berbahaya Terlarang Mematikan ini Marak Dijual Online
Yun Insiani, Direktur Pengelolaan Limbah Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut Indonesia menjadi tuan rumah COP4 Minamata di Jakarta pada awal November 2021 nanti. Menurutnya masih ada pasokan merkuri ke penambangan emas. Rencana Aksi Nasional mewajibkan Pemda mencapai target.
“Saat ini belum mampu mewujudkan PESK ramah lingkungan, kesejahteraan penambang dan kesetaraan gender,” katanya. Sebagai tuan rumah, menurutnya Indonesia bisa mendapat manfaat seperti rencana deklarasi perdagangan merkuri ilegal seperti perdagangan online.
Kian Siong dari Bank Dunia menyebut dari 5 lokasi yang diteliti, baru sebagian penambang yang ganti merkuri dengan sianida. Bahkan ada yang pakai ratusan ton merkuri lalu pindah lokasi penambangan, ini jadi bom waktu karena kawasan sudah beracun. “Diharapkan pemerintah melarang penambangan cinnabar, walau sudah dilarang tapi masih ada,” sebutnya.
Yuyun Ismawati dari Nexus3 Foundation memaparkan perjalanan pertemuan global dari COP1 sampai COP4 mendatang. Pembelajaran dari COP1 Minamata adalah ambil tindakan setelah ada gejala, investigasi dampak kesehatan dan sumber, pencemar bertanggungjawab dan pembayar kompensasi, dan mengajak masyarakat lebih peduli. Berikutnya bersihkan lokasi sesegara mungkin, pantau biomarker, dan buat informasinya terbuka untuk publik.
Pertemuan untuk menghentikan merkuri ini dimulai dari negoisasi 2007-2008, diadopsi 2013 di Jepang, lalu pertemuan pertama di Jenewa pada 2017. Yuyun menyebut harusnya COP4 di Bali pada 2020, namun karena pandemi diundur dan keiatan dibagi 2 bagian. Negara yang meratifikasi sekitar 135 negara, Indonesia bergabung pada 2017.
Awalnya sebagian besar merkuri dari Cina. Pada 2015 peta berubah, sumber merkuri di Meksiko karena ada penambangan cinnabar (bijih merkuri). Kemudian India jadi eksportir sekaligus importir merkuri terbesar di dunia pada 2020.
Dari data UN Comtrade yang dipaparkan Yuyun, terjadi penurunan impor merkuri Indonesia dari 2011, bahkan data BPS, beberapa tahun nilainya nol seperti 2016, 2017, dan 2019. Namun ada selisih laporan impor Indonesia ini dibandingkan dengan laporan mitra dagang yang mengekspor ke Indonesia, secara akumulatifnya jumlahnya lebih dari 714 ribu kg dengan nilai lebih dari USD56 juta.
baca juga : Nestapa Anak-anak Cisitu dalam Cemaran Merkuri
Tantangannya, lanjut Yuyun, cinnabar dalam UU Minerba bukan merupakan logam yang dilarang. Dalam PP 74/2001 tentang panduan mengolah limbah B3 juga merkuri belum dilarang dan diizinkan untuk peruntukkan terbatas. Ini menurutnya membingungkan karena harusnya dilarang.
Selain itu tak ada sanksi pidana, hanya administrasi sehingga tak ada efek jera. Penjualan merkuri juga mudah ditemukan di media sosial. Makin tinggi harga emas, penambang balik bekerja menggunakan merkuri.
Merkuri digunakan untuk memurnikan emas, misal dengan tangan dan alat glundungan. “Kalau pertambangan rakyat didukung, daerah harus memetakan kandungan emas potensial agar berkelanjutan,” ujar Yuyun.
Ia membedah kasus merkuri yag disita dari seorang WNA India yang divonis 3,5 tahun tapi menjalani hukuman 1,5 tahun. Ia disebut memperdagangkan sekitar 3,8 ton merkuri. Barang buktinya sekitar 600 kg dinyatakan harus dimusnahkan, namun menurut Yuyun penanganan itu salah karena harus distabilkan agar tak mencemari. Akhir hidup merkuri harus disimpan dalam drum, tiga lapis, diisi label, dan distabilkan.
Yuyun merekomendasikan larangan penambangan cinnabar, merkuri dan senyawanya di penambangan, penjualan online diatur dan ditangani, dan sanksi pidana untuk penjual merkuri. Berikutnya terminologi hukum di penanganan akhir kasus adalah merkuri tak bisa dihancurkan, tapi distabilkan. Berikutnya ada panduan daerah yang tercemar merkuri, dan negara harus menanggung biaya kesehatan masyarakat terdampak merkuri seperti kasus Minamata yang sudah dibuatkan film-nya.
perlu dibaca : Pasca Tambang Emas Ditutup, Cemaran Sianida dan Merkuri Jadi Hantu buat Warga Pulau Buru
Alternatif Merkuri
Baiq Dewi dari UNDP Global Opportunities for Long-term Development – Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s Artisanal and Small-scale Gold Mining (GOLD-ISMIA) Project menyebut sedang melakukan penguatan lembaga dan peraturan PESK tentang bahaya merkuri di 6 daerah yakni Gorontalo, Manado (Tatelu), Riau (Kuantan Sangingi), Lombok Barat (Sekotong), Halmahera Selatan (Pulau Obi), dan Yogyakarta (Kulonprogo).
Teknologi pemurnian bijih emas tanpa merkuri ini dilakukan dengan sistem tong/sianidasi. Dari catatannya, penambang mengolah 1 ton bijih emas menggunakan 25 kg merkuri. Hampir seluruh merkuri atau lebih dari 99% merkuri dikumpulkan untuk digunakan kembali, sisanya hilang ke lingkungan.
Ia mencontohkan Koperasi PESK di Minahasa Utara mampu melakukan transfer teknologi. Penggunaan aplikasi untuk memantau pengurangan merkuri dari lokasi juga akan diujicoba Oktober nanti di 6 lokasi. “Bisa diketahui nama koperasi, batuan yang diolah, perkiraan merkuri yang dihindari dengan transfer teknologi ke non merkuri, dan produksi emas,” papar Dewi.
Salah satu peserta diskusi menanyakan kenapa menggunakan sianida yang juga berbahaya? Dewi menyebut efek sianida bisa langsung dan bisa dicegah dampaknya dengan membuat lubang tampung.
Sedangkan merkuri efeknya jangka panjang, sifat berbahayanya lebih lethal (mematikan) dan terakumulasi. Unsur karbon dan nitrogen secara kimia pada sianida menurutnya bisa terdegradasi karena sudah ada teknologi mencegah racun sianida.
baca juga : Ketika Merkuri Ancam Keamanan Pangan Kasepuhan Cisitu
Agni Pratama dari Yayasan Emas Artisanal Indonesia menjelaskan tentang program Emas Rakyat Sejahtera kerjasama pemerintah Indonesia dan Kanada. Memperkenalkan teknologi pengolahan asam amino dan sianida untuk mengurangi merkuri.
Dari data global, kebutuhan perhiasan emas masih sangat besar. Misal permintaan di Asia naik 61%. Saat ini ada 1,3 juta penambang, namun kurang 10% yang memiliki izin Wilayah Penambangan Rakyat (WPR) dan standar legalitas. “Harusnya WPR potensial jadi devisa negara tapi nilai rantai ekonominya lebih menjual ke daeng atau pengepul lokal karena bisa bayar di depan,” sebut Agni.
Menurutnya penambang bisa dapat harga premium tanpa menggunakan merkuri, karena kebutuhan bahan mentah masih tinggi apalagi Antam 80% masih impor bahan baku. Tantangannya adalah kurangnya WPR baru dengan peta deposit yang potensial, Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dengan dukungan regulasi, dan kurangnya keterampilan mengolah tanpa merkuri.
Eva Betty Sinaga dari Pusat Standarisasi Instrumen Kualitas Lingkungan Hidup (PSIKLH) KLHK mengatakan laboratorium merkuri baru dibangun 2020 untuk melakukan pengujian kualitas lingkungan seperti parameter total merkuri dan metil merkuri. Juga teknologi pengendalian dampak lingkungan menggunakan beragam alat mercury analyzer.
Pemantauan merkuri di Indonesia sudah dilakukan sejak dua dekade misalnya pada 1994-1995 riset logam berat pada kerang hijau, kemudian 1997-2000 PESK di Rejang Lebong, Bengkulu. Ada juga riset di PESK di Mandor Kalimantan Barat pada 2020, di Sekotong, NTB, dan lainnya. Tak hanya di lokasi juga penelitian merkuri di air hujan dan udara ambien.