- Kasepuhan Adat Cisitu, Kecamatan Cibeber, Lebak, Banten, siang malam tak pernah sepi dari bunyi gelundung, mesin pemproses emas.
- Anak-anak lahir ada menderita, ada yang cacat dan terserang berbagai penyakit, seperti ISPA. Awalnya, tak tahu apa penyebab mereka sakit. Baru pada 2015, penelitian BaliFokus di sana, mengungkap, anak-anak yang mereka teliti terbukti terpapar merkuri.
- Merkuri masuk ke tubuh anak-anak maupun warga Cisitu, antara lain, dari pangan dan air yang tercemar. Imbah merkuri dari proses pengolahan emas dibuang begitu saja di sekitar lokasi. Ia mengalir kalau tak ke selokan atau kolam. Warga pakai air kolam atau sumur untuk berbagai keperluan sehari-hari termasuk masak dan minum.
- Penelitian lain memperlihatkan, tambang emas tak hanya menimbulkan paparan merkuri, juga arsen. Pusat Penelitan dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Balitbang Kementerian Kesehatan meneliti pertambangan emas Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hasilnya, terdeteksi konsentrasi metaloid arsen sangat tinggi pada bahan makanan hasil produksi setempat, dengan beras sebagai kontributor utama.
Mesin gelundung terus berbunyi sepanjang siang-malam, tiada henti di Kasepuhan Adat Cisitu, Kecamatan Cibeber, Lebak, Banten. Satu mesin setop, alat lain menyusul berbunyi. Hampir setiap rumah punya mesin gelundung. Desa ini tak pernah sepi.
Yeni, warga Desa Situmulya, Cisitu, salah satu yang merasakan bertahun-tahun hidup bersama bunyi mesin gelundung. Perempuan 27 tahun ini sehari-hari membuka usaha salon dan rias pengantin. Dia punya anak semata wayang, Febri Romansyah.
Yeni asli Cisitu. Dia lahir hingga dewasa tinggal di Kasepuhan Cisitu. Keperluan pangan dan air, dia penuhi dari wilayah sekitar.
”Memang saya asli sini. Makan beras pun dari padi sini. Orangtua saya petani dan berladang. Hanya bapak waktu itu merentalkan mesin gelundung di belakang rumah,” katanya.
Suami Yeni bekerja di Tangerang. Selama kehamilan, dia tinggal di rumah orangtuanya. Bersebelahan dengan rumah dia saat ini. Bagian belakang rumah ada kolam ikan berpagar bambu, sekitar 50 meter dari sumur yang biasa mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari, mulai mandi, mencuci hingga air minum.
Baca juga: Setop Tambang Ilegal Gunung Botak Tak Bisa Sekadar Bongkar Tenda Penambang
Masih area sama, ada pula gubuk pengolahan emas dengan mesin gelundung. Biasa limbah pengolahan emas dibuang begitu saja ke sekitar gubuk, ke selokan terdekat ataupun ke kolam.
Kamar mandi mepet dengan kolam ikan. Sebenarnya, Yeni merasa khawatir air tanah yang mereka pakai sehari-hari terpapar merkuri karena limbah dibuang sekitar sumur.
Yeni setiap hari memasak nasi dari beras panen desa ini dan pakai air dari sumur untuk memasak.
Anak-anak cacat dan sakit
Pada 2013, Yeni hamil. Dia merasa tak ada gangguan berarti sampai usia kehaliman sembilan bulan. Yeni makan sesuai anjuran dokter dan rutin pemeriksaan. Febri lahir tahun 2014 dengan telinga dan saluran telinga cacat. Kala itu, dia tidak tak pusing.
Usia 10 bulan, Febri sering kejang-kejang dan panas tinggi. Bisa satu bulan atau dua bulan sekali selalu panas tinggi. Pernah harus dirawat di Rumah Sakit Umum Palabuhan Ratu, berjarak sekitar 50 kilometer. Dokter bilang, hanya sakit panas biasa.
”Ini berat banget (biaya) untuk kami, pinjam sana sini, yang penting anak sehat,” katanya.
Baca juga: Tahura Poboya-Paneki Terusik Tambang Emas, Bagaimana Ini?
Sekali kunjungan, dokter biaya minimal Rp500.000, belum termasuk transportasi, konsumsi dan obat-obatan. Biasa dia perlu Rp1 jutaan sekali pengobatan, pernah sampai Rp3 juta saat harus rawat inap.
Jarak jauh dan akses menuju ke rumat sakit sulit, puskesmas terdekat sekitar 30 menit dari rumah, seringkali obat tidak ada. Dia pun terpaksa rujuk Febri ke RSUD Palabuhanratu.
Yeni, belum punya kartu BPJS Kesehatan. Dulu, akses bayar susah hingga Yeni menunggak pembayaran dan berhenti. Dia perlu menempuh perjalanan hingga dua jam lebih untuk ke loket pembayaran BPJS Kesehatan masa itu.
Saat ini, proses sudah mudah bisa melalui mesin ATM, tetapi Yeni merasa masih keberatan dengan iuran. Dia sadar, tinggal di kawasan rentan.
Baca juga: Petaka di Lubang Jarum Tambang Emas Merangin (Bagian 1)
Saat musim hujan, Febri pun seringkali terkena infeksi saluran penapasan akut (ISPA). Asap pembakaran dalam proses mendapatkan emas begitu menggangu. ”Seringkali di depan rumah asap pembakaran emas sampai berwarna kuning begitu.”
Tak hanya Febri, yang terserang ISPA tetapi kebanyakan balita di wilayah itu. Mereka menderita batuk, sesak napas sampai tersengal-sengal.
”Dokter tanya terkait lingkungan, saat berobat. Katanya ada kemungkinan karena uap dari merkuri,” katanya.
Sampai 2015, Yayasan Nexus3 (dulu BaliFokus) meneliti dampak paparan merkuri terhadap kesehatan masyarakat di Kasepuhan Cisitu. Febri, salah satu anak yang diuji mulai dari rambut, darah dan urin.
”Hasil penelitian 2015, Febri positif dalam tubuh terpapar merkuri,” kata Yuyun Ismawati, pendiri Nexus3 Indonesia dan penerima Goldman Environmental Prize untuk polusi dan limbah.
Yeni, sangat sedih mendengar kabar ini. ”Menyesal, kalau tau dampaknya ke anak saya, lebih baik saya keluar dari awal dari Cisitu.”
Sebenarnya, Yeni mau pindah tetapi perlu biaya tak sedikit. “Emang seharusnya pindah jika ingin sehat,” katanya terbata-bata.
Baca juga: Cerita dari Desa Para Perempuan Pendulang Emas (Bagian 2)
Febri sempat dibawa berobat ke dokter spesialis syaraf di Bandung. Dokter mengatakan, kepadatan otak tidak normal. Riwayat sakit kejang ini pun disebutkan jadi salah satu dampak dari paparan merkuri.
Pulang berobat, Yeni diberikan obat epilepsi untuk menurunkan kejang. ”Obatnya teh mahal. Teu bisa didapatkan di warung-warung.”
Selama ini, Yeni masih dipasok obat dari Yayasan Nexus3. Yuyun bilang, hingga kini belum ada obat khusus menangani paparan merkuri. Satu botol bisa untuk dua minggu dengan harga Rp280.000.
Obat ini pun tidak tersedia di Puskesmas Cisungsang. Untuk membeli, dia harus menempuh jalan 50 km menuju Palabuhan Ratu. Saat ini, sudah ada obat generik Rp60.000.
”Setelah pengobatan, jarang sakit. Sekarang kalau sedikit sakit bisa dikasih dosis obat dari mantri desa, tidak perlu ke rumah sakit,” kata Yeni.
Paparan merkuri juga dialami Rangga. Putera pasangan Yayah dan Dedin ini mengalami gangguan pendengaran. Sampai usia 10 tahun, Rangga lambat bicara.
”Sekarang udah normal, waktu itu pengobatan kemana-mana ke Sukabumi, ke Bandung, Rp50 juta udah keluar,” kata Yayah.
Hasil pendapatan jual emas pun ludes, bahkan sebagian hasil kebun buat kesembuhan sang anak.
Dedin hampir 20 tahun jadi penambang emas, sejak di Pongkor hingga berpindah ke Blok Cikidang, lubang emas bekas PT Aneka Tambang. Saat itu, pengolahan masih di gunung dan limbah mengalir ke sungai.
Saat ramai tambang emas, katanya, air sungai tak lagi jernih. Sungai ini berada di sepanjang lahan pertanian masyarakat.
Mereka tak mengetahui penyebab penyakit Rangga, anak pertamanya. Baru pada 2015, mereka tahu, bahwa penggunaan merkuri selama ini kemungkinan berdampak pada kesehatan Rangga.
”[Kala itu] kita bawa ke Sukabumi, Pelabuhan Ratu, belum ada hasil [penyebab penyakit anak]. Cuma diterapi, bilang lidah kaku. Katanya kalau tidak syaraf, ya pita suara,” cerita Dedin.
Mereka tak menyangka, saat Rangga berusia 10 tahun kala diperiksa Yayasan BaliFokus, dalam tubuh terkontaminasi merkuri. ”Kaget saja, bisa jadi ya dari bapaknya karena menambang. Kalau beras kan ya bisa semua ya, ga tau kalau makanan lain juga [terkontaminasi].”
Hulman, Kepala Tata Usaha Puskesmas Cisungsang mengatakan, seringkali masyarakat terdampak paparan tak berobat ke Puskesmas karena terkendala tak ada rawat inap. Untuk mengetahui gejala klinis apakah seseorang terpapar merkuri atau tidak, katanya, jadi sulit.
”Kalau memang ada perawatan pasti akan makin mudah terdeteksi.”
Dia berharap, ada pedoman lebih spesifik terkait pengobatan dan penanganan bagi wilayah rentan terhadap paparan merkuri. ”Ini penting untuk penyelamatan anak bangsa.”
Berdasarkan data Puskesmas Cisungsang, sejak 2015-2019, ada tren penyakit yang terus menempati posisi tertinggi dari kunjungan pasien, yakni, tekanan darah tinggi, gastritis, myalgia (nyeri otot), ISPA dan demam.
Cece Mulyadi, Mantri Puskesmas Cisungsang mengatakan, masih banyak warga belum sadar kesehatan. Kalau sudah parah, baru rujuk ke Puskesmas, hingga seringkali penanganan terlambat. Banyak juga, katanya, masyarakat di Kasepuhan Cisitu, tak datang ke Puskesmas tetapi langsung ke RSUD Palabuhanratu.
Terpapar, belum ada obatnya?
Berdasarkan data Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM) Kementerian Kesehatan menyebutkan, secara nasional analisa risiko paparan merkuri pada makanan tergolong aman (0,0240-0,0288 μg/kg BB perhari). Meski pada analisa risiko paparan metil merkuri tergolong aman meski ada potensi melebihi (0-0,1524 μg/kg BB perhari).
Dari analisa risiko kesehatan batas maksimum paparan yang ditetapkan United State Environmental Protection Agency, sebesar 0,1 μg/kg BB perhari.
Metil merkuri dapat menyebabkan degenerasi di otak dan mati rasa pada ujung tangan atau kaki, pergerakan tak teratur, nyeri sendi, tuli, dan penyempitan jarak pandang. Metil merkuri ini juga mudah masuk melalui plasenta dan berakumulasi dalam janin dan mengakibatkan kematian bayi dalam kandungan, pembentukan organ tak sempurna dan cerebral palsy.
Data ini juga menyatakan, kelompok usia rentan mengalami paparan metil merkuri pada kelompok usia 0-36 bulan. Paparan merkuri terbesar pada anak-anak usia 36-59 bulan.
”Selain anak-anak, perempuan usia subur sangat rentan. Juga para penambang,” kata Yuyun.
Para penambang bekerja mungkin dengan kesadaran risiko, sedangkan masyarakat yang tak ambil bagian juga terkena dampak.
Imran Agus Nurali, Direktur Jenderal Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan mengatakan, para penambang memiliki 2,82 kali lebih besar risiko gangguan sistem syaraf pusat.
Dia bilang, ada hasil kajian epidemiologi merkuri pada dua provinsi: Banten (Cisitu, Lebak) dan Nusa Tenggara Barat, bekerja sama dengan WHO dan Universitas Indonesia.
”Sebesar 77,9% responden yang rambut diuji laboratorium kadar merkuri di atas normal,” katanya.
Penelitian itu, katanya, mengkonfirmasi dampak bagi masyarakat dari paparan merkuri, terutama bagi pekerja. ”Kita juga khawatir kalau pembuangan limbah merkuri melalui jalur air dan meresap di lahan pertanian dan sayur, serta ikan di sekitar.”
Pelayanan kesehatan dan pengobatan terus dilakukan Puskesmas dengan tergantung gejala. Paparan merkuri, katanya, tak hanya pada pekerja, juga keluarga mauoun oranglain di sekitar.
”Sampai saat ini, belum ada obat-obatan khusus, yang ada hanya mengurangi gejala penyakit, seperti tremor dan epilepsi. Itu obat hanya sementara.”
Imran berharap, penelitian-penelitian terkait dampak kesehatan paparan merkuri ini perlu terakomodir dalam tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kementerian lain hingga bisa bersama menangani masalah ini. ”Karena hasil ini ada manusia yang nyata terdampak.”
Pada 2016, Pusat Penelitan dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Balitbang Kementerian Kesehatan juga pernah penelitian di pertambangan emas Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, soal dampak arsen pada makanan di penambangan emas tradisional.
Hasilnya, terdeteksi konsentrasi metaloid arsen sangat tinggi pada bahan makanan hasil produksi setempat. ”Dalam penelitian itu, beras merupakan kontributor utama.”
Adapun, asupan arsen ke tubuh manusia dapat menyebabkan efek kesehatan bersifat non karsinogenik dan karsinogenik.
Penelitian ini menyimpulkan, analisis risiko kesehatan melebih batas aman. Dampak kesehatan menunjukkan muncul penyakit kulit kronis, seperti keratosis dan hiperpigmentasi. Perumusan manajemen risiko, katanya, bisa dengan menurunkan konsentrasi paparan dan mengurangi konsumsi bahan makanan dari produk lokal.
Hasil pemeriksaan konsentrasi arsen pada bahan makanan dalam penelitian itu, rata-rata pada beras 1,817 mg/kg, batas cemaran dapat diterima 0,5 mg/kg. Pada sayuran 1,330 mg/kg, batas cemaran bisa diterima 1,0 mg/kg, pada ikan 2,075 mg/kg, batas cemaran dapat diterima 1,0 mg/kg.
Kemudian, buah pisang 1,128 mg/kg, batas cemaran bisa diterima 1,0 mg/kg, singkong 2,168 mg/kg, batas cemaran bisa diterima 0,5 mg/kg.
“Arsen yang terdeteksi pada beras, sayuran, buah pisang, singkong dan ikan melewati batas maksimum berdasarkan ketentuan berlaku,” katanya. Dia sebutkan, Standar Nasional Indonesia (SNI) No 7387/2009, tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan dari Badan Standardisasi Nasional.
Penambangan emas oleh penduduk secara tradisional dengan mengabaikan lingkungan ini menyebabkan senyawa itu ke rantai makanan, yang berakhir dalam tubuh manusia. Bagaimana nasib generasi Cisitu, yang terus terpapar merkuri ini?
Keterangan foto utama: Mesin gelundung. Merkuri masuk ke tubuh anak-anak maupun warga Cisitu, antara lain, dari pangan dan air yang tercemar. Limbah merkuri dari proses pengolahan emas dibuang begitu saja di sekitar lokasi. Ia mengalir kalau tak ke selokan atau kolam. Warga pakai air kolam atau sumur untuk berbagai keperluan sehari-hari termasuk masak dan minum. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia