Mongabay.co.id

Menakar Pengelolaan Ekosistem Karst di Indonesia

 

Tanggal 28 Maret diperingati sebagai Hari Karst Nasional.

Nama karst berasal dari Bahasa Slovenia yaitu Kras yang berarti lahan gersang berbatu. Istilah ini merujuk suatu daerah di perbatasan Slovenia – Italia, tepatnya distrik timur Trieste [Italia] yaitu Dinaric Karst. Para ahli mengadopsi karst sebagai bentukan lahan hasil proses pelarutan batuan.

Ford dan William [1992] [1] mendefinisikan karst sebagai medan dengan kondisi hidrologi khas, akibat batuan mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik.

Di Indonesia, merujuk Permen ESDM No. 17 tahun 2012 [2], karst adalah bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan/atau dolomit. Umumnya, karst dicirikan dengan adanya lubang [sinkhole], cekungan tertutup [doline], langkanya sungai permukaan, berkembang aliran air/sungai bawah tanah dan gua.

 

Aliran sungai bawah tanah di dalam Gua Legok Picung. Foto: Denny Batara

 

Potret ekosistem karst di Indonesia

Indonesia memiliki potensi kawasan karst seluas 1,54 juta hektar, tersebar dari Aceh hingga  Papua. Ekosistem karst memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan lingkungan hidup maupun nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar.

Berdasarkan data kompilasi Indonesia Speleological Society dari para pegiat karst & speleologi, sampai tahun 2020, di Indonesia terdapat sekitar 1.852 gua, 187 sungai bawah tanah, 1.034 ponor, 32 telaga karst dan 839 mata air.

Jumlah tersebut sebagian besar berada pada kawasan karst di Jawa. Namun, jumlahnya akan bertambah mengingat masih belum teridentifikasi potensinya di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Fungsi utama karst sebagai penyerap dan penyimpan sumber daya air telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang hidup di sekitarnya. Kawasan karst Maros di Sulawesi Selatan, memperihatkan nilai penggunaan air oleh masyarakat mencapai Rp406,5 miliiar/tahun [3].

Sementara kawasan karst Gunung Sewu, telah memenuhi kebutuhan air baku bagi 120.000 jiwa masyarakat di sekitarnya. Kebutuhan tersebut hanya dicukupi dari dua sistem sungai bawah tanah Gua Seropan dan sistem Gua Bribin.

Sebagai sebuah ekosistem, karst menjadi habitat beragam flora dan fauna langka. Dari total luasan kawasan karst, sekitar 62% masih berupa tutupan hutan alam [4]. Hasil analisis data kekayaan spesies [Jenkins dkk. 2013] [5] yang di-overlay dengan data sebaran karst menunjukan sekitar 146 spesies mamalia, 356 spesies burung, dan 51 spesies amfibi hidup di kawasan karst Indonesia.

Lebih lanjut, LIPI/BRIN dalam 16 tahun terakhir telah mengidentifikasi 100 spesies fauna gua, termasuk 30 spesies baru dengan tingkat endemisitas tinggi [6].

Namun, ekosistem karst di Indonesia mengalami ancaman kerusakan serius. Hasil analisis terhadap data izin pertambangan 2019 menunjukkan, seluas 1,82 juta hektar atau 11% kawasan karst di Indonesia telah dibebani izin konsesi pertambangan [7].

Rusaknya ekosistem karst, tentu saja tidak dapat dipulihkan layaknya hutan yang bisa direstorasi.

 

Sejarah kebijakan pengelolaan karst. Sumber: Paparan Badan Geologi Kementerian ESDM

 

Permasalahan perlindungan

Perlindungan ekosistem karst di Indonesia telah diatur dalam undang-undang. Pertama, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Dalam UU No 32/2009, perlindungan ekosistem karst diatur pasal 23 ayat 3. Peraturan tersebut mengamanatkan adanya kriteria baku kerusakan ekosistem karst yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah [8]. Namun, sampai saat ini peraturan pemerintah belum juga diundangkan.

Pada PP No. 26 tahun 2008, bentang alam karst masuk kawasan lindung geologi sebagai bagian kawasan lindung nasional [9]. Karst merupakan kawasan yang memiliki keunikan bentang alam [10]. Namun, perlindungan dalam peraturan ini ditujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau pariwisata [11]. Bukan karena fungsi dan peranannya yang penting bagi keberlangsungan lingkungan hidup.

Salah satu bentuk operasionalisasi PP No. 26/2008, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan Peraturan Menteri [PERMEN] No. 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst [KBAK]. KABK merupakan karst yang menunjukkan bentukan eksokarst dan endokarst tertentu. Tujuan penetapan KBAK sebagai pengatur alami tata air, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pemanfaatan kawasan [12].

Beberapa pendapat menilai, P.17/2012 cenderung melemahkan upaya perlindungan kawasan karst bila dibandingkan dua regulasi sebelumnya [13]. Ada 3 poin pembeda, antara P.17/2012 dengan Kepmen Tamben No. 1518 K/20/MPE/1999 dan Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MBM/2000 [14].

 

Grafik kapasitas produksi dan permintaan semen tahun 2011-2020. Sumber: Asosiasi Semen Indonesia

 

Pertama, pengelolaan kawasan karst dalam P.17/2012 hanya mengatur penetapan kawasan karst yang diperuntukan sebagai kawasan lindung. Pada dua peraturan sebelumnya, kawasan karst dikelola menyeluruh dengan adanya klasifikasi kelas kawasan karst. Implikasinya, tidak ada acuan kawasan karst yang tidak masuk kawasan lindung.

Kedua, dalam P.17/2012 tidak ada ketegasan batasan kegiatan yang diperbolehkan di kawasan karst. Pada peraturan sebelumnya, kawasan karst diklasifikasikan menjadi tiga kelas berdasarkan bentuk-bentuk aktivitas dan pemanfataannya [15]. Akibatnya, di beberapa kawasan karst yang telah ditetapkan sebagai KBAK, masih terdapat kegiatan pertambangan.

Ketiga, Permen ESDM No. 17/2012 hanya fokus pada upaya perlindungan ekosistem karst dari segi fisik geologi, sebagai pengatur alami tata air. Tidak mengatur fungsi kawasan karst sebagai sebuah ekosistem kompleks, yang didalamnya terdapat habitat flora dan fauna serta nilai sosial budaya masyarakat sekitar.

Hingga tahun 2020, sudah 10 kawasan bentang alam karst ditetapkan Menteri ESDM dengan total luasan 317.663 hektar [16]. Meski demikian, penetapan KBAK masih berpotensi bias dalam proses penyidikannya, karena dalam PERMEN No 17/ 2012 tidak disebutkan partisipasi masyarakat dalam proses penyidikan KBAK.

 

Peta persebaran kawasan karst dan ancamannya. Sumber: Indonesian Speleological Society

 

Refleksi

Perayaan Hari Karst Nasional harus menjadi refleksi kita semua, terhadap perlindungan dan pengelolaan karst.

Pertama, pemerintah sebaiknya melakukan moratorium izin pertambangan di kawasan karst, termasuk mengevaluasi izin-izin yang sudah ada. Mengingat dalam 10 tahun terakhir, kapasitas produksi semen selalu berlebih, dibanding permintaan [17].

Kedua, pemerintah segera mengesahkan RPP Ekosistem Karst yang sejak lama tidak kunjung selesai dibahas. Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat upaya pengelolaan dan perlindungan kawasan karst secara komperhensif dan partisipatif.

Ketiga, para pegiat karst dan speleologi, peneliti, mahasiswa, dan masyarakat agar terus melakukan riset dan pendataan potensibeserta ancaman kawasan karst. Pengelolaan ekosistem karst yang baik tentu saja memerlukan data dan informasi yang memadai.

 

Referensi:

[1] Ford, D. and Williams, P. 1992. Karst Geomorphology and Hydrology, Chapman and Hall, London.

[2] Peraturan Menteri ESDM No 17 Tahun 2012 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst.

[3] Kurniawan, R. (2009). Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Kawasan Karst Maros Pangkep. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.13/No.1/2009

[4] Luas tutupan hutan alam di kawasan karst sekitar 9.563.877 hektare. Analisis data tutupan hutan Forest Watch Indonesia tahun 2017

[5] Jenkins, CN, SL Pimm, LN Joppa (2013) Global Patterns of Terrestrial Vertebrate Diversity and Conservation. PNAS 110(28): E2602-E2610. doi: 10.1073/pnas.1302251110. dapat diakses melalui https://biodiversitymapping.org/index.php/download/

[6] http://lipi.go.id/lipimedia/ekosistem-kawasan-karst-tak%20%09tergantikan/18002

[7] Hasil analisis data konsesi pertambangan (ESDM 2019) yang dioverlay dengan data sebaran batu gamping /karst.

[8] UU No 32 Tahun 2009 Pasal 23 ayat 5

[9] Pasal 51 huruf e, pasal 52 ayat 5, pasal 53 huruf b

[10] Pasal 60 ayat 2

[11] Pasal 104 ayat 2

[12] PERMEN ESDM No 17/2012 Pasal 2

[13] Regulasi pengelolaan kawasan karst sebelum P.17/2012 yaitu Kepmen Tamben No. 1518 K/20/MPE/1999 Tentang Pengelolaan Kawasan Kars dan Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MBM/2000 Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars

[14] Widyaningsih, G. A. (2017). Permasalahan Hukum dalam Perlindungan Ekosistem Karst di Indonesia (Studi Kasus: Ekosistem Karst Sangkulirang – MangkaliHat, Provinsi Kalimantan Timur). Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia3(2), 73–95. https://doi.org/10.38011/jhli.v3i2.44

[15] Diatur dalam Pasal 7 Kepmen Tamben No. 1518 K/20/MPE/1999 dan Pasal 14 Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MBM/2000 – Karst kelas I sebagai karst yang dilindungi, tidak boleh ada aktivitas penambangan dan aktivitas lainnya yang mengubah morfologi karst. Karst kelas II boleh dilakukan kegiatan penambangan dengan syarat ada studi lingkungan (AMDAL, UKL/UPL). Dan karst kelas III dapat dilakukan kegiatan penambangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

[16] Data Kawasan Bentang Alam Karst Tahun 2020 Kementerian ESDM

[17] https://www.cuanderful.id/melihat-peluang-industri-semen-pada-semester-ii-2021/

 

* Aziz Fardhani Jaya, pegiat speleologi, praktisi & analis spasial. Anggota Indonesia Speleological Society.

 

Exit mobile version